Kutipan Dialog “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”

Kutipan Dialog “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”
Babak I
Mak Base        : “Sedang apa kau, Din? Untuk apa semua pakaianmu kau masukkan dalam              kantong itu?”.
Zainudin         : “Mak, aku teringat pesan Ayah ketika beliau akan menutup mata. Ayah                   berkata padaku, bahwa negerinya yang asli bukan Mengkasar, tetapi jauh        seberang lautan, yang lebih indah lagi dari negeri Mengkasar. Disanalah                     pendam kuburan nenek moyangku. Jauh... katanya, jauh benar negeri itu.         Jauh dibalik lautan lebar, subur, dan nyaman tanamannya. Aku ingin kesana             Mak, ke tempat asalku.
Mak Base        : “Untuk apa kau kesana, Din? Tidakkah lebih baik kau disini bersama Mak               Base. Paling tidak sampai Mak mati nanti”.
Zainudin         : “Tidak, Mak. Aku ingin pergi kesana. Sempit rasanya alam saya, Mak Base,            jika saya masih tetap hidup juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan       saya dapat di sini. Biarkan saya berangkat ke Padang . Kabarnya konon,                          disana hari ini telah ada sekolah-sekolah agama. Pelajaran akhirat telah telah     diatur dengan sebagus-bagusnya. Apalagi puncak Singgalang dan Merapi             sangat keras seruannya padaku rasanya. Lepas saya berangkat kesana.                           Lepaslah, Mak, jangan Mamak diam saja.”
Mak Base        : “Bagaimana Mamak tidak diam, bagaimana hati mamak tidakkan berat. Dari kecil engkau kubesarkan, hidup dalam pangkuanku. Rasanya hidup mamak pun tak dapat diceraikan dari hidupmu. Perlu kau tahu, Din. Padang bukanlah seperti Mengkasar. Ayahmu yang dari Padang, bukan ibumu, maka kau akan dianggap sebagai orang asing dan sulit diterima dengan baik di sana.”
Zainudin          : “Mak, aku ini laki-laki, tak perlu kau khawatirkan aku tentang hal itu.
Mak Base        : “Kalau memang sudah bulat tekadmu, terimalah uang ini. Ini adalah peninggalan ayahmu, hasil jerih payahnya untuk menghidupimu. Gunakan ini sebaik-baiknya, Din.”
Zainudin         : “Ah Mak Base, apa yang kau bicarakan? Ini untuk kau saja, kau lebih membutuhkan uang ini Mak.”
Mak Base        : “Tidak, Din, ini hak mu. Bawalah semuanya.”
Zainudin         : “Baiklah Mak, terimakasih selama ini Mamak telah bersusah payah menjagaku. Sekarang saatnya aku pergi ke tanah asalku, Minangkabau.”
Mak Base        : “Jaga dirimu baik-baik, Din. Mak selalu berdo’a untuk keselamatanmu.”
Zainudin         : “Selamat tinggal, Mak.”

Babak II
Sore hari, Zainudin duduk-duduk di lepau, tempat biasa anak-anak muda berkumpul. Meskipun sudah satu bulan, ia masih belum menemukan teman baik, sebaik Mak Base.
Zainudin         : “Sebulan berlalu, mengapa tak ku dapatkan seseorang sebaik hati Mak Base. Benar apa yang dikatakannya, bahwa aku disini hanyalah dianggap orang pendatang, bukan orang Minangkabau tulen. Karena ayahkulah yang berasal dari sini, bukan ibuku.”
Tiba-tiba hujan turun sangat deras, anak-anak muda sudah belari meninggalkan lepau. Namun hanya dua gadis bernama Hayati dan Khadijah berteduh di tempat yang sama dengan Zainudin. Awalnya Zainudin malu-malu untuk bertanya kepada mereka, namun akhirnya ia beranikan juga.
Zainudin         : “Encik, apakah benar Encik yang bernama Hayati?”
Hayati             : “Benar, Tuan.”
Zainudin         : “Jika Encik berkenan, pulanglah dahulu Encik dan kawan Encik dengan payung saya ini.”
Hayati             : (dengan muka malu-malu, ia menerima tawaran Zainudin untuk memakai payung miliknya) “Terimakasih, Tuan. Saya dan sahabat saya pulang dulu dari sini.”
Zainudin         : “Baiklah, Encik. Hati-hati.”
Sejak saat itu, Zainudin merasa jantungnya berdetak cepat ketika kembali bertemu dan teringat dengan Hayati. Beberapa hari kemudian, Hayati mengembalikan payung milik Zainudin dengan disertai surat untuknya, namun melalui anak kecil yang tinggal di dekat rumah Zainudin. Kemudian Zainudin membalas surat tersebut. Mulai saat itu, Zainudin dan Hayati sering berkirim surat, hingga akhirnya mereka menjalin sebuah hubungan cinta dan berkeinginan untuk segera menikah. Pada saat itu, Hayati berjanji akan memperjuangkan cintanya hingga ke pelaminan. Namun, takdir berkata lain. Orang tua  Hayati telah menjodohkannya dengan pemuda asli Minangkabau anak orang berada, yang bernama Aziz.

Datuk Garang : “Hayati, inilah keluarga besar kita.kami berkumpul untuk membicarakan yang terbaik tentang masa depanmu. Datang permintaan orang untuk meminangamu, yaitu Aziz di Padang Panjang dan datang pula sepucuk surat dari Zainudin , itu juga maksudnya. Setelah kami timbang melarat dan mafaat, Azizlah yang kami terima. Kami panggil engkau sekarang menyatakan kebulatan itu, supaya engkau terima dengan suka. Bagaimana pertimbanganmu?
Hayati lama tidak menjawab, karena dalam hatinya menangis. Dia mencintai dan ingin menikah dengan Zainudin, namun orang tuanya tidak mungkin menyetujuinya. Dia hanya diam dan terus meneteskan air mata.
Datuk Garang : “Jawablah, kami hendak pergi.
                          Lekaslah jawab, sudah lama kami menunggumu untuk menjawab.
                          Jika kau tidak menjawab, tandanya kau suka.”
Hayati             : “Bagaimana yang akan baik kata ninik mamak saja.. saya menurut.”

Tidak lama kemudian Zainudin mendengar kabar bahwa Hayati akan segera menikah dengan pemuda pilihan orang tuanya. Saat itu, Zainudin kecewa dan sakit hati, hingga ia merasa kehilangan cahaya hidupnya. Kekasihnya akan diambil orang, dan kini dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hingga akhirnya datanglah sahabat Zainudin dari Mengkasar yang bernama Muluk.
Muluk             : “Guru, hamba perhatikan sejak saya datang kesini, tidak pernah saya temui senyum mengembang dari bibir Guru. Hanya kesedihan yang menyelimuti hari-hari Guru. Sudahlah Guru, janganlah engkau berlama-lama terpuruk dalam kedukaan hati. Mengapa Guru tidak mencoba mengadu nasib ke Pulau Jawa.”
Zainudin         : “Untuk apa aku pergi ke sana?”
Muluk             : “Menurut hamba, disana Guru dapat mengadu nasib dengan menjadi seorang penulis. Guru dapat menuliskan apa saja yang Guru rasakan, dan kisah-kisah Guru selama ini. Kemudian coba untuk dikirim pada redaksi surat kabar. Barangkali mereka tertarik dengan karya-karya Guru.”
Zainudin         : “Benar katamu Muluk, akan kucoba saranmu. Bagaimana jika besok kita segera berangkat ke Jakarta.”
Muluk             : ”Bailah Guru.”

Tidak sukses menjadi penulis di Jakarta, Zainudin kemudian memutuskan berpindah ke Surabaya untuk mengembangkan bakatnya itu, dan menyebarluaskan karya-karyanya. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Hayati dan Aziz dalam acara tonil yang diselenggarakan olehnya bersama orang-orang Minangkabau yang merantau di Surabaya, dan Zainudin mempersilakan Aziz dan Hayati untuk tinggal bersama di rumahnya, dan Aziz menyetujuinya. Sampai pada akhirnya Aziz memutuskan untuk menceraikan Hayati, dan meminta Zainudin untuk menikahinya.

Zainudin sedang duduk termenung di meja tulisnya membolak-balik surat yang diterimanya itu serta memandang surat kabar dengan hati sangat terharu. Tiba-tiba Hayati masuklah ke dalam memberanikan dirinya.
Zainudin          : “Duduklah!”.
Hayati             : “Adakah surat dari suamiku?”.
Zainudin          : “Ada!”.
Hayati             : “Sayapun menerima pula, ini dia. Apa akal saya lagi, Engku Zainudin?
                            Saya akan berkata terus terang kepadamu, saya akan panggilkan kembali                 namamu sebagaimana dahulu saya pernah panggilkan, Zainudin! Saya akan       sudi menanggungkan segenap cobaan yang menimpa diriku itu, asal engkau                           sudi memaafkan segenap kesalahanku”.
Zainudin         : “Maaf? Kau regas, segenap pucuk pengharapanku kau patahkan, kau minta           maaf?”.
Hayati             : “Mengapa engkau telah menjawab sekejam itu kepadaku, Zainudin? Lekas               sekalipun pupus dari hatimu keadaan kita? Jangan kau jatuhkan kepadaku           hukuman yang begitu ngeri!”.
Zainudin         : “Lupakah kau? Siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau telah                   berjanji, seketika saya diusir dari mimik mamakmu, sebab saya tak tentu          asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antar aku si             simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku , meskipun akan        berapa lamanya. Tetapi kemudian kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya      raya, berbangsa, beradat, berlembaga berketurunan. Kau kawin dengan dia,         kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang    lain, tapi pilihan kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati!              Dua bulan lamanya saya tergeletak di tempat tidur. Kau jenguk saya dalam         sakitku, memperlihatkan kepadaku bahwa tangan kau telah berinal, bahwa         kau telah kepunyaan orang lain. Siapakah diantara kita yang kejam, hai                perempuan muda? Tidak Hayati! Saya tidak kejam, saya hanya menuruti               katamu. Bukankah engkau minta di dalam suratmu supaya cinta kita itu                dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang kekal?               Permintaan itulah yang saya pegang sampai sekarang. Maka sebagai seorang              sahabat pula, engkau akan kulepas pulang ke kampungmu, ke tanah asalmu,                Tanah Minangkabau”.
Hayati             : “Tidak! Saya tidak akan pulang, saya akan tinggal dengan engkau di sini biar          saya kau hinakan, biar kau pandang sebagai babu yang hina, saya tak kau          beri belanja berapapun banyaknya, saya perlu dekat kau!”.
Zainudin         : “Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya dalam                 keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang        hidup saya, orang tak punya asal...Negeri Minangkabau beradat! Besok hari               senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periok, akan terus ke         Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”.
Keesokan harinya, Hayati telah siap untuk berangkat. Namun ia kembali melihat0lihat kamarnya. Setelah lebih dulu melihat tenang-tenang dan sayu kepada gambar yang tergantung di dinding.
Hayati             : “Tanda peringatan apakah yang dapat saya bawa dari pumah ini Bang                      Muluk?.
Muluk             : (Muluk melangkah ke dekat dinding, diambilnya sebuah gambar Zainudin              yang bergantung di sana) “Bawa sajalah ini, sekurang-kurangnya akan jadi            peringatan!”.
Tak lama kemudian, Hayati telah pergi meninggalkan rumah Zainudin, dan kemudian berlayar menuju kampung halamannya. Namun pada keesokan harinya, ia membaca di surat kabar bahwa Kapal Van Der Wijck tenggelam. Setelah mendengar berita bahwa kapal yang ditumpangi Hayati mengalami kecelakaan dan dia dirawat di rumah sakit karena ternyata Hyati ditolong oleh penangkap ikan. Setelah sampai di rumah sakit, mereka termenung melihat keadaan Hayati yang terbaring lemah di dalam kamar sakit. Tiba-tiba seorang juru rawat bertanya kepada Zainudin.
Juru rawat       : “Agaknya Tuan yang bernama Zainudin bukan?”.
Zainudin         : “Ya, di mana nona tahu?”.
Juru rawat       : “Ketika perempuan itu dibawa kemari, kepalanya yang berdarah diikatnya               dengan selendangnya sendiri, ketika menukar selendangnya itu dengan                       perban, telah dapat dikeluarkan dari dalam gulungannya sebuah gambar,                           yang dibawahnya  ada tertulis tanda tangan Tuan Zainudin”.
Setelah beberapa jam menunggu, sadarlah Hayati dari pingsannya, dan dilihatnya wajah Zainudin tenang-tenang, maka timbullah dari matanya, sekejap saja, cahaya pengharapan.
Hayati             : “Kau .... Zain ...”.
Zainudin         : “Ya Hayati! Allah rupanya tak izinkan kita berpisah lagi, bila telah bolehlah             keizinan dari dokter, kita segera berangkat ke Surabaya”.
Hayati             : (dilihatnya pada Muluk tenang-tenang) “Bang! ... su .... rat”.
Muluk             : “Sudah Hayati, sudah kuberikan!”.
Kemudian Hayati pingsan kembali. Juru rawat bersama dokter kembali masuk kamar hayati dan memeriksanya kembali. Ternyata Hayati mengalami kekurangan darah karena terlalu banya darah yang dikeluarkan pada luka di kepalanya. Kemudian Zainudin bertanya pada dokter.
Zainudin         : “bilamana halnya Tuan Dokter?”.
Dokter             : “Dia terlalu payah, darah terlalu banyak keluar, sekarang dia demam”.
Zainudin         : “Sayang di sini perkakas tidak cukup. Baru saja dipesankan ke Surabaya,               beberapa dokter akan datang membantu kemari”.
Hari mulai malam, kira-kira pukul 10 malam Hayati membuka kedua matanya. Bagi orang yang tahu dan biasa melihat tanda-tanda orang yang akan mati, telah kelihatan tanda-tanda itu, cahaya matanya sudah tak ada lagi, bibirnya sudah surut ke atas. Diisyaratkannya dengan kepalanya menyuruh Zainudin mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkannya.
Hayati             : “Zainudin, saya dengar perkataan ... Tuan Dokter ... saya tahu bahwa waktu ... saya ... telah dekat”.
Zainudin         : “Tiadak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembali ke Surabaya                 menyampaikan cita-cita kita, akan hidup beruntung, berdua! Tidak ... Hayati              ... tidak!”.
Hayati             : “Sabar ... Zain, cahay kematian telah terbayang di mukaku! Cuma, jika                    kumati ... hatiku telah senang, sebab telah ku ketahui bahwa engkau masih        cinta kepadaku!”.
Zainudin         : “Hidupku hanya buat engkau seorang Hayati!”.
Hayati             : “Aku pun! Bacakan ... dua ... kalimat suci ... di telingaku”.
Tiga kali Zainudin membacakan kalimat Syahadat itu, diturut-turtkan yang mula-mula itu dengan lidahnya, yang kedu adengan isyarat matanya, dan yang ketiga ... dia sudah tak ada lagi.






Komentar

  1. Karena cinta bukan hanya logika tapi sepatut-patutnya sebuah jalan yang berani menempuhnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, cinta yg besar akan menghadirkan perjuangan & ikhlas yg besar pula, meskipun tidak mudah.

      Hapus
  2. Ko cerita nya beda sama yang di film ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dialog di atas diambil dari novelnya. Sedangkan dalam film, cerita tersebut telah melalui interpretasi pihak2 yg terlibat, misalnya penulis skenario, sutradara, dll. Sebagian besar cerita dalam film sama dg di novel kok 😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS PUISI "GADIS PEMINTA-MINTA"

Puisi karya Amir Hamzah yang berjudul “PADAMU JUA”