MAKALAH ANALISIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK “KASIH TAK SAMPAI”

LOGO UNNES.jpeg

MAKALAH
ANALISIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
“KASIH TAK SAMPAI”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa


Oleh :
Sefila Osie Arzani        (2101411034)
Rombel 02 PBSI



BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Sinopsis
            Dalam Novel ini dikisahkan seorang ronggeng (penari) dari Dukuh Paruk. Ronggeng itu bernama Srintil. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu stradisi yang dibangga-banggakan yaitu kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kepiawaiannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun menjadi gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani beberapa serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang berani memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, namun tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat dan menyatu dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil di Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata memberikan luka yang mendalam di hati Srintil dan besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya nanti. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang prajurit tentara yang gagah.
Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.

            Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus pergi tanpa berpamitan pada Srintil yang masih tertidur pulas. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang melihat kemurungan Srintil,karena mereka merasa hanya ronggenglah yang dapat menjadikan Dukuh Paruk terasa hidup. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap tidak ingin menari sebagai ronggeng.

            Pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya pasrah dan memenuhi permintaan tersebut, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekalii ia tidak membayangkan akibat dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.

            Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang dekat dengan PKI di daerah mana pun ditangkap dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di penjara tanpa alasan yang jelas. Awalnya  terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh di daerah tersebut. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang terjadi di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik panjang, Srintil terpaksa lebih banyak di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Srintil tidak paham dengan  rapat-rapat umum dan pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu lelaki.

            Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam waktu singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin.
Tetapi kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang dulu. Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.

            Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur dikenal sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.
Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.

            Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.







1.2. Topik
      Topik yang penulis gunakan dalam makalah yang berisi tentang analisis novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yaitu “Kasih Tak Sampai”. Mengapa “Kasih Tak Sampai”? karena cerita dalam novel tersebut bercerita tentang harapan ronggeng Srintil untuk dapat hidup bersama dengan lelaki yang sangat dicintai dan didambakan sejak kecil, arena dia memang teman bermainnya, yaitu Rasus. Namun Rasus tidak mau menerima ajakan Srintil untuk menikah, karena bagi Rasus, Ronggeng adalah milik masyarakat, milik orang banyak, dan milik semua orang. Maka Rasus merasa akan sangat egois jika harus menikahi Srintil. Meskipun sebenarnya hati Rasus sangat sakit ketika harus mengatakan hal itu kepada Srintil. Srintilpun sebenarnya tahu perasaan Rasus, bahwa dia masih sangat mencintainya. Namun Rasus tidak mau mengakuinya dan lebih memilih pergi meninggalkan Srintil, neneknya yang sudah tua, dan Dukuh Paruk.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Analisis Novel
·         Unsur Intrinsik
1.      Fakta Cerita
a.       Alur
Alur yang dugunakan dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” ini adalah alur maju. Karena dalam novel tersebut menceritakan kehidupan Ronggeng Srintil sejak kecil, atau kehidupan masyarakat Dukuh Paruk sejak dulu ketika belum mengenal kehidupan di luar Dukuh Paruk dan pertunjukan ronggeng yang hanya bisa ditemui di Dukuh Paruk saja. Namun akhirnya ronggeng yang sangat terkenal di Dukuh Paruk itu dapat disaksikan oleh masyarakat di luar Dukuh Paruk, yaitu seperti dalam acara-acara yang diselenggarakan di kantor kelurahan dan lain sebagainya.
Tahap-tahap alur :
·         Tahap pengenalan
Tahap ini umumnya berisi sejumlah informasi penting sehubungan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Misalnya, berupa pengenalan tentang waktu dan tempat terjadinya peristiwa  dan pengenalan tokoh cerita.
Kutipan tahap pengenalan adalah sebagai berikut :
“ Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. .... Dibawah pohon nangka itu mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota”.
·         Konflik
Tahap ini merupakan tahap pemunculan masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang kemudian menjadi sebab terjadinya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
Kutipan tahap konflik adalah sebagai berikut :
“Sulam! Kau boleh pongah kepada siapapun, tapi jangan kepadaku. Yang hendak ku serahkan kepada Kartareja lebih mahal daripada sekadar sebuah ringgit emas. Dan kau, Kartareja! Alangkah dungu bila kau menolak pemberianku dan menerima pemberian Sulam.”
“Eh? Engkau marah? Kaulah yang dungu! Kartareja hanya menerima ini sebagai syarat, bukan yang lain-lain apapun bentuknya,” ujar Sulam sambil membanting uang logam kuning ke atas meja. Kemilau cahayanya. “Berilah lebih banyak bilakau memang kaya,” tantang Dower.”
“Bila dari awal Kartareja menghebdaki lebih banyak, dua ringgit emas misalnya, pasti ku penuhi. Kau anak Pecikalan jangan banyak cakap. Pulanglah! Gembalakan kerbaumu di sawah.”
“Sulam jangkrik kamu!”.
·         Klimaks
Tahap klimaks yaitu ketika konflik telah mencapai intensitas tertinggi.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
·         Tahap akhir (peleraian)
Adapun tahap akhir menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
b.      Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama
Srintil adalah perempuan cantik berperawakan menarik digambarkan sebagai simbol perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Kutipan :
“Itu dia ronggeng Dukuh Paruk. Srintil memang cantik.”
“He! Betulkah di Dukuh Paruk ada seorang gadis dengan kulit bersih, betis montok tanpa kurap?”

Rasus, Seorang pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan mertabat rakyat dukuh paruk. Walaupun dia seorang tentara yang semestinya memiliki sifat kuat, kokoh, jauh dari melankolisme. Tapi ini sebaliknya di balik baju lorengnya sebenarnya dia itu rapuh, hatinya halus.
Kutipan :
“Tolonglah Srintil, cucuku wong bagus. Nasibnya kupercayakan padamu kepada sampeyan. Ya, siapa lagi kalau bukan sampeyan.” Rasus tak kuasa mengayunkan langkah lebih jauh. Dipandangnya Sakarya yang sedang mengusap air mata. Tangis Sakarya telah menghujamkan lebih dalam sebuah harapan pamungkas di dasar jiwa Rasus....

2.      Tokoh bawahan
Nenek Rasus, wanita tua yang hidup apa adanya.
Kutipan :
“... bila mendengar Nenek masih mengiris-iris singkong untuk dibuat gaplek serta pergi ke tanah kosong buat menggembala kambing, itu sudah cukup.”

Sakarya, (kakek Srintil) sifat kolot, keras, penyayang.
Kutipan :
“Sasmita buruk lagi, pikir Sakarya. Apabila sudah yakin maka hanya satu hal yang harus dilakukan oleh kamituaDukuh Paruk itu ; mengetuk pintu makam Eyang Secamenggala di puncak bukit, kemudian memasang sesaji dan membakar kemenyan.”

Sakum. Pemain calung yang tekun,baik, optimis akan hidupnya.
Kutipan :
“Yang dinantinya adalah ledakan kegembiraan. Naik pentas berarti uang nagi seluruh anggota rombongan ronggeng. Keluarga Sakum yang hidup diatas titik pusat peta kemelaratan Dukuh Paruk harus menyambutnya dengan gembira.”   

Ki Kertareja, dukun ronggeng yang taat pada adat yang berlaku di Dukuh Paruk.
Kutipan :
“Ya. Dan tentu sampeyan perlu memperhalus tarian Srintil. Cucuku tampaknya belum pintar melempar sampur. Nah, ada lagi yang penting masalah ‘rangkap’ tentu saja itu urusanmu bukan? Rangkap yang dimaksud oleh Sakarya adalah soal guna-guna, pekasih, susuk, dan tetek bengek lainnya yang akan membuat ronggeng laris.

Nyai Kartareja. Materialistis, pandai membujuk dan licik.
Kutipan :
“Eh jangan begitu wong ayu” kata Nyi Kartareja sambil mengatur dirinya duduk di samping Srintil “Kamu tak boleh menyepelekan tamu. Apalagi kamu sekarang bukan sembarang orang. Kalu aku menjadi kamu, Srin, aku takkan menyianyiakan kesempatan ini, membonceng motor ubluk  bersama Pak Marsusi ke kota.”  

Tampi: penyayang, sabar.
Kutipan :
“Bagaimana Srin?” tanya Tampi setelah melangkahi pintu bilik. “Ini kubawakan untukmu pisang raja yang matang pohon. Wangi sekali,”

Sersan Pujo. Baik dan tegas
Kutipan :
“Itu saya mengerti. Tetapi sebagai sahabat saya mengingatkan Saudara : pikirlah sekali lagi sebelum saudara meneruskan maksud ini.”

Masusi. Jahat, hidung belang, pendendam.
Kutipan :
“ Dan Marsusi terkejut ketika sadar dirinya kini berada hanya beberapa jengkal dari Dilam. Dan dia berada dalam bilik itu, terus terang dalam rangka tujuan yang sama. Bila Dilam telah mencelakakan pemilik ladang yang telah meracuni kerbaunya, maka Marsusi akan membuat celaka seorang anak Dukuh Paruk yang telah mempermalukannya, menampik hajatnya. Pandangan mata Marsusi baur. Terbayang oleh Srintil memegang dada sambil terbatuk mengeluarkan darah segar. Ada beling dan paku-paku berhamburan dari mulutnya. Matanya terbeliak mengerikan. Kemudian terbayang keranda diusung menuju pekuburan diiringi tangis semua warga Dukuh Paruk. Marsusi menggeleng-gelengkan kepala. Menelan ludah dan membunuh rokoknya di lantai. Seperti halnya Dilam, pada saat itu pun Marsusui ingin segera pulang. Tetapi bayangan Srintil ketika menampiknya kelihatan lagi di depan mata. Urat-urat pipinya menggumpal. Pada saat itu terdengar suara dari dalam. Kakaek Tarim memamnggilnya.”
Diding. Kacung Tamir yang tunduk dan patuh pada majikan demi uang yangakan di bawanya pulang untuk anak istrinya.
“Pak, malam ini aku tidak ikut pulang ke penginapan. Aku dan Diding.”
“He? Mengapa aku?” sela Diding.
“Sudahlah, nanti uang makanku buat kamu.”
“Kamu tidak ikut krmbsli ke Eling-eling?”
“Satu malam saja, Pak. Ah, malah saya bisa bekerja gasik besok pagi. Percayalah, Pak.”
“Mau ke Dukuh Paruk, kan? Bajul cilik kamu!”
“He...he...he.”    

Tamir. Laki-laki hidung belang yang datang dari kota Jakarta dalam pekerjaannya pengukuran   tanah untuk pembuatan jalan di Dukuh Paruk Pecikalan. Dia seorang laki-laki petualang perempuan yang patah hati oleh Srintil.
Kutipan :
“Pada hari ke tiga ketika Bajus dan teman-temannya sedang berada di sebuah warung minuman di Dawuan, Tamir membuat pengakuan segar.
“Siapa yang percaya padaku ketika kemarin aku pergi ke Dukuh Paruk hendak buang haja?”
“Bajingan! Jadi apa perlumu kesana? Menemui perempuan itu?” tanya Bajus.
“Jangan marah dulu, Pak. Pokoknya aku memperoleh ilmu penting. Aku tahu namanya : Srintil.”
“Srintil? Nama yang aneh.”
“Tak apa, kan? Yang penting bagaimana  orangnya.”
“Lalu?”
“Dia tidak punya suami. Ini!”
Semua diam, seakan cerita yang keluar dari mulut Tamir memerlukan kekhususan buat memahaminya. Dan Tamir cengar-cengir.

Bajus. Bujang tua yang baik kepada Srintil namun jauh dari perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek tendernya lolos.
Kutipan :
“Ya, andaikan benar dia tidak bersuami, lalu kamu mau apa?” sela Diding.
“Ah, berita apapun memang tak penting bagimu kecuali berita pembayaran gaji. Namun siapa tahu Pak Bjus menyukai keteranganku. Siapa tahu, Pak.”
“Hus! Aku memang perjaka lapuk. Aku memang tertua diantara kalian. Namun mestinya tidak harus menjadi sasaran untuk celoteh semacam ini.”

Darman. Aparat kepolisian yang membantu maksud dan tujuan Marsusi kepada Srintil demi satu truk kayu bakar.
Kutipan :
“Begini, Mas Darman. Aku memerlukan sedikit keterangan tentang Srintil,” kata Marsusui dengan suara rendah.
“Srintil?” tanya Darman. Kepalanya condong ke depan dan matanya membulat.
“Betul, Mas. Sampai kapankah kiranya Srintil dikenai wajib lapor?”
“Wah, nanti dulu. Mengapa sampean bertanya tentang Srintil?”
“Terus terang, ini berhubungan dengan keadaanku yang sudah menjadi dada.”
“Ah, ya. Lalu mengapa Srintil?”
Kata-kata Darman terputus dan berlanjut dalam hatinya; selagi semua orang bekerja keras menghapus jejak koneksitas dengan orang-orang yang terlibat peristiwa 1965, mengapa Marsusi berbuat sebaliknya?”
“Mas Darman, sesungguhnya aku malu terus terang. Tetapi bagaimana ya, aku benar-benar tidak bisa melupakannya.”
“Baik Pak Marsusi. Asal sampean camkan, situasinya bisa berkekmbang demikian rupa sehingga dapat menyulitkan diriku.”
“Oh, aku sadar betul, Mas Darman. Akan ku jaga sekuat tenaga agar segala kaibat tindakanku, akulah yang menanggung, aku seorang. Sekarang katakan, kapan kiranya Srintil bebas dari waib melapor.”

Pak Blengur. Bos besar pemegang tender pembuatan jalan, jembatan dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu perempuan ke perempuan lainya namun terketuk hati dan kesadarannya karena Srintil.
Kutipan :
“Ternyata rapat  berlangsung tidak hanya dua jam saja. Bajus berdiri dan melongok ke dalam. Dilihatnya Blengur sedang berbincang sambil berdiri dengan seorang pejabat penting yang berkantor di Eling-eling. Tak sabar, Bajus masuk. Dengan kesopanan seorang kacung diambilnya tas dari tangan Blengur, lalu berdiri menunggu. Keduanya kemudian keluar.
“Kok mereka pulang, Pak,” taya Bajus ketika melihat banyak mobil keluar meninggalkan hotel. “Sudah tak ada acara lagi?”
‘Tidak ada. Buoati tidak menghendaki ada pesta. Wah, kebetulan. Aku pun tak menghendaki pesta. Aku hanya ingin beristirahat.”
“Kita bisa ngomong-ngomong sebenyar di sini, Pak?”
“Soal apa?”
“Biasa, Pak. Kepada siapa lagi kalau bukan pada Bapak saya minta pekerjaan. Nah, ini bagaimana Pak?”
Blengur memperhatikan dua foto yang baru diserahkan kepadanya oleh Bajus. Kepalanya miringk ke kiri dan ke kanan, seakan lupa benda yang dipegangnya hanya berdimensi dua. Perempuan dalam foto ini langsung menjebak dengan kesan yang kuat.”
Lurah Pecikalan (kepala desa). Bijaksana dan peduli akan penduduknya.
Kutipan :
“Lurah pecikalan yang tua dan kuno sesungguhnya merasa malu bila da priyayi proyek seperti Bajus masuk ke tengah kemelaratan Dukuh Paruk. Tentang kemelaratan di pedukuhan terpencil itu secara resmi bisa dihubungkan dengan kemampuannya sebagai kepala desa. Maka tanpa mengingat Dukuh Paruk yang waktu dihubungkan dengan keberingasan orang-orang komunis, Lurah Pecikalan menyetujui keinginan Srintil yang disampaikan lewat Kartareja. Bahkan lurah tua itu memberi keterangan tentang beberapa orang yang hendak menjual rumah. Mereka adalah para penerima uang ganti rugi tanah dan bermaksud membangun rumah baru yang permanen.”

c.       Setting
Seting tempat
·         Di tepi kampung
Kutipan :
Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur.”
·         Makam ki Secamenggala
Kutipan :
“Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pila. Kita bisa kualat nanti.”
·         Dukuh Paruk
Kutipan :
“Dukuh Paruk masih diam meskipun beberapa jenis satwanya sudah terjaga oleh pertanda dayangnya pagi.’
·         Pasar Dawuan
Kutipan :
“Orang-orang di Pasar Dawuan asyik terlena. Segala sesuatu lepas dari perhatian mereka, tak terkecuali sebuah subjek yang sedang terdampar di atas lincak pedagang lontong. Musik Wirster mengantarkan Srintil ke alam jaga yang paling santun.”
·         Rumah Tarim
Kutipan :
“Saya Dilam dari Warubosok . saya datang kemari hendak minta tolong kepada Kakek Tarim. Bapak juga kan?” Marsusi hanya tersenyum. Dan menyulut rokok. Teman barunya ditawarinya sebatang rokok.”
·          
Seting waktu :
·         Pada tahun 1964
“Tidak seorangpun di Dukuh Paruk mempunyai kalender. Bilapun ada tak seorang pun disana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964.”
·         Tengah malan Februari 1966
“Tengah malam Februari di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa Tengah. Kegelapan yang mencekam telah berlangsung setengah tahun lamanya.”
·         Memasuki tahun 1970
“Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser berbagai jenis ukuran.”
·         Jum’at malam
“Sudah Jum’at malam. Seorang pemudapun belum juga datang menemui harapannya, menyerahkan sekeping ringgit emas bagi keperawanan Srintil. “Alangkah malu bila sayembara bukak klambu yang kuselenggarakan tidak berhasil. Sia-sialah tiga ekor kambing yang telah ku jual,” pikir Kartareja seorang diri. Tetapi lamunan dukun ronggeng itu terhenti keetika pintu depan berderit.  
Setting suasana:
·         Tenang, tentram
“Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk-pikuk bergalau dalam telinga. Dan tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar menyilaukan yang masuk matanya. Matahari pagi muncul di balik awan. “Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah dekat,” gumam Sakarya. Aneh, Sakarya merasakan ketentraman dalam hati setelah bergumam demikian.”
·         Gembira, bangga, bahagia
“Kegembiraan itu lahir dan berkembang dari Dukuh Paruk. Berita cepat tersiar bahwa pada malam perayaan Agustusan nanti Srintil akan kembali meronggeng. Kurang dua hari lagi, tetapi sudah banyak orang bersiap-siap. Anka-anak mulai bertanya tentang  uang jajan kepada orangtua mereka. Para pedagang, dari pedagang toko sampai pedagang pecel bersiap dengan modal tambahan. Juga tukang lotre putar yang selalu menggunakan kesempatan ketika banyak orang berhimpun.”
·         Tegang, genting
“Kenapa Jenganten?”
“Pusing, Nyai, pusing! Oh, hk. Napasku sesak. Dadaku sesak!”
Nyai Kartareja merangkul Srintil. Dia langsung mengerti masalahnya genting karena Srintil tidak lagi menguasai berat badannya sendiri.
2.      Sarana Cerita
a.       Judul :
Judul novel yang dianalisis adalah “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.
Sudut Pandang :
Sudut pandang yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tidak hanya satu. Karena ada beberapa sudut pandang dalam novel tersebut. Seperti pada BAB 1 sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu. Karena disini tidak diketahui siapa yang menceritakan. Apakah si pengarang ataukah orang lain yang pada saat itu berada pada tempat itu. Kemudian pada BAB 2 hingga BAB 4 menggunakan sudut pandang orang pertama sertaan. Karena pada bagian tersebut yang bercerita adalah tokoh Rasus. Rasus menceritakan apa yang di alami saat itu. Kemudian pada buku kedua yang berjudul “Lintang Kemukus Dini Hari” menggunakan sudut pandang orang ketiga tidak sertaan. Karena pada bagian ini tidak ada tokoh yang bercerita. Sedangkan pada buku ketiga yang berjudul “Jantera Bianglala” sudut pandang yang digunakan sama dengan sudut pandangyang digunakan pada “Lintang Kemukus Dini Hari”, yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu. Pada bagian akhir sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang akuan sertaan atau sudut pandang orang pertama. Karena pada bigian tersebut Rasusu kembali bercerita. Yaitu pada saat Srintil sudah mulaii gila. Nyai Kartareja sangat menyayangkan keputusan Rasus ketika dahulu menolak ajakan Srintil untuk menikah, meskipun sesunguuhnya hatinya juga ingin menikah dengan Srintil. Namun Rasusu kembali pada prinsipnya untuk tidak mengambil ronggeng milik rakyat untuk dijadikan istrinya.
b.      Gaya Bahasa :
Gaya bahasa yang digunakan Ahmad Tohari dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” adalah bahasa yang natural. Karena dari awal hingga akhir tidak terdapat bahasa yang dirasa berat oleh pembaca. Bahsa yang digunakan seperti bahasa yang dipakai sehari-hari. Sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana keadaan dan suasana yang terdapat di Dukuh Paruk khususnya.

c.       Tema Cerita :
Tema cerita dalam novel “Ronggeng Dukuh Paruk” adalah kasih tak sampai. Karena pada novel tersebut diceritakan tentang dua insan yang saling mencintai namun tidak bisa bersatu karena keangkuhan adat. Selain itu keegoisan salah seorang dari duasejolitersebut juga menjadi faktor penyebab tidak bisanya mereka bersatu. Yaitu Rasus yang selalu beranggapan bahwa ronggeng adalah milik semua orang, maka ia merasa tidak pantas jika harus merampas milik semua orang itu dengan keegoisannya. Sesunggunhnya Rasus sangat mengaharapkan Srintil, begitu juga sebaliknya. Srintil seperti tidak mempunyai gairah hidup ketika Rasus pergimeninggalkannya dan Dukuh Paruk untuk bergabung dengan satuan tentara di desa Dawuan. Hingga akhirnya Srintil enggan menjadi ronggeng lagi.
d.      Amanat :
·         Jangan menyia-nyiakan orang yang telah sepenuh hati mencintai kita, karena belum tentu suatu saat nanti kita dapat menemukan orang yang mencintai kita seperti itu.
·         Adat bagaimanapun tetap harus berlaku dalam kehidupan yang meyakininya, karena jika memang suatu daerah mempercayai adat yang berlaku, maka harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Karena pada setiap keyakinan pasti ada suatu hal yang akan terjadi jika suatu adat kebiasaan tidak dilaksanakan.



·         Unsur Ekstrinsik
1.      Latar belakang pengarang
Ahmad Tohari lahir pada tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Jatilawang,Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SMAN2 Purwokerto (1966). Tohari pernah kuliah di beberapa fakultas antara lain Fakultas Ekonomi, Sosial Politik, dan Kedokteran di sebuah univesitas Jakarta dan Purwokerto, namun semuanya tidak berhasil diselesaikannya karena kendala nonakademik.
Ia pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967)tetapi keluar. Dalam dunia jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur pada harianMerdeka (Jakarta 1979-1981), staf redaksi pada majalah Keluarga (Jakarta, 1981-1986), dan dewan redaksi pada majalah Amanah (Jakarta, 1986-1993). Karena tidak betah tinggal di kota metropolitan yang menurut pengakuannya Jakarta adalah kota yang sibuk dan bising, maka akhirnya sejak tahun 1993 ia memilih pulang ke kampung halamannya, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ia menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis kolom di harian Suara Merdeka, Semarang, dan aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Bersama dengan kakaknya ia mengelola sebuah pesantren peninggalan orang
tuanya di desa kelahirannya untuk mengembangkan potensi dan pemberdayaan umat.Di desa itu pula Tohari membangun mahligai rumah tangga bahagia bersama Syamsiah, istri tercintanya, yang kesehariannya bekerja dinas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Dengan istri tercintanya Tohari telah dikaruniai anak-anak yang manis dan pintar. Tiga anaknya telah berhasil dikuliahkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sedangkan dua anaknya yang lain dikuliahkan di Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto. Ia mengaku sangat bersyukur dapat menyekolahkan anakanaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Ia merasa dapat “membalas dendam” atas kegagalan dirinya yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi Jakarta dan Purwokerto tetapi gagal diselesaikannya karena faktor ekonomi.Tohari termasuk pengarang yang produkif. Karya sastra yang telah dihasilkannya cukup banyak. “Upacara Kecil” adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Cerpennya “Jasa-jasa Buat Sanwirya” memperoleh HadiahSayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep (1975). Di Kaki Bukit Cibalak merupakan novel pertamanya yang dimuat secara bersambung di harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan menjadi buku oleh PT Gramedia, Jakarta, 1986), setelah sebelumnya puluhan cerita pendek telah dihasilkannya. Setelah itu,lahirlah novelnya yang kedua Kubah (1980). Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak (1982) adalah novel ketiganya yang merupakan trilogi bersama Lintang Kemukus Din Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986). Setelah trilogi RDP kemudian lahirlah kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989), novel Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995) Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II) (2001), dan Orang-orang Proyek (2002). Novel triloginya yang popular dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan menjadi satu buku oleh PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta (2003) yang memuat ketiga novelnya yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala dengan memasukkan bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun (Ahmad Tohari, 2003). Berbagai penghargaan pernah diterima Tohari sebagai pengarang. Ia menerima Hadian Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep untuk cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya” (1975), Hadiah dari Yayasan Buku Utama untuk novelnya Kubah (1980), Hadiah Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta untuk novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986). Ketika mengikuti International Writing Programme di Amertka Serikat ia memperoleh penghargaan Fellow Writer the University of Iowa (1990), Penghargaan Bhakti Upapradana dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995), dan South East Asia Writes Award, Bangkok (1995).
2.      Sosial budaya
Manifestasi dunia rekaan pengarang diangkat dari realitas sosial, menggambarkan kondisi, perilaku, dan sikap hidup masyarakat di wilayah tertentu, dari kelompok etnis tertentu, dan memiliki kebudayaan tertentu pula. Ronggeng Dukuh Paruk, dengan demikian juga merupakan cerminan pengarang dan dunianya. Dengan kata lain, Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut, bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Selain itu, ia adalah penganut Islam (santri) yang mampu menafsirkan ajaran Islam bukan hanya sebagai konsep abstrak, melainkan juga sebagai pedoman sikap dan perilaku seharihari. Didukung oleh sikap kritis dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Tohari berhasil menyusun konsep kepengarangan yang dapat dikatakan ‘khas’. Dikatakan demikian, karena Tohari memiliki sikap holistik yang bertumpu pada pandangan bahwa semua kenyataan yang baik ataupun yang buruk yang mewujud di hadapan kita pada hakikatnya adalah ayat Tuhan.
Dengan demikian, apa pun paham atau ajaran Islam atau kejawen tidak perlu dikonfrontasikan. Jika perlu bid’ah budaya dapat dilakukan asalkan di dalamnya terdapat komplementasi ajaran Tauhid. Agaknya, bagi Tohari, dakwah tidak harus dilakukan melalui mimbar khutbah. Akan lebih membumi jika dakwah dilakukan melalui dakwah budaya (kultural). Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dakwah kulturalnya. Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup, dan konsep kepengarangan Tohari jelas terwujud dalam karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk. Jika dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara Tohari dengan tokoh Rasus.

Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dibandingkan sebagai berikut:
Ahmad Tohari:          
1)      Ahmad Tohari  orang Jawa, lahir di Banyumas Jawa Tengah.
2)      Ahmad Tohari orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan alamnya.
3)      Ahmad Tohari  memiliki kebanggaan kultural sebagai orang desa yang berpandangan
moderen dan berstatus sosial terpandang.
4)      Ahmad Tohari tidak setuju dengan kesewenangan birahi dalam dunia peronggengan
karena melanggar harkat kemanusiaan.
5)      Keluarga Ahmad Tohari pernah tertimpa musibah keracunan tempe bongkrek yang
menyebabkan orang tua dan beberapa anggota keluarganya meninggal.
6)      Perlakuan Mantri terhadap ibunya ketika terjadi malapetaka itu dipandang
tidak manusiawi oleh Ahmad Tohari.
7)      Ahmad Tohari selalu berada di antara setuju dan tidak setuju dalam bermacam-macam
bid’ah budaya.
8)      Bagi Ahmad Tohari ibu adalah figur ideal untuk menemukan sosok kekasihnya.

Tokoh Rasus:
1)      Rasus  orang Jawa, lahir di Dukuh Paruk, Banyumas.
2)      Rasus juga anak desa yang sangat mengenal bumi kelahirannya.
3)      Rasus bangga menjadi anak desa pertama yang berhasil menaikkan martabatnya
di mata masyarakat.
4)      Rasus sangat membenci upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena
pembantaian kemanusiaan.
5)      Keluarga Rasus juga tertimpa malapetaka keracunan tempe bongkrek hingga
menyebabkan kematian orang tuanya.
6)      Mantri membawa pergi ibu Rasus ke kota hingga membawa penderitaan batin
berkepanjangan pada diri Rasus.
7)      Rasus juga berada di antara nilai-nilai lama dan baru.
8)      Rasus mencari figur ibunya pada diri Srintil.

Perbandingan tersebut makin memperjelas dugaan tentang keterlibatan pengarang terutama keterlibatan mental dan intelektual pada tokoh Rasus. Sulit diterima oleh akal sehat jika ada seorang anak desa terpencil dan tidak terdidik secara formal memiliki kesadaran sosio-kultural demikian tinggi jika tidak ada campur tangan pengarangnya. Bagaimana bisa Rasus yang tidak pernah sekolah dan tidak pernah meninggalkan desanya itu mampu menumbuhkan sikap kulturalnya sendiri?  Agaknya peluang inilah yang dimanfaatkan secara leluasa oleh Ahmad Tohari untuk memasukkan gagasannya.
 Pengalamannya kuliah di Fakultas Kedokteran, misalnya, terlihat pada pengetahuan Rasus tentang jenis bakteria pseudomonas coccovenenans yang mematikan. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, maka Rasus mampu berbicara tentang banyak hal, seperti hakikat keteraturan keselarasan, dan kesaling bergantungan antar-unsur dalam alam makna kepercayaan dan pengingkaran terhadap ruh leluhur, mantra, keris bertuah, indang, susuk, dan sebagainya hakikat seorang kekasih sekaligus seorang ibu makna pengorbanan, perkawinan, keperawanan, keluarga, persahabatan, dan kebebasan seks, renungan tenang dosa, moral, dan pergeseran nilai serta sikap dan perilaku orang-orang primitiv, hakikat keberadaan manusia yang membutuhkan pengakuan, perlindungan, perlakuan wajar, kebebasan menentukan pilihan, keamanan, dan kerukunan, kemiskinan, kebodohan, kelicikan, dan ketidakberdayaan amukan sang nasib, dan seluk-beluk dunia peronggengan dengan segala hal-ihwalnya.
Melalui Ronggeng Dukuh Paruk Tohari melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada dalam alam pikiran mitis, miskin, longgar tatanan moralnya, dan reportase upacara wisuda ronggeng. Sekaligus Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan betapa besar simpati, empati, dan komitmen Tohari kepada kaum abangan dan budaya Jawa dengan seluk-beluknya. Namun demikian, bukan berarti Tohari setuju sepenuhnya terhadap kultur  Jawa. Seperti terlihat pada sikap Rasus, Tohari mengadakan reaksi atas adatistiadat Jawa yang tidak relevan dengan ajaran agamanya.

Reaksi Ahmad Tohari yang terlihat dalam sikap Rasus adalah:
1)      Keraguan Rasus terhadap dongeng, yang sebagian dipercayai sebagai kebenaran dan sebagian lagi sebagai legenda khas Dukuh Paruk.
2)    Ketidakpedulian Rasus terhadap  Ki Secamenggala.
3)      Harapan Rasus agar Srintil tidak menempuh upacara bukak klambu kemudian memutuskan untuk tidak menjadi ronggeng.
4)      Kebencian Rasus melihat tempat tidur yang akan dijadikan tempat mewisuda virginitas calon ronggeng Srintil.
5)      Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk melakukan hubungan badan.
6)      Penolakan Rasus atas ajakan Srintil untuk membina kehidupan rumah tangga.
7)      Kebencian Rasus terhadap orang-oang Dukuh Paruk yang telah merenggut Srintil dari tangannya.
8)      Kepergian Rasus dari pedukuhannya

 Dengan deskripsi lakuan dan simbolisasinya, Tohari berhasil mengekspresikan pengalaman fisik dan spiritualnya dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini terhindar dari kesan sloganistis karena sama sekali tidak ada komentar pengarang mengenai baik-buruk sesuatu hal. Bid’ah budaya Tohari justru sangat menonjol dari pada unsur “dakwah”nya, meskipun hal ini sangat mungkin ia lakukan. Hingga halaman terakhir hanya tiga kali Tohari menyebut nama Tuhan, yakni pada “Yang Mahaperkasa” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2003 hlm. 79), “Ya Tuhan” (hlm. 97), kata “bersembahyang” (hlm. 86), dua kali kata “alhamdulilah”(hal 401), satu kata “dosa” (hlm. 85), dan kata “dosa besar” (hlm. 86), la Ilaha illallah(256).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS PUISI "GADIS PEMINTA-MINTA"

Kutipan Dialog “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”

Puisi karya Amir Hamzah yang berjudul “PADAMU JUA”