Sinopsis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”
Sinopsis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”
Dalam
Novel ini dikisahkan seorang ronggeng (penari) dari Dukuh Paruk. Ronggeng itu
bernama Srintil. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan
miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu stradisi yang dibangga-banggakan
yaitu kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Dalam waktu
singkat, Srintil pun membuktikan kepiawaiannya menari disaksikan orang-orang
Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun menjadi gadis pilihan yang menjadi
milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani beberapa serangkaian
upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu
menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang berani memberikan
imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, namun tak ada
kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat dan menyatu dalam
kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang merasa mencintai gadis itu
tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap
milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil
di Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata memberikan luka yang mendalam di hati
Srintil dan besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya nanti. Rasus
yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi
seorang prajurit tentara yang gagah.
Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus pergi tanpa berpamitan pada Srintil yang masih tertidur pulas. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang melihat kemurungan Srintil,karena mereka merasa hanya ronggenglah yang dapat menjadikan Dukuh Paruk terasa hidup. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap tidak ingin menari sebagai ronggeng.
Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus pergi tanpa berpamitan pada Srintil yang masih tertidur pulas. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang melihat kemurungan Srintil,karena mereka merasa hanya ronggenglah yang dapat menjadikan Dukuh Paruk terasa hidup. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap tidak ingin menari sebagai ronggeng.
Pemogokan
Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan
Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau
pun pada akhirnya pasrah dan memenuhi permintaan tersebut, bukan semata-mata
tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan
mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari
kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekalii
ia tidak membayangkan akibat dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan
yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis
Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato
yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.
Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang dekat dengan PKI di daerah mana pun ditangkap dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di penjara tanpa alasan yang jelas. Awalnya terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh di daerah tersebut. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang terjadi di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik panjang, Srintil terpaksa lebih banyak di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Srintil tidak paham dengan rapat-rapat umum dan pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu lelaki.
Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam waktu singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin.
Tetapi kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang dulu. Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.
Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.
Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
A.
Latar Belakang
Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar
serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto, 2003:
59). Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghaslkan pandangan dunianya tentang
realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar
pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Pernyataan
di atas sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah sebagai lembaga
sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan
semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu
gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial
masyarakat.
Strukrural
genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan
ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann
sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur
bermakna, dimana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur
yang lebih luas, demikian sterusnya sehingga setiap unsur menopang
totalitasnya.
B.
Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini bertujuan menemukan koherensi struktur intrinsik Trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan menemukan koherensi struktur
trilogi itu dengan struktur sosial masyarakat yang menjadi acuannya.
C.
Rumasan Masalah
§ Apa unsur
intrisik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
§ Bagaimanakah
latar belakang kehidupan sosial Ahmad Tohari?
§ Bagaimana
latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat
diciptakan oleh pengarang?
D.
Pembatasan masalah
§ Unsur
intrisik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
§ Latar
belakang kehidupan sosial Ahmad Tohari
KAJIAN TEORI
Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang
lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan
kausal. Untuk itu, maka sebelum berbicara tentang strukturalisme genetik
terlebih dahulu akan dibicarakan mengenai strukturalisme murni dengan berbagai
kelemahannya.
Pendekatan
strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam
penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai
karya fiksi. Artinya, menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut
terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di
luar struktur signifikansinya (Iswanto, 2003: 59-60).
Karena
pandangan keotonomian karya di atas, di samping juga pandangan bahwa setiap
karya sastra memiliki sifat keunikannya sendiri, analisis terhadap sebuah karya
pun tak perlu dikaitkan dengan karya-karya lain.
Penelitian
strukturalisme genetik memandang, karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik
dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan
koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan
berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi
jaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya politik, ekonomi.
Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan
unsur-unsur intrinsik karya sastra (suwardi, 2003: 56).
PEMBAHASAN
Sinopsis
Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil
yang terpencil dan miskin. Namun,warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri
karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya.
Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang
mematikan belasan warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat
kehidupan masyarakat setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat
kehidupan setelah gadis cilik pada umur belasan tahun secara alamiah
memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng ketika bermain-main bersama
Rasus, Warta, Darsun.
Permainan menari itu terlihat oleh
kakek Srintil, Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh
berbakat menjadi seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya
menyerahkan Srintil kepada dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak
Srintil menjadi seorang ronggeng yang diakui oleh masyarakat. Dalam waktu
singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang
Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang
menjadi milik masyarakat.
Sebagai seorang ronggeng yang sah,
Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah
menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa
pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri
merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah
terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang
mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi
ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi
meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata meninggalkan
luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap
perjalanan hidupnya. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh
Paruk menuju pasar Dawuan,dan tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis
perjalanan hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf
menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu
menjadi tobang. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh
penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah
berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang
menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk
Rasus sempat menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu
semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan
dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan
pada Srintil yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat
mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat
ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari
tampak murung dan sikap Srintil menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya.
Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka
tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk.
Penolakan Srintil masih bertahan
ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar
pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh
dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai
seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan.
Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan
kekuasaan. Sama sekali ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari
penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja
dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah
dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat
tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.Pemberontakan PKI kandas dalam
sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun
yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan.
Pada mulanya, terjadi paceklik di
mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu
itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai
gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang
berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat
jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak
lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu
dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna
rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami
hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan
mereka tetap baik. Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi
penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa
tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki
Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya
memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang
ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan
lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam
tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan
tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung
dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki
Secamenggala. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah
penampilannya yang sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan
itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam
bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan
kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa
menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara
penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan
menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh
Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan
polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu
berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama
Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera
PKI. Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan
politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup
segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat
ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai
seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan
Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi.
Untunglah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap
Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi
kehendak Pak Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha
mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki
impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek.
Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya
dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
A.
Unsur Intrinsik
·
Tokoh dan
Penokohan
1.
Tokoh utama
Srintil adalah perempuan cantik
berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang sempurna
fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus, Seorang pemuda yang mencoba
mengangkat harkat dan mertabat rakyat dukuh paruk. Walaupun dia seorang tentara
yang semestinya memiliki sifat kuat, kokoh, jauh dari melankolisme. Tapi ini
sebaliknya di balik baju lorengnya sebenarnya dia itu rapuh, hatinya halus.
2.
Tokoh
bawahan
Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar
dan pikun.
Sakarya, (kakek Srintil) sifat kolot,
keras, penyayang
Nyai Sakarya, (nenek Srintil) yang
mempunyai sifat penyayang, penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun
dia tetap tunduk pada nasibnya sebagai rakyat kecil.
Sakum. tekun,baik, optimis akan
hidupnya,.
Ki Kertareja, sifat kolot, keras, penyayang,
licik.
Nyai Kartareja.
Materialistis, pandai membujuk dan licik.
Tampi: penyayang, sabar.
Goder. Anak angkat Srintil.
Sersan Pujo. Baik dan tegas
Masusi. Jahat, hidung belang, pendendam.
Diding. Kacung Tamir yang tunduk dan patuh
pada majikan demi uang yang akan di bawanya pulang untuk anak istrinya.
Tamir. Laki-laki hidung belang yang
datang dari kota Jakarta dalam pekerjaannya pengukuran tanah untuk
pembuatan jalan di Dukuh Paruk Pecikalan. Dia seorang laki-laki petualang
perempuan yang patah hati oleh Srintil.
Bajus. Bujang tua yang baik kepada Srintil
namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek
tendernya lolos.
Darman. Aparat kepolisian yang membantu
maksud dan tujuan Marsusi kepada Srintil demi satu truk kayu bakar.
Pak Blengur. Bos besar pemegang tender
pembuatan jalan, jembatan dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang
cinta dari satu perempuan ke perempuan lainya namun terketuk hati dan
kesadarannya karena Srintil.
Lurah Pecikalan (kepala desa). Bijaksana
dan peduli akan penduduknya.
Kepala Bangsal Rumah Sakit Jiwa. Orang yang
menerima Srintil saat masuk ke rumah sakit jiwa.
Babah Gemuk. Orang yang membagikan uang ganti
rugi kepada masyarakat Dukuh Paruk karena terkena gusuran pembuatan jalan.
·
Tema
Kehidupan ronggeng dukuh paruk yang terkoyak.
·
Latar
- Latar waktu: Peristiwa yang diceritakan ini
berhubungan dengan keadaan politik pada masa revolusi lahirnya orde
baru(1965).
- Latar tempat: Tempat terjadinya cerita di daerah
Dukuh Paruk (Banyumas) dan sekitarnya.
·
Alur
- Alur berdasarkan kronologis, alur campuran.
- Alur berdasarkan kuantitas, alur jamak.
- Alur berdasarkan akhir cerita, alur terbuka.
.
·
Sudut Pandang
Sudut pandang penulis sebagai orang ketiga, dia serba
tahu karena pengarang berada di luar cerita.
·
Amanat
- Sebagai seorang wanita harus dapat menjaga
keperawanannya sebelum menikah.
- Manusia hendaknya percaya akan adanya Tuhan dan
jangan percaya pada tahayul.
- Selalu tabah dalam menjalani hidup.
B.
Latar belakang sosial pengarang
Ahmad Tohari lahir pada
tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Jatilawang,Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SMAN2 Purwokerto (1966). Tohari pernah
kuliah di beberapa fakultas antara lain Fakultas Ekonomi, Sosial Politik, dan
Kedokteran di sebuah univesitas Jakarta dan Purwokerto, namun semuanya tidak
berhasil diselesaikannya karena kendala nonakademik.
Ia pernah bekerja
sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967)tetapi keluar. Dalam dunia
jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur pada harianMerdeka (Jakarta 1979-1981),
staf redaksi pada majalah Keluarga (Jakarta, 1981-1986), dan dewan redaksi pada
majalah Amanah (Jakarta, 1986-1993). Karena tidak betah tinggal di kota
metropolitan yang menurut pengakuannya Jakarta adalah kota yang sibuk dan
bising, maka akhirnya sejak tahun 1993 ia memilih pulang ke kampung halamannya,
Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa
Tengah. Ia menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta
menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis kolom di harian
Suara Merdeka, Semarang, dan aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Bersama dengan kakaknya
ia mengelola sebuah pesantren peninggalan orang
tuanya di desa kelahirannya untuk
mengembangkan potensi dan pemberdayaan umat.Di desa itu pula Tohari membangun
mahligai rumah tangga bahagia bersama Syamsiah, istri tercintanya, yang
kesehariannya bekerja dinas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Dengan istri
tercintanya Tohari telah dikaruniai anak-anak yang manis dan pintar. Tiga
anaknya telah berhasil dikuliahkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
sedangkan dua anaknya yang lain dikuliahkan di Universitas Jenderal Sudirman
Purwokerto. Ia mengaku sangat bersyukur dapat menyekolahkan anakanaknya ke
jenjang pendidikan tinggi. Ia merasa dapat “membalas dendam” atas kegagalan
dirinya yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial Politik, dan
Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi Jakarta dan Purwokerto tetapi
gagal diselesaikannya karena faktor ekonomi.Tohari termasuk pengarang yang
produkif. Karya sastra yang telah dihasilkannya cukup banyak. “Upacara Kecil”
adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Cerpennya “Jasa-jasa Buat
Sanwirya” memperoleh HadiahSayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep
(1975). Di Kaki Bukit Cibalak merupakan novel pertamanya yang dimuat secara
bersambung di harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan menjadi buku oleh PT
Gramedia, Jakarta, 1986), setelah sebelumnya puluhan cerita pendek telah
dihasilkannya. Setelah itu,lahirlah novelnya yang kedua Kubah (1980). Ronggeng
Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak (1982) adalah novel ketiganya yang merupakan
trilogi bersama Lintang Kemukus Din Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986).
Setelah trilogi RDP kemudian lahirlah kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989),
novel Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995) Nyanyian Malam
(kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II) (2001), dan Orang-orang
Proyek (2002). Novel triloginya yang popular dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk
diterbitkan menjadi satu buku oleh PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta (2003)
yang memuat ketiga novelnya yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari,
dan Jentera Bianglala dengan memasukkan bagian-bagian yang tersensor selama 22
tahun (Ahmad Tohari, 2003). Berbagai penghargaan pernah diterima Tohari sebagai
pengarang. Ia menerima Hadian Sayembara Kincir Emas Radio Nederland
Wereldomroep untuk cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya” (1975), Hadiah dari Yayasan
Buku Utama untuk novelnya Kubah (1980), Hadiah Sayembara Penulisan Roman Dewan
Kesenian Jakarta untuk novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986). Ketika mengikuti
International Writing Programme di Amertka Serikat ia memperoleh penghargaan
Fellow Writer the University of Iowa (1990), Penghargaan Bhakti Upapradana dari
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995), dan
South East Asia Writes Award, Bangkok (1995).
- Sosial budaya
Manifestasi dunia rekaan pengarang
diangkat dari realitas sosial, menggambarkan kondisi, perilaku, dan sikap hidup
masyarakat di wilayah tertentu, dari kelompok etnis tertentu, dan memiliki
kebudayaan tertentu pula. Ronggeng Dukuh Paruk, dengan demikian juga merupakan
cerminan pengarang dan dunianya. Dengan kata lain, Ronggeng Dukuh Paruk
merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang
dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa
tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut,
bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan. Selain itu, ia adalah penganut Islam (santri) yang
mampu menafsirkan ajaran Islam bukan hanya sebagai konsep abstrak, melainkan
juga sebagai pedoman sikap dan perilaku seharihari. Didukung oleh sikap kritis
dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Tohari berhasil menyusun konsep
kepengarangan yang dapat dikatakan ‘khas’. Dikatakan demikian, karena Tohari
memiliki sikap holistik yang bertumpu pada pandangan bahwa semua kenyataan yang
baik ataupun yang buruk yang mewujud di hadapan kita pada hakikatnya adalah
ayat Tuhan.
Dengan demikian, apa pun paham atau
ajaran Islam atau kejawen tidak perlu dikonfrontasikan. Jika perlu bid’ah
budaya dapat dilakukan asalkan di dalamnya terdapat komplementasi ajaran
Tauhid. Agaknya, bagi Tohari, dakwah tidak harus dilakukan melalui mimbar
khutbah. Akan lebih membumi jika dakwah dilakukan melalui dakwah budaya
(kultural). Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dakwah kulturalnya.
Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup, dan konsep
kepengarangan Tohari jelas terwujud dalam karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk. Jika
dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara Tohari dengan tokoh
Rasus.
Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dibandingkan sebagai
berikut:
Ahmad
Tohari:
1)
Ahmad Tohari
orang Jawa, lahir di Banyumas Jawa Tengah.
2)
Ahmad Tohari
orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan alamnya.
3)
Ahmad Tohari
memiliki kebanggaan kultural sebagai orang desa yang berpandangan
moderen dan berstatus sosial terpandang.
4)
Ahmad Tohari
tidak setuju dengan kesewenangan birahi dalam dunia peronggengan
karena melanggar harkat kemanusiaan.
5)
Keluarga
Ahmad Tohari pernah tertimpa musibah keracunan tempe bongkrek yang
menyebabkan orang tua dan beberapa anggota keluarganya
meninggal.
6)
Perlakuan
Mantri terhadap ibunya ketika terjadi malapetaka itu dipandang
tidak manusiawi oleh Ahmad Tohari.
7)
Ahmad Tohari
selalu berada di antara setuju dan tidak setuju dalam bermacam-macam
bid’ah budaya.
8)
Bagi Ahmad
Tohari ibu adalah figur ideal untuk menemukan sosok kekasihnya.
Tokoh Rasus:
1)
Rasus
orang Jawa, lahir di Dukuh Paruk, Banyumas.
2)
Rasus juga
anak desa yang sangat mengenal bumi kelahirannya.
3)
Rasus bangga
menjadi anak desa pertama yang berhasil menaikkan martabatnya
di mata masyarakat.
4)
Rasus sangat
membenci upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena
pembantaian kemanusiaan.
5)
Keluarga Rasus
juga tertimpa malapetaka keracunan tempe bongkrek hingga
menyebabkan kematian orang tuanya.
6)
Mantri
membawa pergi ibu Rasus ke kota hingga membawa penderitaan batin
berkepanjangan pada diri Rasus.
7)
Rasus juga
berada di antara nilai-nilai lama dan baru.
8)
Rasus
mencari figur ibunya pada diri Srintil.
Perbandingan tersebut makin
memperjelas dugaan tentang keterlibatan pengarang terutama keterlibatan mental
dan intelektual pada tokoh Rasus. Sulit diterima oleh akal sehat jika ada seorang
anak desa terpencil dan tidak terdidik secara formal memiliki kesadaran
sosio-kultural demikian tinggi jika tidak ada campur tangan pengarangnya.
Bagaimana bisa Rasus yang tidak pernah sekolah dan tidak pernah meninggalkan
desanya itu mampu menumbuhkan sikap kulturalnya sendiri? Agaknya peluang
inilah yang dimanfaatkan secara leluasa oleh Ahmad Tohari untuk memasukkan
gagasannya.
Pengalamannya kuliah di
Fakultas Kedokteran, misalnya, terlihat pada pengetahuan Rasus tentang jenis
bakteria pseudomonas coccovenenans yang mematikan. Dengan pengetahuan dan
pengalamannya, maka Rasus mampu berbicara tentang banyak hal, seperti hakikat
keteraturan keselarasan, dan kesaling bergantungan antar-unsur dalam alam makna
kepercayaan dan pengingkaran terhadap ruh leluhur, mantra, keris bertuah,
indang, susuk, dan sebagainya hakikat seorang kekasih sekaligus seorang ibu
makna pengorbanan, perkawinan, keperawanan, keluarga, persahabatan, dan
kebebasan seks, renungan tenang dosa, moral, dan pergeseran nilai serta sikap dan
perilaku orang-orang primitiv, hakikat keberadaan manusia yang membutuhkan
pengakuan, perlindungan, perlakuan wajar, kebebasan menentukan pilihan,
keamanan, dan kerukunan, kemiskinan, kebodohan, kelicikan, dan ketidakberdayaan
amukan sang nasib, dan seluk-beluk dunia peronggengan dengan segala
hal-ihwalnya.
Melalui Ronggeng Dukuh Paruk Tohari
melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada dalam alam pikiran mitis,
miskin, longgar tatanan moralnya, dan reportase upacara wisuda ronggeng.
Sekaligus Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan betapa besar simpati, empati, dan
komitmen Tohari kepada kaum abangan dan budaya Jawa dengan seluk-beluknya.
Namun demikian, bukan berarti Tohari setuju sepenuhnya terhadap kultur
Jawa. Seperti terlihat pada sikap Rasus, Tohari mengadakan reaksi atas
adatistiadat Jawa yang tidak relevan dengan ajaran agamanya.
Reaksi Ahmad Tohari yang terlihat dalam sikap Rasus
adalah:
1)
Keraguan
Rasus terhadap dongeng, yang sebagian dipercayai sebagai kebenaran dan sebagian
lagi sebagai legenda khas Dukuh Paruk.
2)
Ketidakpedulian
Rasus terhadap Ki Secamenggala.
3)
Harapan
Rasus agar Srintil tidak menempuh upacara bukak klambu kemudian memutuskan
untuk tidak menjadi ronggeng.
4)
Kebencian
Rasus melihat tempat tidur yang akan dijadikan tempat mewisuda virginitas calon
ronggeng Srintil.
5)
Penolakan
Rasus atas ajakan Srintil untuk melakukan hubungan badan.
6)
Penolakan
Rasus atas ajakan Srintil untuk membina kehidupan rumah tangga.
7)
Kebencian
Rasus terhadap orang-oang Dukuh Paruk yang telah merenggut Srintil dari
tangannya.
8)
Kepergian
Rasus dari pedukuhannya
Dengan deskripsi lakuan dan
simbolisasinya, Tohari berhasil mengekspresikan pengalaman fisik dan
spiritualnya dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini terhindar dari kesan
sloganistis karena sama sekali tidak ada komentar pengarang mengenai baik-buruk
sesuatu hal. Bid’ah budaya Tohari justru sangat menonjol dari pada unsur
“dakwah”nya, meskipun hal ini sangat mungkin ia lakukan. Hingga halaman terakhir
hanya tiga kali Tohari menyebut nama Tuhan, yakni pada “Yang Mahaperkasa”
(Ronggeng Dukuh Paruk, 2003 hlm. 79), “Ya Tuhan” (hlm. 97), kata
“bersembahyang” (hlm. 86), dua kali kata “alhamdulilah”(hal 401), satu kata
“dosa” (hlm. 85), dan kata “dosa besar” (hlm. 86), la Ilaha illallah(256).
PENUTUP
Struktural genetik adalah cabang penelitian sastra
secara structural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara
struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian
structural dengan penelitian aspek-aspek internal karya sastra, dimungkinkan
lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.
Komentar
Posting Komentar