ANALISIS STRUKTURAL GENETIK PADA NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” KARYA AHMAD TOHARI
ANALISIS STRUKTURAL GENETIK PADA NOVEL “RONGGENG DUKUH
PARUK” KARYA AHMAD TOHARI
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar
serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto, 2003:
59). Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghaslkan pandangan dunianya tentang
realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada
kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Pernyataan
di atas sesungguhnya mengandung implikasi bahwa sastra adalah sebagai lembaga
sosial yang menyuarakan pandangan dunia pengarangnya. Pandangan dunia ini bukan
semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu
gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial
masyarakat.
Strukrural
genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan
ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann
sampai pada kesimpulan bahwa struktur mesti disempurnakan menjadi struktur
bermakna, dimana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur
yang lebih luas, demikian sterusnya sehingga setiap unsur menopang
totalitasnya.
B.
Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini bertujuan menemukan koherensi struktur intrinsik Trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan menemukan koherensi struktur
trilogi itu dengan struktur sosial masyarakat yang menjadi acuannya.
C.
Rumasan Masalah
§ Apa unsur
intrisik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
§ Bagaimanakah
latar belakang kehidupan sosial Ahmad Tohari?
§ Bagaimana
latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat
diciptakan oleh pengarang?
D.
Pembatasan masalah
§ Unsur
intrisik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
§ Latar
belakang kehidupan sosial Ahmad Tohari
KAJIAN TEORI
Strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang
lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan
kausal. Untuk itu, maka sebelum berbicara tentang strukturalisme genetik
terlebih dahulu akan dibicarakan mengenai strukturalisme murni dengan berbagai
kelemahannya.
Pendekatan
strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam
penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai
karya fiksi. Artinya, menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut
terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di
luar struktur signifikansinya (Iswanto, 2003: 59-60).
Karena
pandangan keotonomian karya di atas, di samping juga pandangan bahwa setiap
karya sastra memiliki sifat keunikannya sendiri, analisis terhadap sebuah karya
pun tak perlu dikaitkan dengan karya-karya lain.
Penelitian
strukturalisme genetik memandang, karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik
dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan
koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan
berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai refleksi
jaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya politik, ekonomi.
Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan
unsur-unsur intrinsik karya sastra (suwardi, 2003: 56).
PEMBAHASAN
Sinopsis
Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan
miskin. Namun,warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi
kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Tradisi itu nyaris
musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan
warga Dukuh Paruk sehingga lenyaplah gairah dan semangat kehidupan masyarakat
setempat. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis
cilik pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai
calon ronggeng ketika bermain-main bersama Rasus, Warta, Darsun.
Permainan menari itu terlihat oleh kakek Srintil,
Sakarya, yang kemudian mereka sadar bahwa cucunya sungguh berbakat menjadi
seorang ronggeng. Berbekal keyakinan itulah, Sakarya menyerahkan Srintil kepada
dukun ronggeng Kartareja. Dengan harapan kelak Srintil menjadi seorang ronggeng
yang diakui oleh masyarakat. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan
kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya
dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat.
Sebagai seorang ronggeng yang sah, Srintil harus
menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani
upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki
yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa
ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat
atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus yang mencintai
gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang
dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan
Srintil sendirian di Dukuh Paruk.
Kepergian Rasus ternyata meninggalkan luka yang
mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan
hidupnya. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk menuju
pasar Dawuan,dan tempat itulah Rasus mengalami perubahan garis perjalanan
hidupnya dari seorang remaja dusun yang miskin dan buta huruf menjadi seorang
prajurit atau tentara yang gagah setelah terlebih dahulu menjadi tobang. Dengan
ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan
seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang
perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan
ronggeng Srintil.
Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat
menikmati kemanjaan dan keperempuanan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak
menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang
miskin. Pada saat fajar, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil
yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan
menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh
seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan
sikap Srintil menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka
tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya
ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk.
Penolakan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran
menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian
menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan
semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng,
melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari
kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama sekali
ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan
Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang
Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah
pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan
sejenisnya.Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI
atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah
mana pun ditangkapi dan di tahan.
Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga
menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang
Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman
yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan,
Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang
mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian
ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau
dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum,
pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari
sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Tapi hubungan mereka tetap
baik. Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi
yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung
dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang
dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan
dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas
di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan
tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh
Paruk kembali ketradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu
hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar
setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Dan Srintil pun
semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang
sudah-sudah.
Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan
akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa
penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan,
sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan
orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara
penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan
menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh
Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan
polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu
berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama
Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera
PKI. Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan
politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup
segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat
ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai
seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan
Rasus. Tanpa sepengetahuan Srintil, Nyai Kartareja menghubungi Marsusi.
Untunglah Srintil masih bisa mengelak perangkap Marsusi. Selepas dari perangkap
Marsusi, Srintil kembali mendapat tekanan dari lurah Pecikalan agar mematuhi
kehendak Pak Bajus. Bajus hendak menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai
Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang
justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun
mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya
dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.
A.
Unsur Intrinsik
·
Tokoh dan
Penokohan
1.
Tokoh utama
Srintil adalah perempuan cantik berperawakan menarik
digambarkan sebagai simbol perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap
sebagai titisan dari Ki Secamanggala.
Rasus, Seorang pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan
mertabat rakyat dukuh paruk. Walaupun dia seorang tentara yang semestinya
memiliki sifat kuat, kokoh, jauh dari melankolisme. Tapi ini sebaliknya di
balik baju lorengnya sebenarnya dia itu rapuh, hatinya halus.
2. Tokoh bawahan
Nenek Rasus, memiliki sifat penyayang, sabar dan pikun.
Sakarya, (kakek Srintil) sifat kolot, keras, penyayang
Nyai Sakarya, (nenek Srintil) yang mempunyai sifat penyayang,
penyabar dan peduli kepada orang lain (tetangga), namun dia tetap tunduk pada
nasibnya sebagai rakyat kecil.
Sakum. tekun,baik, optimis akan hidupnya,.
Ki Kertareja, sifat kolot, keras, penyayang, licik.
Nyai Kartareja. Materialistis, pandai membujuk dan
licik.
Tampi: penyayang, sabar.
Goder. Anak angkat Srintil.
Sersan Pujo. Baik dan tegas
Masusi. Jahat, hidung belang, pendendam.
Diding. Kacung Tamir yang tunduk dan patuh pada majikan demi
uang yang akan di bawanya pulang untuk anak istrinya.
Tamir. Laki-laki hidung belang yang datang dari kota
Jakarta dalam pekerjaannya pengukuran tanah untuk pembuatan jalan
di Dukuh Paruk Pecikalan. Dia seorang laki-laki petualang perempuan yang patah
hati oleh Srintil.
Bajus. Bujang tua yang baik kepada Srintil namun jauh dari
perkiraan. Srintil sempat akan dijadikannya umpan demi proyek tendernya lolos.
Darman. Aparat kepolisian yang membantu maksud dan tujuan
Marsusi kepada Srintil demi satu truk kayu bakar.
Pak Blengur. Bos besar pemegang tender pembuatan jalan, jembatan
dan gedung bupati (majikan Bajus). Lelaki petualang cinta dari satu perempuan
ke perempuan lainya namun terketuk hati dan kesadarannya karena Srintil.
Lurah Pecikalan (kepala desa). Bijaksana dan peduli akan
penduduknya.
Kepala Bangsal Rumah Sakit Jiwa. Orang yang
menerima Srintil saat masuk ke rumah sakit jiwa.
Babah Gemuk. Orang yang membagikan uang ganti rugi kepada
masyarakat Dukuh Paruk karena terkena gusuran pembuatan jalan.
·
Tema
Kehidupan ronggeng dukuh paruk yang terkoyak.
·
Latar
- Latar
waktu: Peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik
pada masa revolusi lahirnya orde baru(1965).
- Latar
tempat: Tempat terjadinya cerita di daerah Dukuh Paruk (Banyumas) dan
sekitarnya.
·
Alur
- Alur
berdasarkan kronologis, alur campuran.
- Alur
berdasarkan kuantitas, alur jamak.
- Alur
berdasarkan akhir cerita, alur terbuka.
.
·
Sudut
Pandang
Sudut pandang penulis sebagai orang ketiga, dia serba tahu karena pengarang
berada di luar cerita.
·
Amanat
- Sebagai
seorang wanita harus dapat menjaga keperawanannya sebelum menikah.
- Manusia
hendaknya percaya akan adanya Tuhan dan jangan percaya pada tahayul.
- Selalu
tabah dalam menjalani hidup.
B.
Latar belakang sosial pengarang
Ahmad Tohari lahir pada
tanggal 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Jatilawang,Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SMAN2 Purwokerto (1966). Tohari pernah
kuliah di beberapa fakultas antara lain Fakultas Ekonomi, Sosial Politik, dan
Kedokteran di sebuah univesitas Jakarta dan Purwokerto, namun semuanya tidak
berhasil diselesaikannya karena kendala nonakademik.
Ia pernah bekerja
sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946 (1966-1967)tetapi keluar. Dalam dunia
jurnalistik ia pernah menjadi Redaktur pada harianMerdeka (Jakarta 1979-1981),
staf redaksi pada majalah Keluarga (Jakarta, 1981-1986), dan dewan redaksi pada
majalah Amanah (Jakarta, 1986-1993). Karena tidak betah tinggal di kota
metropolitan yang menurut pengakuannya Jakarta adalah kota yang sibuk dan
bising, maka akhirnya sejak tahun 1993 ia memilih pulang ke kampung halamannya,
Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa
Tengah. Ia menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta
menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis kolom di harian
Suara Merdeka, Semarang, dan aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Bersama dengan kakaknya
ia mengelola sebuah pesantren peninggalan orang
tuanya di desa kelahirannya untuk
mengembangkan potensi dan pemberdayaan umat.Di desa itu pula Tohari membangun
mahligai rumah tangga bahagia bersama Syamsiah, istri tercintanya, yang
kesehariannya bekerja dinas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Dengan istri
tercintanya Tohari telah dikaruniai anak-anak yang manis dan pintar. Tiga
anaknya telah berhasil dikuliahkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
sedangkan dua anaknya yang lain dikuliahkan di Universitas Jenderal Sudirman
Purwokerto. Ia mengaku sangat bersyukur dapat menyekolahkan anakanaknya ke
jenjang pendidikan tinggi. Ia merasa dapat “membalas dendam” atas kegagalan
dirinya yang pernah kuliah di Fakultas Ekonomi, Fakultas Sosial Politik, dan
Fakultas Kedokteran di sebuah perguruan tinggi Jakarta dan Purwokerto tetapi
gagal diselesaikannya karena faktor ekonomi.Tohari termasuk pengarang yang
produkif. Karya sastra yang telah dihasilkannya cukup banyak. “Upacara Kecil”
adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Cerpennya “Jasa-jasa Buat
Sanwirya” memperoleh HadiahSayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep
(1975). Di Kaki Bukit Cibalak merupakan novel pertamanya yang dimuat secara
bersambung di harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan menjadi buku oleh PT
Gramedia, Jakarta, 1986), setelah sebelumnya puluhan cerita pendek telah
dihasilkannya. Setelah itu,lahirlah novelnya yang kedua Kubah (1980). Ronggeng
Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak (1982) adalah novel ketiganya yang merupakan
trilogi bersama Lintang Kemukus Din Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986).
Setelah trilogi RDP kemudian lahirlah kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989),
novel Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995) Nyanyian Malam
(kumpulan cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II) (2001), dan Orang-orang
Proyek (2002). Novel triloginya yang popular dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk
diterbitkan menjadi satu buku oleh PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta (2003)
yang memuat ketiga novelnya yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari,
dan Jentera Bianglala dengan memasukkan bagian-bagian yang tersensor selama 22
tahun (Ahmad Tohari, 2003). Berbagai penghargaan pernah diterima Tohari sebagai
pengarang. Ia menerima Hadian Sayembara Kincir Emas Radio Nederland
Wereldomroep untuk cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya” (1975), Hadiah dari Yayasan
Buku Utama untuk novelnya Kubah (1980), Hadiah Sayembara Penulisan Roman Dewan
Kesenian Jakarta untuk novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986). Ketika mengikuti
International Writing Programme di Amertka Serikat ia memperoleh penghargaan
Fellow Writer the University of Iowa (1990), Penghargaan Bhakti Upapradana dari
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995), dan
South East Asia Writes Award, Bangkok (1995).
- Sosial budaya
Manifestasi dunia rekaan pengarang
diangkat dari realitas sosial, menggambarkan kondisi, perilaku, dan sikap hidup
masyarakat di wilayah tertentu, dari kelompok etnis tertentu, dan memiliki
kebudayaan tertentu pula. Ronggeng Dukuh Paruk, dengan demikian juga merupakan
cerminan pengarang dan dunianya. Dengan kata lain, Ronggeng Dukuh Paruk
merupakan manifestasi dunia rekaan Tohari.
Ahmad Tohari adalah orang Jawa yang
dilahirkan di Jawa dan dibesarkan dalam masyarakat Jawa. Sebagai orang Jawa
tentu saja ia memahami siapa orang Jawa, apa yang dilakukan, apa yang dianut,
bagaimana sikap dan pandangan hidupnya, terutama masyarakat tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan. Selain itu, ia adalah penganut Islam (santri) yang
mampu menafsirkan ajaran Islam bukan hanya sebagai konsep abstrak, melainkan
juga sebagai pedoman sikap dan perilaku seharihari. Didukung oleh sikap kritis
dan sensitif serta pengalaman hidup yang cukup, Tohari berhasil menyusun konsep
kepengarangan yang dapat dikatakan ‘khas’. Dikatakan demikian, karena Tohari
memiliki sikap holistik yang bertumpu pada pandangan bahwa semua kenyataan yang
baik ataupun yang buruk yang mewujud di hadapan kita pada hakikatnya adalah
ayat Tuhan.
Dengan demikian, apa pun paham atau
ajaran Islam atau kejawen tidak perlu dikonfrontasikan. Jika perlu bid’ah
budaya dapat dilakukan asalkan di dalamnya terdapat komplementasi ajaran
Tauhid. Agaknya, bagi Tohari, dakwah tidak harus dilakukan melalui mimbar
khutbah. Akan lebih membumi jika dakwah dilakukan melalui dakwah budaya
(kultural). Ronggeng Dukuh Paruk merupakan manifestasi dakwah kulturalnya.
Demikianlah, latar belakang sosial budaya, pandangan, sikap hidup, dan konsep
kepengarangan Tohari jelas terwujud dalam karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk. Jika
dikaji lebih jauh, akan diperoleh beberapa kesamaan antara Tohari dengan tokoh
Rasus.
Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dibandingkan sebagai
berikut:
Ahmad
Tohari:
1)
Ahmad Tohari
orang Jawa, lahir di Banyumas Jawa Tengah.
2)
Ahmad Tohari
orang desa yang sangat akrab dengan lingkungan alamnya.
3)
Ahmad Tohari
memiliki kebanggaan kultural sebagai orang desa yang berpandangan
moderen dan berstatus sosial terpandang.
4)
Ahmad Tohari
tidak setuju dengan kesewenangan birahi dalam dunia peronggengan
karena melanggar harkat kemanusiaan.
5)
Keluarga
Ahmad Tohari pernah tertimpa musibah keracunan tempe bongkrek yang
menyebabkan orang tua dan beberapa anggota keluarganya
meninggal.
6)
Perlakuan
Mantri terhadap ibunya ketika terjadi malapetaka itu dipandang
tidak manusiawi oleh Ahmad Tohari.
7)
Ahmad Tohari
selalu berada di antara setuju dan tidak setuju dalam bermacam-macam
bid’ah budaya.
8)
Bagi Ahmad
Tohari ibu adalah figur ideal untuk menemukan sosok kekasihnya.
Tokoh Rasus:
1)
Rasus
orang Jawa, lahir di Dukuh Paruk, Banyumas.
2)
Rasus juga
anak desa yang sangat mengenal bumi kelahirannya.
3)
Rasus bangga
menjadi anak desa pertama yang berhasil menaikkan martabatnya
di mata masyarakat.
4)
Rasus sangat
membenci upacara bukak klambu yang dianggapnya sebagai arena
pembantaian kemanusiaan.
5)
Keluarga
Rasus juga tertimpa malapetaka keracunan tempe bongkrek hingga
menyebabkan kematian orang tuanya.
6)
Mantri
membawa pergi ibu Rasus ke kota hingga membawa penderitaan batin
berkepanjangan pada diri Rasus.
7)
Rasus juga
berada di antara nilai-nilai lama dan baru.
8)
Rasus
mencari figur ibunya pada diri Srintil.
Perbandingan tersebut makin
memperjelas dugaan tentang keterlibatan pengarang terutama keterlibatan mental
dan intelektual pada tokoh Rasus. Sulit diterima oleh akal sehat jika ada
seorang anak desa terpencil dan tidak terdidik secara formal memiliki kesadaran
sosio-kultural demikian tinggi jika tidak ada campur tangan pengarangnya.
Bagaimana bisa Rasus yang tidak pernah sekolah dan tidak pernah meninggalkan
desanya itu mampu menumbuhkan sikap kulturalnya sendiri? Agaknya peluang
inilah yang dimanfaatkan secara leluasa oleh Ahmad Tohari untuk memasukkan
gagasannya.
Pengalamannya kuliah di
Fakultas Kedokteran, misalnya, terlihat pada pengetahuan Rasus tentang jenis
bakteria pseudomonas coccovenenans yang mematikan. Dengan pengetahuan dan
pengalamannya, maka Rasus mampu berbicara tentang banyak hal, seperti hakikat
keteraturan keselarasan, dan kesaling bergantungan antar-unsur dalam alam makna
kepercayaan dan pengingkaran terhadap ruh leluhur, mantra, keris bertuah,
indang, susuk, dan sebagainya hakikat seorang kekasih sekaligus seorang ibu
makna pengorbanan, perkawinan, keperawanan, keluarga, persahabatan, dan
kebebasan seks, renungan tenang dosa, moral, dan pergeseran nilai serta sikap
dan perilaku orang-orang primitiv, hakikat keberadaan manusia yang membutuhkan
pengakuan, perlindungan, perlakuan wajar, kebebasan menentukan pilihan,
keamanan, dan kerukunan, kemiskinan, kebodohan, kelicikan, dan ketidakberdayaan
amukan sang nasib, dan seluk-beluk dunia peronggengan dengan segala
hal-ihwalnya.
Melalui Ronggeng Dukuh Paruk Tohari
melukiskan kehidupan masyarakat yang masih berada dalam alam pikiran mitis,
miskin, longgar tatanan moralnya, dan reportase upacara wisuda ronggeng.
Sekaligus Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan betapa besar simpati, empati, dan
komitmen Tohari kepada kaum abangan dan budaya Jawa dengan seluk-beluknya. Namun
demikian, bukan berarti Tohari setuju sepenuhnya terhadap kultur Jawa.
Seperti terlihat pada sikap Rasus, Tohari mengadakan reaksi atas adatistiadat
Jawa yang tidak relevan dengan ajaran agamanya.
Reaksi Ahmad Tohari yang terlihat dalam sikap Rasus adalah:
1)
Keraguan
Rasus terhadap dongeng, yang sebagian dipercayai sebagai kebenaran dan sebagian
lagi sebagai legenda khas Dukuh Paruk.
2)
Ketidakpedulian
Rasus terhadap Ki Secamenggala.
3)
Harapan
Rasus agar Srintil tidak menempuh upacara bukak klambu kemudian memutuskan
untuk tidak menjadi ronggeng.
4)
Kebencian
Rasus melihat tempat tidur yang akan dijadikan tempat mewisuda virginitas calon
ronggeng Srintil.
5)
Penolakan
Rasus atas ajakan Srintil untuk melakukan hubungan badan.
6)
Penolakan
Rasus atas ajakan Srintil untuk membina kehidupan rumah tangga.
7)
Kebencian
Rasus terhadap orang-oang Dukuh Paruk yang telah merenggut Srintil dari
tangannya.
8)
Kepergian
Rasus dari pedukuhannya
Dengan deskripsi lakuan dan simbolisasinya,
Tohari berhasil mengekspresikan pengalaman fisik dan spiritualnya dalam
Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini terhindar dari kesan sloganistis karena sama
sekali tidak ada komentar pengarang mengenai baik-buruk sesuatu hal. Bid’ah
budaya Tohari justru sangat menonjol dari pada unsur “dakwah”nya, meskipun hal
ini sangat mungkin ia lakukan. Hingga halaman terakhir hanya tiga kali Tohari
menyebut nama Tuhan, yakni pada “Yang Mahaperkasa” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2003
hlm. 79), “Ya Tuhan” (hlm. 97), kata “bersembahyang” (hlm. 86), dua kali kata
“alhamdulilah”(hal 401), satu kata “dosa” (hlm. 85), dan kata “dosa besar”
(hlm. 86), la Ilaha illallah(256).
PENUTUP
Struktural genetik adalah cabang penelitian sastra
secara structural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara
struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian
structural dengan penelitian aspek-aspek internal karya sastra, dimungkinkan
lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.
Daftar pustaka
Endraswara,
Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: pustaka
widyatama.
Jabrohim,
dkk. 2003. Metodologi Penenlitian Sastra. Yogyakarta: PT. hanindita
graha widya.
Nurgiayantoro,
Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: GADJAH
MADA UNIVERSITY PRESS.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: pustaka pelajar.
Tohari,
Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT gramedia Pustaka utama.
www.figurpublik.com. 2006. “Ronggeng Dukuh Paruk Karya Sastra Indonesia Lima Terbaik”.
Komentar
Posting Komentar