CONTOH SENI SEBAGAI KONTEKS, IMAJINASI, DAN KONTEMPLASI
CONTOH
SENI SEBAGAI KONTEKS, IMAJINASI, DAN KONTEMPLASI
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Estetika
Oleh :
Sefila Osie Arzani 2101411034
Rombel 02 PBSI
BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2012
1. Seni sebagai Konteks
a. Konteks budaya
Konteks budaya
yaitu budaya atau adat istiadat suatu daerah yang terdapat dimana pengarang
pernah mengalaminya, atau pengarang hidup di daerah tersebut, dan dapat juga
pengarang tersebut telah tahu banyak tentang adat atau budaya yang akan
diangkat sebagai dasar cerita untuk karya seninya.
Konteks kebudayaan
yang terdapat pada novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA dapat
menjadi contoh konteks budaya yang berlaku pada daerah di mana penulis
dilahirkan dan hidup di sana.
“Sebatang kara di dunia!”
“Dia teringat sekolahnya yang tidak masak, pelajarannya yang
tidak sempurna, di mana tinggal tak tentu tujuan. Dia teringat waktu ayahnya
masih hidup, teringat asuhan Mak Base. Teringat negeri Mengkasar yang tercinta,
tempat darahnya tertumpah ditinggalkannya, karena mengejar mimpi sejak dari
kecil, tanah Minangkabau yang terkenal molek. Tetapi tidak juga dapat
disingkirkannya peringatan kepada masa dia diusir dari Batipuh, sebab dia tidak
orang beradat, orang pendatang dari jauh, meskipun ayah orang Minangkabau,
namun dirinya terpandang orang lain. Di Mengkasar lain, di Padang lain.”
Pada kutipan novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA dapat dijelaskan bahwa budaya
yang dianut sangatlah kuat. Sehingga menyebabkan kedua tokoh yang diperankan
oleh Zainudin dan Hayati tidak dapat bersatu karena budaya atau adat di daerah
tersebut tidak memperbolehkan seorang wanita berdarah Padang menikah dengan
laki-laki selain berdarah Padang juga. Maka dari itu Hayati rela mengorbankan
cintanya demi menghormati adat yang berlaku di tempat tinggalnya itu dan
menikah dengan Aziz laki-laki berdarah Padang juga, meski tanpa ada rasa cinta.
b. Konteks politik
Konteks politik
dapat dicontohkan pada cerpen “Sri Sumarah” karya UmarKayam yang didalamnya
terdapat konflik politik mengenai kekuas komunis yang menggerogoti daerah
dimana Sri Sumarah tinggal. Dan yang menjadi anggota dari pemberontak itu
adalah Tun, anaknya sendiri dan menantunya. Pada hal ini Sri Sumarah memang
tidak terlibat dalam politik tersebut, namun tokoh Tun, anak Sri Sumarah
yangtelah tergabung dalam suatu gerakan pemberontak pada kala itu.
Politik yang
menjadi konflik pada contoh yang di gunakan memang bukan politik pada masa
kini, namun pada masa dahulu. Dimana pemberontakan komunis masih terjadi di
Indonesia.
c. Konteks sosial
Contoh karya seni
pada konteks sosial antara lain adalah cerpen yang berjudul “Mayat” karya Putu
Wijaya yang menceritakan tentang kehidupan mayat sesungguhnya dan mayat yang
bukan mayat. Mayat yang bukan mayat sebenarnya bukanlah orang yang telah
meninggal, tetapi orang yang hidupnya sama sekali tidak dihargai sebagaimana
mestinya. Yatu Si Penjaga malam yang bertugas melayani kebutuhan karyawan
sebuah kantor dan berjaga pada malm hari, tanpa ada kesempatan untuk istirahat
dan yang lebih parah yaitu upah yang diberikan tidak sebanding dengan apa yang
telah dikerjakannya. Berbeda dengan mayat yang sesungguhnya, yaitu tokoh mayat
orang yang selama hidupnya ditindas oleh orang-orang besar, karena hidupnya
tidak pernah dijamin kelayakannya, dan bahkan ketika ia mati pun masih
dijadikan sebagai bahan percobaan yang
menghasilkan banyak uang bagi orang lain, dan dirinya tidak mendapatkab
sedikitpun dari hasil tersebut. Sebagai wujud protesnya, ia menuliskan segala
keluhannya di salah satu media massa dan hanya ditertawakan oleh Si Penjaga
malam yang memandang ketidak bersyukuran si mayat tersebut.
Kutipan :
“Kalau tidak, siapa yang harus melakukan pekerjaan yang
jahanam tidak mengunguntungkan dan menyakitkan ini? Baiklah, saya tidak boleh
bicara terlalu banyak. Ini juga sudah menyalahi aturan. Saya pasti akan kena
hukuman. Selamat beristirahat. Kalau perlu apa-apa, jangan ragu-ragu memanggil
saya. Saya tidak tidur. Mayat, kan, sudah tidak perlu tidur lagi. Saya hanya
parkir di situ supaya tidak mengganggu.”
Mayat itu terpesona.
“Ya Tuhan, kalau begitu, nasibku tidak terlalu jelek.
Ada yang lebih jelek. Bahkan aku boleh dikata agak mendingan dibandingkan
dengan penjaga malam itu,” desis mayat itu.
Ia mencuri-curi kesempatan untuk melirik ke sudut.
Remang-remang dalam kegelapan, ia melihat tubuh penjaga malam itu mencair dalam
gelap.
“Kasihan…”
Penjaga malam itu tiba-tiba keluar dari gelap. Dengan
tergopoh-gopoh menghampiri.
“Maaf, memanggil saya? Perlu sesuatu?”
Mayat itu terkejut.
“O tidak, tidak, sudah cukup. Aku tidak perlu apa-apa
lagi!”
Penjaga malam itu mengangguk, lalu kembali lagi ke
tempatnya. Waktu itu mayat tersebut merasa malu hati. Diliriknya komputer yang
sudah dipenuhi dengan tumpahan tuntutannya.
Setelah melihat nasib penjaga malam itu, apa yang
dirasanya sebagai kesakitan seperti tidak ada artinya sama sekali. Ia merasa
sudah terlalu cengeng.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan
sudah berbuat kekeliruan yang fatal, mayat itu lalu kembali kepada komputer.
Disertai penyesalan penuh, hanya dengan satu gerakan, ia menyentuh keyboard
komputer untuk menghapus semua keluh kesahnya.
Tetapi apa daya, seluruh tulisan di dalam komputer itu
sudah diprotek, sama sekali tidak bisa dihapus lagi. Ia abadi. Mayat itu lalu
mencoba mengalihkan pikirannya. Tetapi, apa yang barusan ia tulis seperti
berbunyi dengan sendirinya. Ternyata begitu panjang tuntutan dan protesnya.
d. Konteks religius
Konteks religius
banyak terdapat pada beberapa karya seni. Seperti syair-syair yang diciptakan beberapa penyair dan dapat
berupa puisi. Konteks religius yang ada adalah sebagi gambaran bahwa seseorang
hidup pasti memiliki pedoman yang dapan mengajarkan kebenaran yang
sebenar-benarnya meski setiap keyakinan tidak selamanya sama.
Yang akan
dicontohkan adalah yang berupa puisi. Yaitu salah satunya puisi karya Amir
Hamzah “Doa Poyangku”.
......
Kini rebana di celah jariku
Tari temparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasihan hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua
Pada potongan
puisi karya Amir Hamzah yang berjudul “Doa Poyangku” menggambarkan doa nenek
moyangnya yang pada masa dulu pada masa hidupnya berdoa untuk mengagungkan
tuhannya dengan wujud lagu atau semacam syair berisi doa. Doa yang diucapkan
yaitu berupa kerinduan yang sangat kepada tuhannya yang sekian ini tiada pernah
ditemuinya. Sehingga untuk bertemu dengan tuhannya itu poyangnya mengharap
diberikan rasa dimana dapayt merasakan kehadiran tuhan diantara hidupnya.
Selain itu ada puisi karya Chairil Anwar berjudul “Doa” yang
dapat dijadikan contoh karya seni sebagai konteks religi.
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Pada kutipan puisi
karya Chairil Anwar tersebut yaitu daapat dipaparkan bahwa sisi religi dari
puisi tersebut adalah berupa doa yang diucapkan ketika sesorang sedang hendak
melupakan tuhannya secara tidak sengaja, dalam arti ketika sedang disibukkan
dengan urusan-urusan dunia yang mencengangkan. Namun si aku pada puisi tersebut
masih tetap mampu untuk mengingat tuhannya yang maha agung dan maha segalanya
itu.
2. Seni sebagai Imajinasi
Seni sebagai imajinasi yaitu seni tercipta atas imajinasi
pengarang atau seniman dalam proses pembuatan karya seni tersebut. Yang
akhirnya setelah dinikamti oleh pembaca, pemirsa atau pendengar dapat pula
mengimajinasi mereka, dan tentunya kemungkinan besar akan dapat memunculkan
karya baru yang berdasarkan imajinasi yang diberikan oleh pencipta seni
tersebut.
Contoh karya yang dapat dicontohkan yaitu pada puisi
karya L.K. Ara yang berjudul “Bugenvil”
......
Sifatku sedikit aneh
Siksalah daku
Potong tanganku
Aku akan merana
Tapi lihatlah segera
Bungaku
Muncul bersama
Mekar dengan indahnya
Dari puisi yang terimajinasi dari tumbuhan bunga bugenvil
yang indah hingga dapat dijadikan puisi yang mempunyai nilai estetik. Karena
keindahannya itulah bugenvil menjadi tanaman yang disukai banyak orang dan
menjadi inspirasi bagi siapapun yang mampu mengembangkan kemampuan
berimajinasinya. Dengan terciptanya puisi berjudul “Bugenvil” ini, maka pembaca
dapat pula melakukan apa yang telah dilakukan oleh pengarang. Yaitu dengan
menciptakan karya seni yang terimajinasi dari alam sekitar.
Contoh lain yang dapat digunakan adalah lukisan Raden
Saleh
RADEN
SALEH (1807 – 1880)
Lukisan Raden Saleh yang berjudul
“Badai” ini merupakan ungkapan khas karya yang beraliran Romatisme. Dalam
aliran ini seniman sebenarnya ingin mengungkapkan gejolak jiwanya yang
terombang-ambing antara keinginan menghayati dan menyatakan dunia (imajinasi)
ideal dan dunia nyata yang rumit dan terpecah-pecah. Dari petualangan
penghayatan itu, seniman cenderung mengungkapkan hal-hal yang dramatis,
emosional, misterius, dan imajiner. Namun demikian para seniman romantisme
sering kali berkarya berdasarkan pada kenyataan aktual.
Dalam lukisan “Badai” ini, dapat
dilihat bagaimana Raden Saleh mengungkapkan perjuangan yang dramatis dua buah
kapal dalam hempasan badai dahsyat di tengah lautan. Suasana tampak lebih
menekan oleh kegelapan awan tebal dan terkaman ombak-ombak tinggi yang
menghancurkan salah satu kapal. Dari sudut atas secercah sinar matahari yang
memantul ke gulungan ombak, lebih memberikan tekanan suasana yang dramatis.
3. Seni sebagai Kontemplasi
Seni sebagai kontemplasi yaitu seni dapat dijadikan
sebagai bentuk renungan. Bentuk renungan yang dimaksud adalah yang dilakukan
sesorang dan yang bermuara pada keyakinan atas kuasa Tuhan semata. Dapat
dicontohkan dengan beberapa karya seni diantaranya yaitu puisi karya saya
sendiri yang berjudul “Lebur”. Berikut kutipannya,
........
Dambaan
setiap hati
Mati sebelum mati tak mudah
tuk jalani
Mahaguru dambaan kami
Padamu ku abdikan diri
Puisi
di atas adalah sebuah perenungan seorang murid yang benar-benar membutuhkan seorang
guru yang dapat menuntun dan membimbing dirinya supaya dapat sampai pada yang
dituju, yaitu Tuhan. Karena bagidirinya untuk menemukan Tuhan yang sejati
tidaklah semudah mencari apapun di dunia ini. Karena memang membutuhkan
sesorang yang benar-benar telah dekat dengan Tuhan untuk dapat mewujudkan
tujuannya itu. Mati sebelum mati yang dimaksudkan adalah matinya ego dan
kesombongan bahwa dirinya tidak mampu dan tidak berdaya. Maka dari itu dirinya
tidak ingin terjerumus dalam perasaan yang mengesampingkan Tuhan. Kesempurnaan
menuju Tuhan adalah ketika seseorang telah berhasil mematikan keakuannya
sendiri, dan mengakui bahwa hanya Tuhanlah yang pantas untuk diagungkan.
Anda memakai referensi buku apa?
BalasHapus