Analisis Cerpen
B. Analisis Cerpen
1. Seni sebagai konsep
Sebagai konsep, cerpen karya Putu Wijaya ini mengacu pada
keadaan sosoial masyarakat Indonesia terkini. Yaitu dimana semua orang hanya
banyak menuntut tentang hak dan fasiltas yang layak untuk memenuhi
kehidupannya. Tanpa memandang bagaimana keadaan orang-orang yang berada di
sekitarnya yang nasibnya bahkan jauh lebih buruk. Dalam cerpen ini Si Mayat
yang menjadi tokoh utama menjadi gambaran orang-orang Indonesia yang tidak
pernah merasa puas. Sedangkan Si Penjaga Malam adalah sosok yang menerima apa
yang telah didapat yang dimilikinya. Cerita tersebut sangat nyata terjadi di
negeri ini. Sehingga dapat menjadi kritik dan saran bagi siapapun yang telah
membacanya.
2. Seni sebagai konteks
a. Konteks budaya : pada cerpen
“Mayat” karya Putu Wijaya konteks budaya yaitu yang terdapat pada saat Si Mayat
yang menyangka Si Penjaga Malam adalah orang Jawa. Si Mayat tahu mengenai
kepribadian dan sifat orang Jawa yang cenderung menerima apa adanya.
b. Konteks politik : konteks politik yang terdapat dalam cerpen
“Mayat” adalah pada bagian yang diungkapkan oleh Si Mayat dalam bentuk
protesnya kepada sebuah media. Yaitu dia merasa prihatin setelah dirinya
meninggal dunia, justru keadaan negeri ini semakin tidak karuan. Dia
beranggapan bahwa peradaban di negeri ini telah merosot karena keegoisan
orang-orangnya.
c. Konteks sosial/ fakta sosial
: konteks sosial pada cerpen “Mayat” yaitu bagian yang menceritakan keadaan Si
Mayat dan Si Penjaga kantor yang pada dasarnya
sedang berada dalam nasib yang sama, yaitu haknya sebagai warga negara
tidak terpenuhi. Terutama Si Penjaga kantor yang pada hakikatnya adalah makhluk
hidup, bukan mayat yang sesungguhnya namun telah diperlakukan tidak sebagaimana
mestinya ia adalah seorang manusia. Pada profesinya, Si Penjaga kantor hidupnya cukup sengsara, karena pekerjaannya
itu gajinya tidak seberapa. Sedangkan ia harus menghidupi istri dan kesepuluh
anaknya. Padahal pekerjaannya merupakan pekerjaan yang berat. Tidak pernah
tidur dimalam hari dan harus melayani para karyawan dari pagi, karena dia seorang
penjaga kantor dan penjaga malam.
d. Konteks religius : konteks
religius yang ada yaitu tentang keikhlasan Si Penjaga Malam dalam menerima
apapun yang didapat dan dimilikinya.
3. Seni sebagai imajinasi
Untuk dapat menganalisis dan memahami cerpen karya Putu
Wijaya tersebut tidak semua orang akan berpendapat sama. Karena analisis cerpen
pasti berbeda-beda berdasarkan tingkat intelektual pembaca atau penganalisis.
Sehingga imajinasi yang ditimbulanpun akan berbeda-beda pula. Sehingga seni
sebagai imajinasi pada cerpen ini dapat mengimajinasi pembaca pada akhir cerita
yang menggambarkan sifat kebanyakan orang di negeri ini, yaitu rakus dan
serakah. Selain itu, cerpen tersebut juga dapat mengimajinasi pembaca untuk
dapan menciptakan sebuah karya baru.
4. Seni sebagai kontemplasi
Pada cerpen “Mayat” karya Putu Wiajaya sebagai
kontempalsi terdapat pada bagian akhir cerita, yaitu ketika Si Mayat menyadari
betapa rakus dan serakahnya dirinya dalam hal kehidupan. Dia merasa dirinyalah
yang paling sengsara karena tidak terima jasadnya dipergunakan sebagai bahan
praktik yang mendatangkan keuntungan bagi orang lain, sedangkan dirinya tidak
mendapatkan apa-apa dari keuntungan tersebut. Selain itu semasa hidupnya juga
tidak pernah mendapatkan kebahagiaan baik berupa materi ataupun rohani. Karena
dirinya merasa hidup dalam suatau negara yang telah rusak segalanya. Baik
pemerintahan, moral, dan kepedulian terhadap sesama. Berbeda jauh dengan Si
Penjaga malam yang menerima dengan lapang dada atas apa yang telah dimilikinya.
Meskipun berat beban hidup yang dirasakan, namun kadaanlah yang menjadikan
dirinya berpasrah dan tidak banyak menuntut.
Komentar
Posting Komentar