HAKIKAT, TUJUAN, DAN JENIS MEMBACA
HAKIKAT, TUJUAN, DAN JENIS MEMBACA
Hakikat
Membaca
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca
untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media
kata-kata/bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan 1979:7). Membaca pada hakikatnya
adalah suatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekadar
melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir,
psikolinguistik, dan metakognitif (Crawley dan Mountain dalam Rahim 2007:2).
Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang termasuk di dalam
retorika seperti keterampilan berbahasa yang lainnya (berbicara dan menulis)
(Haryadi 2007:4).
Secara linguistik, membaca merupakan proses pembacaan sandi (decoding
process). Artinya dalam kegiatan membaca ada upaya untuk menghubungkan
kata-kata tulis (written word) dengan makna bahasa lisan (oral
language meaning). Dengan kata lain Anderson dalam Tarigan (1979:7)
mengatakan bahwa kegiatan membaca merupakan kegiatan mengubah tulisan/ cetakan
menjadi bunyi-bunyi yang bermakna.
Senada dengan pernyataan di atas, beberapa penulis beranggapan bahwa
‘membaca’ adalah suatu kemampuan untuk melihat lambang-lambang tertulis
tersebut melalui fonik menjadi membaca lisan (oral reading)
(Tarigan 1979:8). Dalam kegiatan membaca ternyata tidak cukup hanya dengan
memahami apa yang tertuang dalam tulisan saja, sehingga membaca dapat juga
dianggap sebagai suatu proses memahami sesuatu yang tersirat dalam yang
tersurat (tulisan). Artinya memahami pikiran yang terkandung dalam kata-kata
yang tertulis. Hubungan antara makna yang ingin disampaikan penulis dan
interpretasi pembaca sangat menentukan ketepatan pembaca. Makna akan berubah
berdasarkan pengalaman yang dipakai untuk menginterpretasikan kata-kata atau
kalimat yang dibaca (Anderson dalam Tarigan 1979:8).
Jadi, membaca merupakan kegiatan mengeja atau melafalkan tulisan didahului
oleh kegiatan melihat dan memahami tulisan. Kegiatan melihat dan memahami
merupakan suatu proses yang simultan untuk mengetahui pesan atau informasi yang
tertulis. Membutuhkan suatu proses yang menuntut pemahaman terhadap makna
kata-kata atau kalimat yang merupakan suatu kesatuan dalam pandangan sekilas.
Tujuan Membaca
Tujuan utama membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi dari
sumber tertulis. Informasi ini diperoleh melalui proses pemaknaan terhadap
bentuk-bentuk yang ditampilkan. Secara lebih khusus membaca sebagai suatu
ketrampilan bertujuan untuk mengenali aksara dan tanda-tanda baca, mengenali
hubungan antara aksara dan tanda baca dengan unsur linguistik yang formal, serta
mengenali hubungan antara bentuk dengan makna atau meaning (Broughton et
al dalam Sue 2004:15). Dengan demikian, kegiatan membaca tidak hanya
berhenti pada pengenalan bentuk, melainkan harus sampai pada tahap pengenalan
makna dari bentuk-bentuk yang dibaca. Makna atau arti bacaan berhubungan erat
dengan maksud, tujuan atau keintensifan dalam membaca (Tarigan 1979:9).
Berdasarkan maksud, tujuan atau keintensifan serta cara dalam membaca di
bawah ini, Anderson dalam Tarigan (1979:9-10) mengemukakan beberapa tujuan
membaca antara lain:
1.
Membaca
untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details
or facts). Membaca tersebut bertujuan untuk menemukan atau mengetahui
penemuan-penemuan telah dilakukan oleh sang tokoh, untuk memecahkan masalah-masalah
yang dibuat oleh sang tokoh.
2.
Membaca
untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas). Membaca untuk
mengetahui topik atau masalah dalam bacaan. Untuk menemukan ide pokok bacaan
dengan membaca halamn demi halaman.
3.
Membaca
untuk mengetahui ukuran atau susunan, organisasi cerita (reading for
sequenceor organization). Membaca tersebut bertujuan untuk mengetahui
bagian-bagian cerita dan hubungan antar bagian-bagian cerita.
4.
Membaca
untuk menyimpulkan atau membaca inferensi (reading for inference).
Pembaca diharapkan dapat merasakan sesuatu yang dirasakan penulis.
5.
Membaca
untuk mengelompokkan atau mengklasifikasikan (reading for classify).
Membaca jenis ini bertujuan untuk menemukan hal-hal yang tidak wajar mengenai
sesuatu hal (Anderson dalam Tarigan 1979:10).
6.
Membaca
untuk menilai atau mengevaluasai (reading to evaluate). Jenis membaca
tersebut bertujuan menemukan suatu keberhasilan berdasarkan ukuran-ukuran
tertentu. Membaca jenis ini memerlukan ketelitian dengan membandingkan dan
mengujinya kembali.
7.
Membaca
untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or
contrast). Tujuan membaca tersebut adalah untuk menemukan bagaimana cara,
perbedaan atau persamaan dua hal atau lebih.
Dengan rumusan yang berbeda, Blanton, dkk. serta Irwin yang dikutip oleh
Burns dkk. (1996) dalam Rahim (2007:11) menyebutkan tujuan membaca mencakup (1)
kesenangan, (2) menyempurnakan membaca nyaring, (3) menggunakan strategi
tertentu, (4) memperbaharui pengetahuan tentang suatu topik, (5) mengaitkan informasi
baru dengan informasi yang telah diketahui, (6) memperoleh informasi untuk
laporan lisan atau tertulis, (7) mengkonfirmasikan atau menolak prediksi, (8)
menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari
suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks, dan
(9) menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik.
Jenis Membaca
Menurut Soedjono dalam Sue (2004:18-21) ada lima macam membaca, yaitu:
membaca bahasa, membaca cerdas atau membaca dalam hati, membaca teknis, membaca
emosional, dan membaca bebas.
1. Membaca bahasa
Membaca bahasa adalah membaca yang
mengutamakan bahasa bacaan. Membaca bahasa mementingkan segi bahasa bacaan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca bahasa adalah kesesuian pikir
dengan bahasa, perbendaharaan bahasa yang meliputi kosa kata, struktur kalimat,
dan ejaan.
2. Membaca cerdas atau membaca dalam hati
Membaca cerdas adalah membaca yang
mengutamakan isi bacaan sebagai ungkapan pikiran, perasaan, dan kehendak
penulis. Bila hanya ingin mengetahui isinya, membaca cerdas bersifat lugas.
Akan tetapi, bial maksudnya untuk memahami dan memilki isi bacaan, maka disebut
membaca belajar.
3. Membaca teknis
Membaca teknis adalah membaca dengan
mengarahkan bacaan secara wajar. Wajar maksudnya sesuai ucapan, tekanan, dan
intonasinya. Pikiran, perasaan, dan kemauan yang tersimpan dalam bacaan dapat
diaktualisasikan dengan baik.
4. Membaca emosional
Membaca emosional adalah membaca sebagai
sarana untuk memasuki perasaan, yaitu keindahan isi, dan keindahan bahasanya.
5. Membaca bebas
Membaca bebas adalah membaca sesuatu atas
kehendak sendiri tanpa adanya unsur paksaan dari luar. Unsur dari luar misalnya
guru, orang tua, teman, atau pihak-pihak lain.
Sesuai dengan pengertian jenis-jenis membaca yang telah diuraikan di atas,
maka membaca puisi termasuk ke dalam membaca teknis karena membaca puisi harus
memperhatikan ucapan, tekanan, dan intonasinya, sehingga dapat
mengaktualisasikan pembacaan puisi dengan baik.
Pengertian Membaca
Tampubolon (1993) menjelaskan pada hakekatnya membaca adalah kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan, walaupun dalam kegiatan itu terjadi proses pengenalan huruf-huruf. Dikatakan kegiatan fisik, karena bagian-bagian tubuh khususnya mata, yang melakukannya. Dikatakan kegiatan mental karena bagian-bagian pikiran khususnya persepsi dan ingatan, terlibat didalamnya. Dari definisi ini, kiranya dapat dilihat bahwa menemukan makna dari bacaan (tulisan) adalah tujuan utama membaca, dan bukan mengenali huruf-huruf. Diperjelas oleh pendapat Smith (Ginting, 2005) bahwa membaca merupakan suatu proses membangun pemahaman dari teks yang tertulis. (www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/017-035.pdf ).
Proses membaca menurut Burn, Roe dan Ross (1984) merupakan proses penerimaan simbol oleh sensori, kemudian mengintererpretasikan simbol, atau kata yang dilihat atau mempersepsikan, mengikuti logika dan pola tatabahasa dari kata-kata yang ditulis penulis, mengenali hubungan antara simbol dan suara antara kata-kata dan apa yang ingin ditampilkan, menghubungkan kata-kata kembali kepada pengalaman langsung untuk memberikan kata-kata yang bermakna dan mengingat apa yang merela pelajari dimasa lalu dan menggabungkan ide baru dan fakta serta menyetujui minat individu dan sikap yang merasakan tugas membaca.
Dijabarkan juga oleh Tarigan (1985) bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, suatu metode yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan kadang-kadang orang lain, yaitu mengkomunikasikan makna yang terkandung atau tersirat pada lambang-lambang tertulis. Finochiaro dan Bonomo (Tarigan, 1985) mendefinisikan secara singkat, membaca adalah memetik serta memahamai arti makna yang terkandung di dalam bahan tertulis.
Sedangkan Juel (Sandjaja, 2005) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan, sehingga hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan. (www.unika.ac.id.02/05/05)
Spache & Spache (Petty & Jensen, 1980) mengemukakan bahwa membaca merupakan proses yang kompleks yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap dimana individu melakukan pembedaan terhadap apa yang dilihatnya, selanjutnya individu berusaha untuk mengingat kembali, menganalisa, memutuskan, dan mengevaluasi hal yang dibacanya. Sebagai suatu proses yang kompleks, membaca memiliki nilai yang tinggi dalam perkembangan diri seseorang. Secara umum orang menilai bahwa membaca itu identik dengan belajar, dalam arti memperoleh informasi.
Membaca adalah proses berpikir, hal tersebut dikemukakan oleh Burn, Roe dan Ross (1984), maksudnya adalah ketika seseorang sedang membaca, maka seseorang tersebut akan mengenali kata yang memerlukan interpresi dari simbol-simbal grafis. Untuk memahami sebuah bacaan sepenuhnya, seseorang harus dapat menggunakan informasi untuk membuat kesimpulan dan membaca dengan kritis dan kreatif agar dapat mengerti bahasa kiasan, tujuan yang ditetapkan penulis, mengevaluasi ide-ide yang dituliskan oleh penulis dan menggunakan ide-ide tersebut pada situasi yang tepat. Keseluruhan proses ini merupakan proses berpikir.
Chambers dan Lowry (Burn, Roe dan Ross, 1984) menggaris bawahi juga menegasakan hal yang sama bahwa membaca lebih dari sekedar mengenali kata-kata tetapi juga membawa ingatan yang tepat, merasakan dan mendefinisikan beberapa keinginan, mengidentifikasi sebuah solusi untuk memunuhi keinginan, memilih cara alternatif, percobaan dengan memilih, menolak atau menguasai jalan atau cara yang dipilih, dan memikirkan beberapa cara dari hasil yang evaluasi. hal tersebut secara keseluruhan termasuk respon dari berpikir.
Stauffer (Petty & Jensen, 1980) menganggap bahwa membaca, merupakan transmisi pikiran dalam kaitannya untuk menyalurkan ide atau gagasan. Selain itu, membaca dapat digunakan untuk membangun konsep, mengembangkan perbendaharaan kata, memberi pengetahuan, menambahkan proses pengayaan pribadi, mengembangkan intelektualitas, membantu mengerti dan memahami problem orang lain, mengembangkan konsep diri dan sebagai suatu kesenangan.
Ginting (2005) menyebutkan bahwa membaca merupakan proses ganda meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Proses penglihatan dijabarkan oleh Wassman & Rinsky (Ginting, 2005), sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol, oleh karena itu, mata memainkan peranan penting. Dan sebagai proses tanggapan dijabarkan Ahuja (Ginting, 2005), membaca menunjukkan interpretasi segala sesuatu yang kita persepsi. Proses membaca juga meliputi identifikasi simbol-simbol bunyi dan mengumpulkan makna melalui simbol-simbol tersebut. Broughton (Gunting, 2005) mengemukakan membaca merupakan keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi (higher order). (www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/017-035.pdf).
Lebih jauh lagi, Bowman and Bowman (Sugiarto, 2001) mengemukakan bahwa membaca merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Allen dan Valette (Sugiarto, 2001) mengatakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang berkembang (a developmental process). Davies (Sugiarto, 2001) memberikan pengertian membaca sebagai suatu proses mental atau proses kognitif yang di dalamnya seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon terhadap pesan si penulis. Dari sini dapat dilihat bahwa kegiatan membaca merupakan sebuah kegiatan yang bersifat aktif dan interaktif. (www,depdiknas.go.id/jurnal/37/perbedaan_hasil_belajar_membaca.htm).
Ditegaskan oleh Cole (1963) bahwa membaca mempunyai nilai besar untuk orang dewasa karena berkontribusi pada perkembangan, seperti dapat membebaskan dari tekanan, bekerja dengan penuh inisiatif, mendapatkan informasi untuk memecahkan konflik dan mengenali karakter dengan mudah. Lebih jauh lagi Cole (1963) menjelaskan bahwa membaca dapat juga menimbulkan rasa aman dan merealisasikan diri dalam kehidupan pribadi seperti hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan kelompok, perubahan sikap, ide-ide baru serta semakin menghargai bebagai aktivitas dalam kehidupan.
Berbagai pengertian membaca telah dipaparkan diatas, dan dapat disimpulkan bahwa membaca adalah kegiatan fisik dan mental, yang menuntut seseorang untuk menginterpretasikan simbol-simbol tulisan dengan aktif dan kritis sebagai pola komunikasi dengan diri sendiri agar pembaca dapat menemukan makna tulisan dan memperoleh informasi sebagai proses transmisi pemikiran untuk mengembangkan intelektualitas dan pembelajaran sepenjang hayat (life-long learning).
Tampubolon (1993) menjelaskan pada hakekatnya membaca adalah kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan, walaupun dalam kegiatan itu terjadi proses pengenalan huruf-huruf. Dikatakan kegiatan fisik, karena bagian-bagian tubuh khususnya mata, yang melakukannya. Dikatakan kegiatan mental karena bagian-bagian pikiran khususnya persepsi dan ingatan, terlibat didalamnya. Dari definisi ini, kiranya dapat dilihat bahwa menemukan makna dari bacaan (tulisan) adalah tujuan utama membaca, dan bukan mengenali huruf-huruf. Diperjelas oleh pendapat Smith (Ginting, 2005) bahwa membaca merupakan suatu proses membangun pemahaman dari teks yang tertulis. (www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/017-035.pdf ).
Proses membaca menurut Burn, Roe dan Ross (1984) merupakan proses penerimaan simbol oleh sensori, kemudian mengintererpretasikan simbol, atau kata yang dilihat atau mempersepsikan, mengikuti logika dan pola tatabahasa dari kata-kata yang ditulis penulis, mengenali hubungan antara simbol dan suara antara kata-kata dan apa yang ingin ditampilkan, menghubungkan kata-kata kembali kepada pengalaman langsung untuk memberikan kata-kata yang bermakna dan mengingat apa yang merela pelajari dimasa lalu dan menggabungkan ide baru dan fakta serta menyetujui minat individu dan sikap yang merasakan tugas membaca.
Dijabarkan juga oleh Tarigan (1985) bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, suatu metode yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan kadang-kadang orang lain, yaitu mengkomunikasikan makna yang terkandung atau tersirat pada lambang-lambang tertulis. Finochiaro dan Bonomo (Tarigan, 1985) mendefinisikan secara singkat, membaca adalah memetik serta memahamai arti makna yang terkandung di dalam bahan tertulis.
Sedangkan Juel (Sandjaja, 2005) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan, sehingga hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan. (www.unika.ac.id.02/05/05)
Spache & Spache (Petty & Jensen, 1980) mengemukakan bahwa membaca merupakan proses yang kompleks yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap dimana individu melakukan pembedaan terhadap apa yang dilihatnya, selanjutnya individu berusaha untuk mengingat kembali, menganalisa, memutuskan, dan mengevaluasi hal yang dibacanya. Sebagai suatu proses yang kompleks, membaca memiliki nilai yang tinggi dalam perkembangan diri seseorang. Secara umum orang menilai bahwa membaca itu identik dengan belajar, dalam arti memperoleh informasi.
Membaca adalah proses berpikir, hal tersebut dikemukakan oleh Burn, Roe dan Ross (1984), maksudnya adalah ketika seseorang sedang membaca, maka seseorang tersebut akan mengenali kata yang memerlukan interpresi dari simbol-simbal grafis. Untuk memahami sebuah bacaan sepenuhnya, seseorang harus dapat menggunakan informasi untuk membuat kesimpulan dan membaca dengan kritis dan kreatif agar dapat mengerti bahasa kiasan, tujuan yang ditetapkan penulis, mengevaluasi ide-ide yang dituliskan oleh penulis dan menggunakan ide-ide tersebut pada situasi yang tepat. Keseluruhan proses ini merupakan proses berpikir.
Chambers dan Lowry (Burn, Roe dan Ross, 1984) menggaris bawahi juga menegasakan hal yang sama bahwa membaca lebih dari sekedar mengenali kata-kata tetapi juga membawa ingatan yang tepat, merasakan dan mendefinisikan beberapa keinginan, mengidentifikasi sebuah solusi untuk memunuhi keinginan, memilih cara alternatif, percobaan dengan memilih, menolak atau menguasai jalan atau cara yang dipilih, dan memikirkan beberapa cara dari hasil yang evaluasi. hal tersebut secara keseluruhan termasuk respon dari berpikir.
Stauffer (Petty & Jensen, 1980) menganggap bahwa membaca, merupakan transmisi pikiran dalam kaitannya untuk menyalurkan ide atau gagasan. Selain itu, membaca dapat digunakan untuk membangun konsep, mengembangkan perbendaharaan kata, memberi pengetahuan, menambahkan proses pengayaan pribadi, mengembangkan intelektualitas, membantu mengerti dan memahami problem orang lain, mengembangkan konsep diri dan sebagai suatu kesenangan.
Ginting (2005) menyebutkan bahwa membaca merupakan proses ganda meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Proses penglihatan dijabarkan oleh Wassman & Rinsky (Ginting, 2005), sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol, oleh karena itu, mata memainkan peranan penting. Dan sebagai proses tanggapan dijabarkan Ahuja (Ginting, 2005), membaca menunjukkan interpretasi segala sesuatu yang kita persepsi. Proses membaca juga meliputi identifikasi simbol-simbol bunyi dan mengumpulkan makna melalui simbol-simbol tersebut. Broughton (Gunting, 2005) mengemukakan membaca merupakan keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi (higher order). (www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/017-035.pdf).
Lebih jauh lagi, Bowman and Bowman (Sugiarto, 2001) mengemukakan bahwa membaca merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Allen dan Valette (Sugiarto, 2001) mengatakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang berkembang (a developmental process). Davies (Sugiarto, 2001) memberikan pengertian membaca sebagai suatu proses mental atau proses kognitif yang di dalamnya seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon terhadap pesan si penulis. Dari sini dapat dilihat bahwa kegiatan membaca merupakan sebuah kegiatan yang bersifat aktif dan interaktif. (www,depdiknas.go.id/jurnal/37/perbedaan_hasil_belajar_membaca.htm).
Ditegaskan oleh Cole (1963) bahwa membaca mempunyai nilai besar untuk orang dewasa karena berkontribusi pada perkembangan, seperti dapat membebaskan dari tekanan, bekerja dengan penuh inisiatif, mendapatkan informasi untuk memecahkan konflik dan mengenali karakter dengan mudah. Lebih jauh lagi Cole (1963) menjelaskan bahwa membaca dapat juga menimbulkan rasa aman dan merealisasikan diri dalam kehidupan pribadi seperti hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan kelompok, perubahan sikap, ide-ide baru serta semakin menghargai bebagai aktivitas dalam kehidupan.
Berbagai pengertian membaca telah dipaparkan diatas, dan dapat disimpulkan bahwa membaca adalah kegiatan fisik dan mental, yang menuntut seseorang untuk menginterpretasikan simbol-simbol tulisan dengan aktif dan kritis sebagai pola komunikasi dengan diri sendiri agar pembaca dapat menemukan makna tulisan dan memperoleh informasi sebagai proses transmisi pemikiran untuk mengembangkan intelektualitas dan pembelajaran sepenjang hayat (life-long learning).
Pengertian Membaca
October
06, 2010 Deni Arisandi
Membaca
adalah salah satu dari empat keterampilan berbahasa. Dalam kegiatan membaca,
kegiatan lebih banyak dititikberatkan pada keterampilan membaca daripada
teori-teori membaca itu sendiri.
Henry
Guntur Tarigan menyebutkan tiga komponen dalam keterampilan membaca, yaitu:
- Pengenalan
terhadap aksara-aksara serta tanda-tanda baca.
- Korelasi
aksara beserta tanda-tanda baca dengan unsur-unsur linguistik yang formal.
- Hubungan
lebih lanjut dari A dan B dengan makna.1
Setiap
guru bahasa haruslah menyadari serta memahami benar-benar bahwa membaca adalah
suatu metode yang dapat dipergunakan untuk berkomunikasi dengan diri kita
sendiri dan kadang-kadang dengan orang lain yaitu mengomunikasikan makna yang
terkandung atau tersirat pada lambang-lambang tertulis.
Henry
Guntur Tarigan berpendapat bahwa “Membaca
adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata
atau bahasa tulis”2. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang
merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam pandangan sekilas, dan agar makna
kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal ini tidak
terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap
atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik.
Membaca
dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk memahami yang tersirat dalam
yang tersurat, yakni memahami makna yang terkandung di dalam kata-kata yang
tertulis. Makna bacaan tidak terletak pada halaman tertulis tetapi berada pada
pikiran pembaca. Demikianlah makna itu akan berubah, karena setiap pembaca
memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang dipergunakan sebagai alat untuk
menginterpretasikan kata-kata tersebut.
Dari
segi linguistik, membaca
adalah suatu proses penyandian kembali dan pembacaan sandi (a recording and
decoding process), berlainan dengan berbicara dan menulis yang justru
melibatkan penyandian (encoding). Sebuah aspek pembacaan sandi (decoding)
menghubungkan kata-kata tulis (written word) dengan makna bahasa lisan (oral
language meaning) yang mencakup pengubahan tulisan / cetakan menjadi bunyi
yang bermakna. Membaca merupakan suatu penafsiran atau interpretasi
terhadap ujaran yang berada dalam bentuk tulisan adalah suatu proses pembacaan
sandi (decoding process).
Membaca
adalah suatu proses yang bersangkut paut dengan bahasa. Oleh karena itu maka
para pelajar haruslah dibantu untuk menanggapi atau memberi responsi terhadap
lambang-lambang visual yang menggambarkan tanda-tanda oditori dan berbicara
haruslah selalu mendahului kegiatan membaca.
Harimurti
Kridalaksana mengatakan “Membaca adalah menggali informasi dari teks, baik yang
berupa tulisan maupun dari gambar atau diagram maupun dari kombinasi itu semua”3
Soedarso
berpendapat bahwa “Membaca adalah aktivitas yang kompleks dengan mengerahkan
sejumlah besar tindakan yang terpisah-pisah, meliputi orang harus menggunakan pengertian dan khayalan, mengamati, dan mengingat-ingat”4.
DP.
Tampubolon berpendapat bahwa “Membaca adalah kegiatan fisik dan mental yang
dapat berkembang menjadi suatu kebiasaan”5.
Bahkan
ada pula beberapa penulis yang beranggapan bahwa membaca adalah suatu kemauan
untuk melihat lambang-lambang tertulis serta mengubah lambang-lambang tertulis
tersebut melalui suatu metode pengajaran membaca seperti fonik (ucapan, ejaan
berdasarkan interpretasi fonetik terhadap ejaan biasa) menjadi membaca lisan.
Demikianlah
makna itu akan berubah, karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang
berbeda-beda yang dipergunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan kata-kata
tersebut.
Tujuan Membaca
Tentu
ada banyak sekali manfaat yang dapat dipetik seseorang darikegiatan membaca,
yang paling umum, manfaat yang dapat dirasakanketika membaca buku adalah dapat
belajar dari pengalaman orang lain atau dapat menambah pengetahuan. Manfaat
khusus dari kegiatanmembaca adalah bahwa orang yang rajin membaca buku dapat
terhindardari kerusakan jaringan otak dimasa tua. Hal ini menurut riset
mutakhirbahwa membaca buku dapat membantu seseorang untuk
menumbuhkansyaraf-syaraf baru di otak.20Menurut Jordan E. Ayan bahwa manfaat
membaca buku berdampakbagi perkembangan sebagian besar jenis kecerdasan.
Diantaranya adalah :1) Membaca menambah kosakata dan pengetahuan akan
tatabahasa dansintaksis yang lebih penting lagi, membaca pemperkenalkan
padabanyak ragam lingkungan kreatif. Sehingga mempertajam kepekaanlinguistik
dan kemampuan menyatakan perasaan.2) Membaca buku secara langsung dapat
membantu mengalami perasaandan pemikiran yang paling dalam. Banyak buku dan
artikel yangmengajak untuk berintropeksi dan melontarkan pertanyaan
seriusmengenai perasan nilai dan hubungan dengan orang lain. Denganbegitu,
secara tak langsung turut memperkembangkan kecerdasaninterpersonal, mendesak
untuk merenungkan kehidupan danmempertimbangkan kembali keputusan-keputusan
akan cita-cita hidup3) Membaca memicu imajinasi, buku yang baik mengajarkan
untukmembayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian,lokasi
dan karakternya. Bayangan yang terkumpul dari tiap buku atau artikel ini
melekat dalam pikiran, dan sering waktu berlalu,membangun sebuah bentang
jaringan ide dan perasaan yang menjadidasar metafora yang ditulis, gambar yang
dibuat, bahkan tulisan yangditulis.
4)
Membaca bahan bacaan umumnya “Memaksa” nalar, pengurutanketeraturan dan
pemikiran logis untuk dapat mengikuti jalan ceritaatau memecahkan suatu
misteri. Dengan demikian, akan semakinmemperkukuh kecerdasan matematis, logis
yang dimiliki. 21Membaca hendaknya mempunyai tujuan, karena seseorang
yangmembaca denga suatu tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkandengan orang
yang tidak mempunyai tujuan. Dalam kegiatan membaca dikelas, guru seharusnya
menyusun tujuan membaca dengan menyediakantujuan khusus yang sesuai atau dengan
membantu mereka menyusuntujuan membaca siswa itu sendiri.Tujuan membaca
mencakup :1) Kesenangan,2) Menyempurnakan membaca nyaring,3) Menggunakan
strategi tertentu,4) Pemperbaharui pengetahuannya tetang suatu topik,5)
Mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahui,6) Memperoleh
informasi untuk laporan lisan tertulis, 7) Mengkorfimasikan atau menolak
prediksi,8) Menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi
yangdiperoleh dari suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajaritentang
struktur teks,9) Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik (blanton, dkk.
Danirwin dalam burns dkk., 1996)
Tujuan
utama dalam membaca
adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna
bacaan. Makna, arti (meaning) erat sekali berhubungan dengan maksud
tujuan, atau intensif kita dalam membaca.
Henry
Guntur Tarigan mengemukakan tujuan membaca adalah sebagai berikut:
- Membaca
untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for
details or facts).
- Membaca
untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas).
- Membaca
untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or
organization).
- Membaca
untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference).
- Membaca
untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading to
classify).
- Membaca
menilai, membaca evaluasi (reading to evaluate).
- Membaca
untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or
contrast)6.
Membaca
untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta misalnya untuk mengetahui
penemuan-penemuan yang telah dilakukan oleh sang tokoh; apa-apa yang telah
dibuat oleh sang tokoh; apa yang telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk
memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh sang tokoh.
Membaca
untuk memperoleh ide-ide utama misalnya untuk mengetahui mengapa hal itu
merupakan topik yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita,
apa-apa yang dipelajari atau dialami sang tokoh, dan merangkum hal-hal yang
dilakukan oleh sang tokoh untuk mencapai tujuannya.
Membaca
untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita seperti menemukan atau
mengetahui apa yang terjadi pada setiap bagian cerita, apa yang terjadi
mula-mula pertama, kedua, dan ketiga/seterusnya. Setiap tahap dibuat untuk
memecahkan suatu masalah, adegan-adegan dan kejadian buat dramatisasi.
Membaca
untuk menyimpulkan, membaca inferensi seperti menemukan serta mengetahui
mengapa para tokoh merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak
diperlihatkan oleh sang tokoh berubah, kualitas-kualitas yang dimiliki para
tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal.
Membaca
untuk mengelompokkan atau mengklasifikasikan misalnya untuk menemukan serta
mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak wajar mengenai seseorang tokoh, apa
yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita itu benar atau tidak benar.
Membaca
menilai, membaca mengevaluasi seperti untuk menemukan apakah sang tokoh
berhasil atau hidup dengan ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat
seperti cara sang tokoh bekerja dalam cerita itu.
Membaca
untuk memperbandingkan atau mempertentangkan dilakukan untuk menemukan
bagaimana caranya sang tokoh berubah, bagaimana hidupnya berbeda dari kehidupan
yang kita kenal, bagaimana dua cerita mempunyai persamaan, bagaimana sang tokoh
menyerupai pembaca.
Nurhadi
berpendapat bahwa tujuan membaca adalah sebagai berikut:
- Memahami
secara detail dan menyeluruh isi buku.
- Menangkap
ide pokok atau gagasan utama secara tepat.
- Mendapatkan
informasi tentang sesuatu.
- Mengenali
makna kata-kata.
- Ingin
mengetahui peristiwa penting yang terjadi di masyarakat sekitar.
- Ingin
memperoleh kenikmatan dari karya sastra.
- Ingin
mengetahui peristiwa penting yang terjadi di seluruh dunia.
- Ingin
mencari merk barang yang cocok untuk dibeli.
- Ingin
menilai kebenaran gagasan pengarang.
- Ingin
memperoleh informasi tentang lowongan pekerjaan.
- Ingin
mendapatkan keterangan tentang pendapat seseorang (ahli) tentang definisi
suatu istilah.7
Tujuan Membaca
Banyak dari para ahli pada bidang membaca berpendapat bahwa
pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada tujuan dalam pembelajaran membaca
menetapkan dasar yang paling baik yang dapat dilaksanakan untuk
mendemonstrasikan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam kegiatan
membaca.
Taringan
(1985: 2-17) mengemukakan Secara garis besar kegiatan membaca mempunyai dua
maksud utama, yaitu:
a.
Tujuan behavioral, yang
disebut juga tujuan tertutup, atau tujuan intruksional.
Pendekatan
yang berorientasi pada pada tujuan dalam pembelajaran membaca menekankan kepada
beberapa bentuk tujuan yang ada kaitannya dengan perilaku siswa (Taringan 1985:
8). Lalu Montague dan Buts di dalam (Taringan 1985: 8) menambahkan bahawa
tujuan behavioral adalah sasaran atau hasil yang diinginkan dari proses
belajar, yang jelas-jelas dinyatakan oleh perilaku atau penampilan siswa yang
dapat diamati. Tujuan behavioral ini biasanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan
membaca:
1)
Memahami makna kata (word attack)
2)
Keterampilan-keterampilan studi (study
skliis)
3)
Pemahaman (comprehension).
b.
Tujuan ekspresif atau tujuan terbuka
Tujuan
ekspresif ini sangat berbeda dengan tujuan behavioral atau tujuan inruksional.
Tujuan ekspresif tidaklah menentukan perilaku yang dapat oleh sang siswa
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
Di
dalam tujuan ekspresif terkandung dalam kegiatan-kegiatan:
1)
Membaca untuk pengarahan diri (self-directed
reading)
2)
Membaca penafsiran, membeca
interpretativ (interpretative reading),
3)
Membaca kreatif (creative reading)
Di dalam tujuan membaca, dibedakan antara istilah initial
reading dengan advance reading. Initial reading adalah membaca untuk
mengerti bunyi (reading for sound). Sedangkan advance reading adalah
membaca untuk mengerti (reading for meaning) (Mara’at 2009: 80,81).
a.
Membaca untuk Mengerti Bunyi
Di
dalam initial reading, merupakan kegiatan pengenalan fonem pada pelajar
pemula biasanya anak-anak, pada tahapannya pembaca harus mengenal fonem
kemudian menggabungkan (blending) beberapa fonem menjadi suku kata atau
kata.
b.
Membaca untuk Mengerti Arti (Advanced
Reading)
Seperti
kita ketahui membaca merupakan suatu proses mengetahui makna, kemudia urutan
proses yang dilalui adalah dari bahasa tulisan – pencatatan (recording)
– langsung ke makna (meaning). Beberapa ahli mengemukakan bahwa dalam
membaca terjadi transformasi langsung dari bahasa tulis ke makna (pengertian),
karena pengertian yang ditangkap dari teks lebih dibimbing oleh konseptual
manusia dari pada oleh kata-kata yang tertulis dalam teks, namun beberapa ahli
mengemukakan bahwa proses membaca tergantung pada sifat tulisan (Ma’rat, 2009:
83).
4 Kelompok Tujuan
Membaca
Posted
by admin
Apr 3
Sebelum mulai membaca, sangat
penting untuk membuat tujuan. Tujuan membuat pikiran kita jelas apa yang ingin
kita capai dari proses membaca. Tanpa sebuauh tujuan, kita akan kehilangan arah
dan tidak menyelesaikan buku yang kita baca. Jika meninjau dan mengumpulkan
semua contoh tujuan membaca, kita bisa mengelompokkan menjadi 4 tujuan besar.
Yang mana setiap kelompok tujuan ini membutuhkan analisa, konsentrasi,
kecepatan dan pemahaman yang berbeda satu sama lain. Setiap tujuan yang berbeda
juga membutuhkan strategi dan pendekatan yang berbeda.
Empat tujuan membaca ini adalah:
- Membaca untuk kesenangan
- Hobi dan ketertarikan pribadi
- Membaca untuk belajar
- Menguasai sebuah keahlian
Sekarang kita lihat satu per
satu.
Membaca untuk Kesenangan
Membaca untuk kesenangan atau
kenikmatan adalah ketika kita membaca dengan lambat, menikmati proses dan
ceritanya. Umumnya ini digunakan untuk membaca buku fiksi atau buku novel.
Tentu tidak menyenangkan jika sebelum mengetahui prosesnya, Anda sudah
mengetahui akhir dari sebuah cerita. Kita tentu ingin mengimajinasikan apa yang
kita baca, menikmati bayangan-bayangan yang dilukiskan penulis dalam
kata-katanya.
Kita tidak bisa menikmati proses
membaca jika kita memutar sebuah film dengan kecepatan tinggi. Kita akan
kehilangan unsur emosinya dalam membaca. Dalam sistem bacakilat, apakah kita
bisa menikmati proses membaca?
Jika kita membaca dengan sistem
bacakilat, pertama kita membuat tujuan, lalu bacakilat dan diikuti dengan baca
ekspres untuk menikmati proses membaca. Dengan mendahuluinya dengan
membacakilat, kita membuat pikiran bawah sadar familiar sehingga kita bisa
menggunakan imajinasi dengan lebih efektif.
Membaca ekspres artinya kita
mengatur kecepatan yang mana kita bisa mempercepat di area tertentu dan
memperlambat di area lain. Dengan megatur kecepatan seperti ini, membuat fokus
kita selalu pada proses membaca. Dan bisa menikmati proses membaca dengan baik.
Hal-hal yang ingin Anda nikmati lebih dekat dan detil, perlambatlah sambil
melibatkan imajinasi Anda. Sedangkan informasi yang tidak terlalu menarik
perhatian Anda, Anda percepat tanpa kehilangan inti dari informasi itu.
Tips untuk menikmati majalah dan
koran.
Untuk menikmati dan mengingat
informasi yang ada di koran atau majalah, kita perlu mempersiapkan pikiran kita
untuk menyimpan informasi berdasarkan awal pertanyaan: Apa, Mengapa, Di mana,
Bagaimana, Siapa, Kapan. Karena para wartawan umumnya menggunakan patokan ini
untuk menuliskan naskah atau artikel. Dengan menggunakan pegangan ini kita bisa
menemukan informasi yang penting dalam artikel.
Membaca hobi dan ketertarikan
pribadi
Membaca hal yang Anda senangi
membutuhkan sedikit proses pembelajaran. Berbeda dengan proses membaca untuk
menikmati kita tidak membutuhkan proses pembelajaran apa-apa, hanya untuk
menikmati. Namun, tidak ada yang akan menguji pemahaman Anda kecuali diri Anda
sendiri. Anda perlu melakukan proses membaca yang tidak hanya sekali baca.
Namun, beberapa kali membaca dengan berbagai pendekatan, sehingga Anda bisa
mencerna dan menjalankan hobi Anda dengan baik.
Pertama, tentukan tujuan Anda
membaca buku. Lalu Anda bisa menggunakan bacakilat untuk menyerap dan memproses
informasi ini satu halaman per detik untuk mempermudah langkah membaca
selanjutnya. Atau jika tidak pun, Anda bisa melanjutkan ke langkah selanjutnya
yaitu membangun rasa penasaran dan membuat pikiran kita familiar dengan
struktur buku.
Lalu mulai mencari inti
informasi dengan langkah memindai menjelahi. Menemukan inti informasi yang
termasuk dalam 4-11%. Dan menandai atau lebih bagus lagi langsung mencatatnya
dalam mindmap Anda.
Anda bisa kembali membaca bagian
yang Anda tandai itu atau membaca kembali mindmap Anda untuk mengingatkan
proses penting yang Anda butuhkan.
Membaca untuk mempelajari
Proses pembelajaran membutuhkan
Anda memahami informasi yang bisa saja Anda tidak butuhkan setelah suatu proses
selesai. Belajar bisa jadi karena ada sebuah tujuan yang ingin kita capai untuk
proses pekerjaan atau karena diminta oleh orang yang ada di atas kita. Bukan
informasi yang menjadi perhatian kesenangan kita.
Mulai belajar dengan sebuah
tujuan, lalu awali dengan bacakilat. Dan saat melakukan review, kita tidak
hanya mengajukan pertanyaan ke judul dan subjudul, kita juga menarik sedikit
pikiran kita untuk mengetahui bagian subjudul ini membahas tentang apa. Jangan
lebih dari 15 menit untuk memahami bagian mana menjelaskan tentang apa.
Banyak yang menyamakan membaca
sama dengan belajar. Sehingga besar keinginan membaca sekali langsung kita
memahami apa yang kita baca. Belajar adalah memahami dan mengingat. Membaca
adalah memasukkan informasi ke pikiran kita. Membaca harusnya menjadi bagian
paling sedikit dalam proses pembelajaran. Kita perlu menemukan di mana kita
harus menerapkan proses belajar, untuk memahami dan mengingat. Jadi segera
temukan bagian yang perlu kita dalami, tandai dan kembali membaca untuk
mengingat dan memahami di langkah selanjutnya. Dan ingat selalu untuk membuat
mind map dari apa yang harus dipahami dan diingat.
Membaca untuk menguasai sebuah
keahlian
Seorang dokter tidak mengetahui
apa yang harus dilakukannya setelah ia membuka luka operasi. Seorang pilot
tidak tahu di mana dan cara untuk mendarat. Setiap ahli harus mengetahui dan
menguasai sebuah keahlian dengan baik untuk bisa menerapkannya dengan baik demi
kepentingan diri sendiri dan orang lain.
Untuk menguasai sebuah keahlian,
porsi membaca adalah porsi yang paling kecil. Di sini kita perlu memulai dengan
tujuan yang tepat dan spesifik. Semakin spesifik sebuah tujuan, semakin baik
hasil yang kita dapatkan. Lakukan bacakilat dua kali untuk memproses informasi
dan membiarkannya berada dalam pikiran bawah sadar Anda, yang mana itu adalah
gudang informasi Anda.
Nah, mulai lah dengan review,
bertanya, membangun rasa penasaran, memahami struktur buku dan mengetahui apa
yang dibahas pada bagian tersebut, dan jangan habiskan waktu yang banyak cukup
15 menit untuk proses ini.
Gunakan memindai menjelajahi
untuk menemukan mana informasi yang harus Anda dalami dan kuasai. Tandai,
mindmapping dan kembalilah untuk proses memahami, mengingat dan menguasai.
Proses pembelajaran membutuhkan
kita menggali lapis demi lapis untuk menyelami dan memahami apa yang kita
butuhkan.
A. Definisi Hakikat Membaca
Kelahiran suatu teori membaca
tidaklah muncul begitu saja. Kehadirannya merupakan hasil kerja keras dari ahli
atau sarjana yang mengkaji masalah membaca itu dalam waktu relatif lama, dan
dengan pendekatan yang berbeda-beda. Akibatnya, dalam sejarah perkembangan
studi membaca dan pengajaran membaca terdapat bermacam-macam teori membaca yang
bukan saja berbeda satu dengan yang lainnya, melainkan juga ada yang
berlawanan. Namun pada dasarnya membaca itu merupakan suatu proses yang
kompleks.
Ada tiga kelompok yang
mendefinisikan tentang hakikat membaca :
a. Kelompok pertama dengan tokohnya
Frank Jennings (1965) membuat definisi membaca sebagai tafsiran terhadap
pengalaman secara umum, selain itu membaca biasanya akan dimulai dengan
pengenalan terhadap peristiwa yang berulang-ulang datang, seperti matahari dan
bulan yang terbit setiap hari.
b. Kelompok kedua dengan Rudolf
Flesch (1995) sebagai tokohnya mendefinisikan membaca sebagai kegiatan
memperoleh makna dari berbagai gabungan huruf, seperti seorang anak yang
diajari mengenal makna yang dimiliki oleh setiap huruf akan sampai pada
kemampuan membaca.
c. Kelompok ketiga dengan Ernest
Horn (1937) sebagai tokohnya mendefinisikan membaca sebagai kegiatan yang
meliputi berbagai proses penyempurnaan dan pelestarian makna melalui penggunaan
media alat tulis.
Berikut beberapa fungsi teori membaca :
· Pertama, suatu teori membaca dalam
kelebihan dan kekurangan banyak sekali membantu pihak yang bermaksud
mempelajari masalah membaca dan pengajaran membaca untuk memperoleh gambaran
tertentu apa yang disebut membaca.
· Kedua, khusus bagi pembina
pengajaran membaca, suatu teori tentang membaca sangat diperlukan dalam membina
dan melaksanakan tugas pembinaan kemampuan siswa dalam membaca.
· Ketiga, mereka yang bermaksud
melaksanakan suatu penelitian tentang masalah membaca dan pengajaran membaca,
suatu teori membaca mutlak dibutuhkan.
B. Pendekatan Dalam Membaca
Pendekatan yang diterapkan dalam
studi membaca untuk menghasilkan teori membaca berkisar pada tiga macam
pendekatan, yaitu :
- Pendekatan Konseptual
Meliputi bermacam-macam metodologi pendekatan kesemuanya
berangkat dari suatu konsepsi tentang membaca dan berkesudahan dengan suatu
model tertentu tentang proses membaca.
- Pendekatan Empirikal
Mencakup bermacam-macam pendekatan yang bertolak dari
pengalaman serta penghayatan proses membaca, baik dari penyusunan teori itu
sendiri maupun dari orang-orang lain yang dijadikan subjek penelitian.
- Pendekatan Eksperimental
Meliputi berbagai macam pendekatan yang kesemuanya berangkat
dari suatu eksperimen tertentu yang ditujukan terhadap seperangkat perilaku
membaca yang dapat diamati, dikaji, dan kemudian dianalisis untuk disimpulkan
menjadi suatu teori membaca tertentu.
Tokoh Perintis dalam pendekatan
konseptual ialah Kennet S. Goodman. Menurut pandangannya, proses membaca pada
hakikatnya adlah proses komunikasi, yaitu komunikasi antara pembaca dengan turunan
tertulis (bacaan) yang dibacana. Namun pendekatan tersebut direvisi karena
disadari banyak kelemahannya. Sebagai penggantinya dipakailah teori
Transformasi Generatif temuan Noam Chomsky sebagai acuan kerjauntuk memberikan
proses membaca dalambentuk suatu model yang dikenal sebagai modal membaca
Goodmen (The Godman Model Of Reading). Model ini menekankan bahwa
membaca pada hakikatnya adalah seperangkat proses recording, decoding, dan
encoding yang berakhir pada pemahaman atau komprehensif.
Teori membaca yang memanfaatkan
pendekatan empirikal banyak ragamnya.
a) Teori yang memandang membaca
sebagai proses berpikir
b) Teori yang memandang membaca
sebagai perangkat keterampilan
c) Teori yang menganggap membaca
sebagai kegiatan visual
d) Teori yang menganggap membaca
sebagai pengalaman bahasa
Pendekatan ketiga adalah pendekatan
eksperimental. Teori yang dimanfaatkan sebagai landasan eksperimental adalah
teori yang memandang membaca sebagai proses atau kegiatan menangkap makna dari
bacaan. Beberapa penemuan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengajaran
membaca :
Ø Penemuan – penemuan proses
mempersepsi makna, yang meliputi :
- Persepsi atau pemahaman akan makna
materi bacaan,
- Menganalisis pola bentukan bahasa
bacaan
- Persepsi yang kuat atau baik terhadap
makna bahasa bacaan sebagai hasil menghayati dan menganalisis bahasa bacaan itu
akan membuat pembaca memiliki ingatan yang baik pula terhadap makna bacaan itu
Ø Penemuan-penemuan mengenai
pembentukan konsep, dalam membaca yaitu makna simbolik tentang hal-hal yang
direspon pembaca dari bacaan, meliputi :
- Persepsi yang baik terhadap makna
bahasa bacaan dan menghasilkan konsep yang baik pula tentang makna bahasa
bacaan itu,
- Konsep yang abstrak sifatnya
tentang makna material bahasa bacaan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang
konkrit dan tingkat intelegensi pembaca,
- Pengembangan konsep tentang makna
bahasa bacaan dapat dibina dengan menyiapkan program pengajaran membaca yang
baik.
Ø Penemuan-penemuan mengenai penerapan
penguasaan bahasa pembac dalam proses memahami makna pada waktu pembaca, yang
meliputi :
- Jumlah kosa kata yang dikuasainya
- Luas dan dalamnya ragam makna kata
yang dikuasainya
- Mapannya penguasaan terhadap
kaidah-kaidah bahasa
- Baiknya penguasaan tentang tata
penulisan bahasa.
C. Pokok Pikiran Tentang Membaca
Berikut adalah pokok-pokok pikiran
tentang membaca :
a. membaca adalah suatu proses ya g
sangat rumit dan unik sifatnya. Kerumitanya terutama terletak pada banyaknya
serta beraneka ragamnya faktor yang bekerja dalam proses membaca itu, dan
bertautnya faktor yang satu dengan yang lainnya. Keunikannya terletak pada
relatif berbedanya proses membaca itu berlangsung pada setiap pembaca
b. proses membaca berlangsung
sebagai bentuk respon pembaca terhadap tuturan tertulis (bacaan) yang
menstimulasinya. Respon membaca ini bukanlah respon pasif, melainkan respon
aktiv yang mengandung tingkat kesadaran tertentu.
c. Bacaan sebagai stimulant, dalam
wajah permukaanya berupa paparan bahasa tulis yang tersusun dari materi bahasa
(kata, frasa, klausa, dan kalimat), tertata dalam tata tuturan tertentu, dan
tertulis menurut tata penulisan yang berlaku.
d. Respon aktiv pembaca yang berupa
proses membaca mencakup berbagai kegiatan mental yang secara keseluruhan
merupakan kegiatan mengolah bacaan itu. Dalam kegiatan ini pembaca melakukan
kegiatan berfikir dan bernalar, menerapkan berbagai kemampuan intelektual dan
strategi kognitifnya dalam rangka membentuk persepsi dan konsep-konsep,
merekonstruksi, makna bacaan, dan menentukan kualitas, nilai, dan dampak makna
bacaan itu. Dalam keseluruhan kegiatan ini, pembaca banyak sekali memanfaatkan
ciri-ciri dan kunci-kunci penunda makna paparan bahasa bacaan untuk
memprediksi, menginterpretasi, dan mengkonfirmasi makna yang tepat. Selain itu,
juga dengan banyak dimanfaatkan nya pengetahuan serta pengalaman yang telah
dimilikinya
e. Kelancaran dan keberhasilan
pembaca dalam membaca dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari diri pembaca
sendiri (faktor dalam ) maupun yang berasal dari luar dirinya (faktor luar ).
Intelegensi, sikap, penguasaan bahasa, perbedaan kelamin pada usia muda, dan
perbedaan logatnya dengan bahasa bacaan adalah beberapa faktor luar yang ikut
berperan meliputi kondisi bacaan, baik bahasanya, isinya dan tingkat
keterbacaannya, maupun kesesuaian bacaan itu dengan daya tangkap pembaca.
Selain itu, keadaan status sosial ekonomi dan pengajaran membaca terutama peran
guru yang membinanya adalah faktor luar yang tidak kecil pengaruhnya. Apapun
bentuk, jenis dan sifat faktor yang berpengaruh, kelancaran dan keberhasilan
dalam membaca dapat dibina secara formal melalui pengajaran membaca yang
dirancang, di programkan serta dilaksanakan dengan baik.
Proses membaca
Membaca bukanlah merupakan proses yang pasif melainkan
aktif. Artinya seorang pembaca harus dengan aktif berusaha menangkap isi bacaan
yang dibacanya tidak boleh hanya menerimanya saja. Oleh karena itu ada
orang yang mengibaratkan proses membaca itu bagaikan proses menangkap
bola dalam sebuah permainan sepak bola, dan bukannya proses menerima
bingkisan lebaran
Sebagaimana kita maklumi seorang pemain sepak bola
yang baik harus memperhatikan gerakan-gerakan bola yang ditendang, baik
oleh kawan maupun lawan main. Terkadang dia harus lari, lompat untuk dapat
menangkap bola. Bola yang didapat kemudian digiring, bila perlu dioperkan
kepada kawan dulu kemudian dimasukkannya dalam gawang. Begitu pula halnya
dengan kegiatan membaca. Pembaca harus berusaha menangkap pesan yang
terdapat dalam bacaannya secara aktif, setelah itu memahami lebih lanjut isi
yang terdapat di dalamnya, dan kalau perlu mengomentarinya. Jadi tidak begitu
saja menerima seluruh pesan yang disampaikan seperti halnya saat menerima
bingkisan lebaran tadi.
Selanjutnya proses membaca juga tidak selamanya
identik dengan proses mengingat. Membaca bukan harus hafal kata demi kata atau
kalimat demi kalimat yang terdapat dalam bacaan. Yang lebih penting ialah
menangkap pesan atau ide pokok bacaan dengan baik.
a. Membaca sebagai suatu proses psikologis
Yang dimaksud dengan membaca sebagai proses psikologis
yakni bahwa kesiapan dan kemampuan membaca seseorang itu dipengaruhi serta
berkaitan erat dengan faktor-faktor yang bersifat psikis seperti motivasi,
minat, latar belakang sosial ekonomi, sertaa oleh tingkat perkembangan dirinya,
seperti intelegansi dan usia mental (mental age).
b. Membaca sebagai proses sensoris
Membaca itu pada awalnya merupakan proses sensoris, yakni
dimulai dari melihat (bagi mereka yang matanya normal) atau meraba (bagi
mereka yang tuna netra). Stimulus masuk lewat indera penglihatan,
mata. Pada tingkat awal anak-anak menunjukkan kemampuan yang secara umum
sekali disebut membaca. Pada saat permulaan itu anak mulai sadar bahwa
tanda dan lambang tentu menunjukkan nama atau benda. Kemudian mereka
belajar bahwa jika lambang-lambang tersebut itu dirangkai-rangkaian maka akan
tersusunlah suatu pembicaraan.
Kapankah anak-anak telah memiliki kesiapan penglihatan
untuk memulai membaca buku? Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya
anak mempunyai kesiapan penglihatan untuk membaca pada usia 5-6 tahun. Pada
usia tersebut anak dianggap telah memiliki kompetensi koordinasi binakular,
persepsi yang dalam pemfokusan pengaturan dan pengubahan perasaan secara bebas.
Akan tetapi pada usia tersebut karena anak merupakan pribadi-pribadi dengan
pola kepribadian yang berbeda dalam pertumbuhan dan perkembangannya dan kita
harus memiliki pengetahuan-pengtahuan yang layak tentang hal-hal yang pantas
diperhatikan.
c. Membaca sebagai proses perseptual
Proses perseptual dalam membaca mempunyai kaitan yang
erat dengan proses sensoris. Oleh karena itu kita harus waspada
untuk tidak mempertukarkannya. Seperti halnya dalam proses sensoris, secara
umum persepsi dimulai dari melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan meraba.
Namun demikian dalam proses membaca cukup hanya memperhatikan kedua hal yang
pertama, yakni melihat dan mendengar.
Vernon (1962) memberikan penjelasan bahwa proses perseptual
dalam membaca itu terdiri atas empat bagian:
·
kesadaran akan rangsangan visual;
·
kesadaran akan persamaan pokok untuk mengadakan klasifikasi umum kata-kata;
·
klasifikasi lambang-lambang visual untuk kata-kata yang ada di dalam kelas yang
umum;
·
identifikasi kata-kata yang dilakukan dengan jalan menyebutkannya.
Meskipun Vernon bermaksud memperuntukan langkah-langkah
tersebut untuk visual namun dapat juga diterapkan pada persepsi auditoris.
Untuk mengembangkan kemampuan membacanya anak harus pula dapat memodifikasi dan
menghubungkan pengalamannya dengan stimulus-stimulus yang ada dalam konteks dan
lingkungan yang sedang dilaminya. Dengan kata lain pada setiap anak haruslah
terjadi semacam mediasi atau pengalihan pengalaman.
Persepsi seorang anak dalam membaca berpengaruh dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang banyak jumlahnya. Antara lain oleh
kebudayaan, pengalaman, emosi, kematangan bahkan kepribadian anak yang
bersangkutan. Dengan demikian seyogyanyalah anak-anak sudah terlebih dahulu
memiliki banyak pengalaman sebelum dirinya pertama kali mengenal huruf, kata
dan kalimat dalam wacana. Semakin luas dan bervariasi pengalaman seorang anak
akan semakin luas dan semakin terbuka kesempatan baginya untuk mengembangkan
konsep-konsep dan memperbaiki pesepsinya.
Jenis Membaca
Menurut Tarigan
(1984:11) jenis membaca tampak seperti pada bagan berikut.
Membaca terdiri atas : a). membaca nyaring dan b). membaca dalam hati.
Membaca dalam hati, terdiri atas : 1). membaca ekstensif dan 2). membaca intensif.
Membaca Ekstensif, terdiri atas : membaca survey, membaca sekilas dan membaca dangkal.
Membaca Intensif : membaca telaah isi, membaca telaah bahasa.
Membaca Telaah Isi : membaca teliti, membaca pemahaman, membaca kritis, membaca ide-ide.
Membaca Telaah Bahasa : membaca bahasa, membaca sastra.
a. Membaca Nyaring
Membaca nyaring sering kali disebut membaca bersuara atau membaca teknik. Disebut demikian karena pembaca mengeluarkan suara secara nyaring pada saat membaca.
b. Membaca Ekstensif
Membaca ekstensif merupakan proses membaca yang dilakukan secara luas. Luas berarti (1) bahan bacaan beraneka dan banyak ragamnya; (2) waktu yang digunakan cepat dan singkat. Tujuan membaca ekstensif adalah sekadar memahami isi yang penting dari bahan bacaan dengan waktu yang cepat dan singkat.
c. Membaca Intensif
Membaca intensif adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara saksama dan merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan dan mengasah kemampuan membaca secara kritis. Membaca intensif merupakan studi saksama, telaah teliti, serta pemahaman terinci terhadap suatu bacaan sehingga timbul pemahaman yang tinggi.
Membaca intensif dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi meliputi membaca teliti, membaca pemahaman, membaca kritis, dan membaca ide, sedangkan membaca telaah bahasa meliputi membaca bahasa dan membaca sastra.
1) Membaca Pemahaman
Membaca pemahan merupakan suatu kegiatan membaca yang tujuan utamanya adalah memahami bacaan secara tepat dan cepat. Sejumlah aspek yang perlu diperlukan pembaca dalam membaca pemahaman adalah:
(a) memiliki kosa kata yang banyak;
(b) memiliki kemampuan menafsirkan makna kata, frasa, kalimat, dan wacana;
(c) memiliki kemampuan menangkap ide pokok dan ide penunjang;
(d) memiliki kemampuan menangkap garis besar dan rincian;
(e) memiliki kemampuan menangkap urutan peristiwa dalam bacaan (Kamidjan,1996).
2) Membaca Kritis
Membaca kritis ialah kegiatan membaca dilakukan dengan bijaksana, penuh tenggang rasa, mendalam, evaluatif, serta analitis, dan bukan ingin mencari kesalahan penulis. Membaca kritis berusaha memahami makna tersirat sebuah bacaan. Dalam membaca kritis, pembaca mengolah bahan bacaan secara kritis.
Nurhadi (1987) menguraikan aspek-aspek membaca kritis yang dikaitkan dengan ranah kognitif dalam taksonomi Bloom, sebagai berikut ini.
Membaca terdiri atas : a). membaca nyaring dan b). membaca dalam hati.
Membaca dalam hati, terdiri atas : 1). membaca ekstensif dan 2). membaca intensif.
Membaca Ekstensif, terdiri atas : membaca survey, membaca sekilas dan membaca dangkal.
Membaca Intensif : membaca telaah isi, membaca telaah bahasa.
Membaca Telaah Isi : membaca teliti, membaca pemahaman, membaca kritis, membaca ide-ide.
Membaca Telaah Bahasa : membaca bahasa, membaca sastra.
a. Membaca Nyaring
Membaca nyaring sering kali disebut membaca bersuara atau membaca teknik. Disebut demikian karena pembaca mengeluarkan suara secara nyaring pada saat membaca.
b. Membaca Ekstensif
Membaca ekstensif merupakan proses membaca yang dilakukan secara luas. Luas berarti (1) bahan bacaan beraneka dan banyak ragamnya; (2) waktu yang digunakan cepat dan singkat. Tujuan membaca ekstensif adalah sekadar memahami isi yang penting dari bahan bacaan dengan waktu yang cepat dan singkat.
c. Membaca Intensif
Membaca intensif adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara saksama dan merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan dan mengasah kemampuan membaca secara kritis. Membaca intensif merupakan studi saksama, telaah teliti, serta pemahaman terinci terhadap suatu bacaan sehingga timbul pemahaman yang tinggi.
Membaca intensif dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi meliputi membaca teliti, membaca pemahaman, membaca kritis, dan membaca ide, sedangkan membaca telaah bahasa meliputi membaca bahasa dan membaca sastra.
1) Membaca Pemahaman
Membaca pemahan merupakan suatu kegiatan membaca yang tujuan utamanya adalah memahami bacaan secara tepat dan cepat. Sejumlah aspek yang perlu diperlukan pembaca dalam membaca pemahaman adalah:
(a) memiliki kosa kata yang banyak;
(b) memiliki kemampuan menafsirkan makna kata, frasa, kalimat, dan wacana;
(c) memiliki kemampuan menangkap ide pokok dan ide penunjang;
(d) memiliki kemampuan menangkap garis besar dan rincian;
(e) memiliki kemampuan menangkap urutan peristiwa dalam bacaan (Kamidjan,1996).
2) Membaca Kritis
Membaca kritis ialah kegiatan membaca dilakukan dengan bijaksana, penuh tenggang rasa, mendalam, evaluatif, serta analitis, dan bukan ingin mencari kesalahan penulis. Membaca kritis berusaha memahami makna tersirat sebuah bacaan. Dalam membaca kritis, pembaca mengolah bahan bacaan secara kritis.
Nurhadi (1987) menguraikan aspek-aspek membaca kritis yang dikaitkan dengan ranah kognitif dalam taksonomi Bloom, sebagai berikut ini.
(1) Kemampuan mengingat
dan mengenali ditandai dengan
(a) mengenali ide pokok paragraf;
(b) mengenali tokoh cerita dan sifatnya;
(c) menyatakan kembali ide pokok paragraf;
(d) menyatakan kembali fakta bacaan;
(e) menyatakan kembali fakta perbandingan, hubungan sebab-akibat, karakter tokoh, dll.
(2) Kemampuan menginterpretasi makna tersirat ditandai dengan:
(a) menafsirkan ide pokok paragraf;
(b) menafsirkan gagasan utama bacaan;
(c) membedakan fakta/detail bacaan;
(d) menafsirkan ide-ide penunjang;
(e) memahami secara kritis hubungan sebab akibat;
(f) memahami secara kritis unsur-unsur pebandingan.
(3) Kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep ditandati dengan:
(a) mengikuti petunjuk-petunjuk dalam bacaan;
(b) menerapkan konsep-konsep/gagasan utama bacaan ke dalam situasi baru yang problematis;
(c) menunjukkan kesesuaian antara gagasan utama dengan situasi yang dihadapi.
(4) Kemampuan menganalisis ditandai dengan:
(a) memeriksa gagasan utama bacaan;
(b) memeriksa detail/fakta penunjang;
(c) mengklasifikasikan fakta-fakta;
(d) membandingkan antar gagasan yang ada dalam bacaan;
(e) membandingkan tokoh-tokoh yang ada dalam bacaan.
(5) Kemampuan membuat sintesis ditandai dengan:
(a) membuat simpulan bacaan;
(b) mengorganisasikan gagasan utama bacaan;
(c) menentukan tema bacaan;
(d) menyusun kerangka bacaan;
(e) menghubungkan data sehingga diperoleh kesimpulan;
(f) membuat ringkasan.
(6) Kemampuan menilai isi bacaan ditandai dengan:
(a) menilai kebenaran gagasan utama/ide pokok paragraf/bacaan secara keseluruhan;
(b) menilai dan menentukan bahwa sebuah pernyataan adalah fakta atau opini;
(c) menilai dan menentukan bahwa sebuah bacaan diangkat dari realitas atau fantasi pengarang;
(d) menentukan relevansi antara tujuan dan pengembangan gagasan;
(e) menentukan keselarasan antara data yang diungkapkan dengan kesimpulan yang dibuat;
(f) menilai keakuratan dalam penggunaan bahasa, baik pada tataran kata, frasa, atau penyusunan kalimatnya.
(a) mengenali ide pokok paragraf;
(b) mengenali tokoh cerita dan sifatnya;
(c) menyatakan kembali ide pokok paragraf;
(d) menyatakan kembali fakta bacaan;
(e) menyatakan kembali fakta perbandingan, hubungan sebab-akibat, karakter tokoh, dll.
(2) Kemampuan menginterpretasi makna tersirat ditandai dengan:
(a) menafsirkan ide pokok paragraf;
(b) menafsirkan gagasan utama bacaan;
(c) membedakan fakta/detail bacaan;
(d) menafsirkan ide-ide penunjang;
(e) memahami secara kritis hubungan sebab akibat;
(f) memahami secara kritis unsur-unsur pebandingan.
(3) Kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep ditandati dengan:
(a) mengikuti petunjuk-petunjuk dalam bacaan;
(b) menerapkan konsep-konsep/gagasan utama bacaan ke dalam situasi baru yang problematis;
(c) menunjukkan kesesuaian antara gagasan utama dengan situasi yang dihadapi.
(4) Kemampuan menganalisis ditandai dengan:
(a) memeriksa gagasan utama bacaan;
(b) memeriksa detail/fakta penunjang;
(c) mengklasifikasikan fakta-fakta;
(d) membandingkan antar gagasan yang ada dalam bacaan;
(e) membandingkan tokoh-tokoh yang ada dalam bacaan.
(5) Kemampuan membuat sintesis ditandai dengan:
(a) membuat simpulan bacaan;
(b) mengorganisasikan gagasan utama bacaan;
(c) menentukan tema bacaan;
(d) menyusun kerangka bacaan;
(e) menghubungkan data sehingga diperoleh kesimpulan;
(f) membuat ringkasan.
(6) Kemampuan menilai isi bacaan ditandai dengan:
(a) menilai kebenaran gagasan utama/ide pokok paragraf/bacaan secara keseluruhan;
(b) menilai dan menentukan bahwa sebuah pernyataan adalah fakta atau opini;
(c) menilai dan menentukan bahwa sebuah bacaan diangkat dari realitas atau fantasi pengarang;
(d) menentukan relevansi antara tujuan dan pengembangan gagasan;
(e) menentukan keselarasan antara data yang diungkapkan dengan kesimpulan yang dibuat;
(f) menilai keakuratan dalam penggunaan bahasa, baik pada tataran kata, frasa, atau penyusunan kalimatnya.
JENIS-JENIS
MEMBACA DAN KARAKTERISTIKNYA
Ditinjau dari segi
terdengar atau tidaknya suara pembaca waktu melakukan kegiatan membaca, maka
proses membaca dapat dibedakan menjadi :
A. Membaca Nyaring
Membaca nyaring adalah kegiatan membaca dengan menyuarakan tulisan yang dibacanya dengan ucapan dan intonasi yang tepat agar pendengar dan pembaca dapat menangkap informasi yang disampaikan oleh penulis, baik yang berupa pikiran, perasaan, sikap, ataupun pengalaman penulis.
Ketrampilan yang dituntut dalam membaca nyaring adalah berbagai kemampuan, diantaranya adalah :
1. menggunakan ucapan yang tepat,
2. menggunakan frase yang tepat,
3. menggunakan intonasi suara yang wajar,
4. dalam posisi sikap yang baik,
5. menguasai tanda-tanda baca,
6. membaca dengan terang dan jelas,
7. membaca dengan penuh perasaan, ekspresif,
8. membaca dengan tidak terbata-bata,
9. mengerti serta memahami bahan bacaan yang dibacanya,
10. kecepatan bergantung pada bahan bacaan yang dibacanya,
11. membaca dengan tanpa terus-menerus melihat bahan bacaan,
12. membaca dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri.
B. Membaca Dalam Hati
Membaca dalam hati adalah kegiatan membaca yang dilakukan dengan tanpa menyuarakan isi bacaan yang dibacanya.
Ketrampilan yang dituntut dalam membaca dalam hati antara lain sebagai berikut:
1. membaca tanpa bersuara, tanpa bibir bergerak, tanpa ada desis apapun,
2. membaca tanpa ada gerakan-gerakan kepala,
3. membaca lebih cepat dibandingkan dengan membaca nyaring,
4. tanpa menggunakan jari atau alat lain sebagai penunjuk,
5. mengerti dan memahami bahan bacaan,
6. dituntut kecepatan mata dalam membaca,
7. membaca dengan pemahaman yang baik,
8. dapat menyesuaikan kecepatan dengan tingkat kesukaran yang terdapat dalam bacaan.
Secara garis besar, membaca dalam hati dapat dibedakan menjadi dua (I) membaca ekstensif dan (II) membaca intensif. Berikut penjelasan secara rinci kedua jenis membaca tersebut :
I. Membaca Ekstensif
membaca ekstensif adalah membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak mungkin teks dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Membaca ekstensif meliputi :
1. Membaca Survai (Survey Reading)
Membaca survai adalah kegiatan membaca untuk mengetahui secara sekilas terhadap bahan bacaan yang akan dibaca lebih mendalam. Kegiatan membaca survai merupakan pendahuluan dalam membaca ekstensif.
Yang dilakukan seseorang ketika membaca survai adalah sebagai berikut :
(a) memeriksa judul bacaan/buku, kata pengantar, daftar isi dan malihat abstrak(jika ada),
(b) memeriksa bagian terahkir dari isi (kesimpulan) jika ada,
(c) memeriksa indeks dan apendiks(jika ada).
2. Membaca Sekilas
Membaca sekilas atau membaca cepat adalah kegiatan membaca dengan mengandalakan kecepatan gerak mata dalam melihat dan memperhatikan bahan tertulis yang dibacanya dengan tujuan untuk mendapatkan informasi secara cepat.
Metode yang digunakan dalam melatihkan membaca cepat adalah :
(a) metode kosakata; metode yang berusaha untuk menambah kosakata.
(b) Metode motivasi; metode yang berusaha memotivasi pembaca(pemula) yang mengalami hambatan.
(c) Metode gerak mata; metode yang mengembangkan kecepatan membaca dengan menigkatkan kecepatan gerak mata.
Hambatan-hambatan yang dapat mengurangi kecepatan mambaca :
(a) vokalisai atau berguman ketika membaca,
(b) membaca dengan menggerakan bibir tetapi tidak bersuara,
(c) kepala bergerak searah tulisan yang dibaca,
(d) subvokalisasi; suara yang biasa ikut membaca di dalam pikiran kita,
(e) jari tangan selalu menunjuk tulisa yang sedang kit abaca,
(f) gerakan mata kembali pada kata-kata sebelumnya.
3. Membaca Dangkal (Superficial Reading)
membaca dangkal pada hakekatnya bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang dangkal yang bersifat luaran, yang tidak mendalam dari suatu bahan bacaan. Membaca jenis ini biasanya dilakukan seseorang membaca demi kesenangan, membaca bacaan ringan yang mendatangkan kesenangan, kegembiraan sebagai pengisi waktu senggang.
II. Membaca Intensif
membaca intensif atau intensive reading adalah membaca dengan penuh penghayatan untuk menyerap apa yang seharusnya kita kuasai. Yang termasuk dalam membaca intensif adalah :
A. Membaca Telaah Isi :
1. Membaca Teliti
Membaca jenis ini sama pentingnya dengan membaca sekilas, maka sering kali seseorang perlu membaca dengan teliti bahan-bahan yang disukai.
2. Membaca Pemahaman
Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah sejenis membaca yang bertujuan untuk memahami tentang standar-standar atau norma-norma kesastraan (literary standards), resensi kritis (critical review), dan pola-pola fiksi (patterns of fiction).
3. Membaca Kritis
Membaca kritis adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara bijakasana, mendalam, evaluatif, dengan tujuan untuk menemukan keseluruhan bahan bacaan, baik makna baris-baris, makna antar baris, maupun makna balik baris.
4. Membaca Ide
Membaca ide adalah sejenis kegiatan membaca yang ingin mencari, memperoleh, serta memanfaatkan ide-ide yang terdapat pada bacaan.
5. Membaca Kreatif
Membaca kreatif adalah kegiatan membaca yang tidak hanya sekedar menagkap makna tersurat, makna antar baris, tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kehidupan sehari-hari.
B. Membaca Telaah Bahasa :
1. Membaca Bahasa (Foreign Language Reading)
Tujuan utama membaca bahasa adalah memperbesar daya kata (increasing word power) dan mengembangkan kosakata (developing vocabulary)
2. Membaca Sastra (Literary Reading)
Dalam membaca sastra perhatian pembaca harus dipusatkan pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Apabila seseorang dapat mengenal serta mengerti seluk beluk bahasa dalam suatu karya sastra maka semakin mudah dia memahami isinya serta dapat membedakan antara bahasa ilmiah dan bahasa sastra.
A. Membaca Nyaring
Membaca nyaring adalah kegiatan membaca dengan menyuarakan tulisan yang dibacanya dengan ucapan dan intonasi yang tepat agar pendengar dan pembaca dapat menangkap informasi yang disampaikan oleh penulis, baik yang berupa pikiran, perasaan, sikap, ataupun pengalaman penulis.
Ketrampilan yang dituntut dalam membaca nyaring adalah berbagai kemampuan, diantaranya adalah :
1. menggunakan ucapan yang tepat,
2. menggunakan frase yang tepat,
3. menggunakan intonasi suara yang wajar,
4. dalam posisi sikap yang baik,
5. menguasai tanda-tanda baca,
6. membaca dengan terang dan jelas,
7. membaca dengan penuh perasaan, ekspresif,
8. membaca dengan tidak terbata-bata,
9. mengerti serta memahami bahan bacaan yang dibacanya,
10. kecepatan bergantung pada bahan bacaan yang dibacanya,
11. membaca dengan tanpa terus-menerus melihat bahan bacaan,
12. membaca dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri.
B. Membaca Dalam Hati
Membaca dalam hati adalah kegiatan membaca yang dilakukan dengan tanpa menyuarakan isi bacaan yang dibacanya.
Ketrampilan yang dituntut dalam membaca dalam hati antara lain sebagai berikut:
1. membaca tanpa bersuara, tanpa bibir bergerak, tanpa ada desis apapun,
2. membaca tanpa ada gerakan-gerakan kepala,
3. membaca lebih cepat dibandingkan dengan membaca nyaring,
4. tanpa menggunakan jari atau alat lain sebagai penunjuk,
5. mengerti dan memahami bahan bacaan,
6. dituntut kecepatan mata dalam membaca,
7. membaca dengan pemahaman yang baik,
8. dapat menyesuaikan kecepatan dengan tingkat kesukaran yang terdapat dalam bacaan.
Secara garis besar, membaca dalam hati dapat dibedakan menjadi dua (I) membaca ekstensif dan (II) membaca intensif. Berikut penjelasan secara rinci kedua jenis membaca tersebut :
I. Membaca Ekstensif
membaca ekstensif adalah membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak mungkin teks dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Membaca ekstensif meliputi :
1. Membaca Survai (Survey Reading)
Membaca survai adalah kegiatan membaca untuk mengetahui secara sekilas terhadap bahan bacaan yang akan dibaca lebih mendalam. Kegiatan membaca survai merupakan pendahuluan dalam membaca ekstensif.
Yang dilakukan seseorang ketika membaca survai adalah sebagai berikut :
(a) memeriksa judul bacaan/buku, kata pengantar, daftar isi dan malihat abstrak(jika ada),
(b) memeriksa bagian terahkir dari isi (kesimpulan) jika ada,
(c) memeriksa indeks dan apendiks(jika ada).
2. Membaca Sekilas
Membaca sekilas atau membaca cepat adalah kegiatan membaca dengan mengandalakan kecepatan gerak mata dalam melihat dan memperhatikan bahan tertulis yang dibacanya dengan tujuan untuk mendapatkan informasi secara cepat.
Metode yang digunakan dalam melatihkan membaca cepat adalah :
(a) metode kosakata; metode yang berusaha untuk menambah kosakata.
(b) Metode motivasi; metode yang berusaha memotivasi pembaca(pemula) yang mengalami hambatan.
(c) Metode gerak mata; metode yang mengembangkan kecepatan membaca dengan menigkatkan kecepatan gerak mata.
Hambatan-hambatan yang dapat mengurangi kecepatan mambaca :
(a) vokalisai atau berguman ketika membaca,
(b) membaca dengan menggerakan bibir tetapi tidak bersuara,
(c) kepala bergerak searah tulisan yang dibaca,
(d) subvokalisasi; suara yang biasa ikut membaca di dalam pikiran kita,
(e) jari tangan selalu menunjuk tulisa yang sedang kit abaca,
(f) gerakan mata kembali pada kata-kata sebelumnya.
3. Membaca Dangkal (Superficial Reading)
membaca dangkal pada hakekatnya bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang dangkal yang bersifat luaran, yang tidak mendalam dari suatu bahan bacaan. Membaca jenis ini biasanya dilakukan seseorang membaca demi kesenangan, membaca bacaan ringan yang mendatangkan kesenangan, kegembiraan sebagai pengisi waktu senggang.
II. Membaca Intensif
membaca intensif atau intensive reading adalah membaca dengan penuh penghayatan untuk menyerap apa yang seharusnya kita kuasai. Yang termasuk dalam membaca intensif adalah :
A. Membaca Telaah Isi :
1. Membaca Teliti
Membaca jenis ini sama pentingnya dengan membaca sekilas, maka sering kali seseorang perlu membaca dengan teliti bahan-bahan yang disukai.
2. Membaca Pemahaman
Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah sejenis membaca yang bertujuan untuk memahami tentang standar-standar atau norma-norma kesastraan (literary standards), resensi kritis (critical review), dan pola-pola fiksi (patterns of fiction).
3. Membaca Kritis
Membaca kritis adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara bijakasana, mendalam, evaluatif, dengan tujuan untuk menemukan keseluruhan bahan bacaan, baik makna baris-baris, makna antar baris, maupun makna balik baris.
4. Membaca Ide
Membaca ide adalah sejenis kegiatan membaca yang ingin mencari, memperoleh, serta memanfaatkan ide-ide yang terdapat pada bacaan.
5. Membaca Kreatif
Membaca kreatif adalah kegiatan membaca yang tidak hanya sekedar menagkap makna tersurat, makna antar baris, tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kehidupan sehari-hari.
B. Membaca Telaah Bahasa :
1. Membaca Bahasa (Foreign Language Reading)
Tujuan utama membaca bahasa adalah memperbesar daya kata (increasing word power) dan mengembangkan kosakata (developing vocabulary)
2. Membaca Sastra (Literary Reading)
Dalam membaca sastra perhatian pembaca harus dipusatkan pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Apabila seseorang dapat mengenal serta mengerti seluk beluk bahasa dalam suatu karya sastra maka semakin mudah dia memahami isinya serta dapat membedakan antara bahasa ilmiah dan bahasa sastra.
Model
Membaca
MMAB
Model Membaca
Atas-Bawah (MMAB) Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca
dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan
membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca
secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis
yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini,
informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna.
Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena
mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses
membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian
memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada
teks. Inti dari model membaca atas bawah adalah pembaca memulai proses
pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan
membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan
berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan
tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan
menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada
penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna
bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi
berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang
apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan. Jadi menurut
model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan
kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan. Model
membaca atas bawah ini berpijak pada teori psikolinguistik, mengenai interaksi
antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) bependapat bahwa membaca itu
merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari
masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannnya itu dilakukan
dengan kemampuan memperkirakan. Ketika informasi itu di proses, terjadilah
keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak atau memperhalus. MMBA
menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mengukung atau menolak hipotesis
mengenai makna. Makna diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja
dari system isyrat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik diturunkan
dari media cetak, isyarat-isyarat lainnya berasal dari kebahasaan pembaca,
pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memillih isyarat grafis yang
paling berguna, setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu
semakin berkurang pula perlunya, sebab pembaca telah memiliki perbendaharaan
kata dan konsep-konsep yang semakin kaya. Strategi-strategi untuk membuat
perkiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantic dan sintaksis,
memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan umtuk mengantisipasi apa yang
tampak berikutnya di dalam materi cetak yang sedang dibaca.
MMBA
Model Membaca Bawah Atas (MMBA) atau bottom-up merupakan model membaca yang bertitik tolak dari pandangan bahwa yang mempunyai peran penting (primer) dalam kegiatan atau proses membaca adalah struktur bacaan, sedangkan struktur pengetahuan yang dimiliki (didalam otak) pembaca mempunyai peran sampingan (sekunder). Pembaca bergantung sekali pada bacaan. Dalam membaca, pembaca melakukan penyandian kembali simbol-simbol tertulis sehingga mata pembaca selalu menatap bacaan. Hasil penyandian kembali dikirim ke otak melalui syaraf visual yang ada dimata untuk dipahami. Karena sistem atau cara kerja berawal dan bergantung pada bacaan yang berada di bawah dan baru dikirimkan ke otak yang berada di atas, sistem membaca seperti itu dinamakan model membaca bawah atas (MMBA).
Model Membaca Bawah Atas (MMBA) atau bottom-up merupakan model membaca yang bertitik tolak dari pandangan bahwa yang mempunyai peran penting (primer) dalam kegiatan atau proses membaca adalah struktur bacaan, sedangkan struktur pengetahuan yang dimiliki (didalam otak) pembaca mempunyai peran sampingan (sekunder). Pembaca bergantung sekali pada bacaan. Dalam membaca, pembaca melakukan penyandian kembali simbol-simbol tertulis sehingga mata pembaca selalu menatap bacaan. Hasil penyandian kembali dikirim ke otak melalui syaraf visual yang ada dimata untuk dipahami. Karena sistem atau cara kerja berawal dan bergantung pada bacaan yang berada di bawah dan baru dikirimkan ke otak yang berada di atas, sistem membaca seperti itu dinamakan model membaca bawah atas (MMBA).
Apabila di bagankan model membaca bawah atas adalah sebagai berikut :
Model Membaca Bawah Atas (MMBA) : Bacaan -->> Mata -->> Otak
TEKNIK UJI RUMPANG
Pengertian Membaca
Membaca merupakan suatu
metode yang dapat
dipergunakan untuk
berkomunikasi, yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam suatu wacana.
Salah satu syarat
untuk menjadi manusia
yang unggul dan
cerdas, adalah dengan meningkatkan pengetahuan dengan cara
membaca.
Hodgson (Tarigan, 2008: 7) memberikan definisi bahwa
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh
pembaca untuk memperoleh pesan
yang hendak disampaikan oleh
penulis melalui media kata kata atau bahasa tulis. Suatu
proses yang menuntut agar kelompok kata
yang merupakan suatu
kesatuan akan terlibat
dalam pandangan sekilas dan
agar kata-kata secara
individual akan dapat
diketahui. Jika hal
ini tidak terpenuhi, maka pesan
yang tersurat maupun yang tersirat tidak akan dipahami dan proses membaca tidak
terlaksana dengan baik’. Pendapat
yang sama dikemukakan pula
oleh Anderson (Tarigan, 2008:8)
bahwa ‘membaca dapat pula
diartikan sebagai suatu
metode yang digunakan untuk berkomunikasi dengan diri sendiri
dan orang lain yaitu
mengkomunikasikan makna yang terkandung
atau tersirat dalam lambang-lambang tertulis’.
Rey (2001:
849) dalam kamusnya
yang berjudul Le
Grand Robert De
La Langue Française menjelaskan pengertian
membaca sebagai berikut, “lire est de façon relativement suivie (un texte),
pour s’inform er, s’instruire, et critique qui doit tout
lire”. Dari uraian
di atas dapat
diketahui bahwa membaca adalah
suatu keterampilan yang teratur
dari sebuah wacana, untuk mencari keterangan, menambah pengetahuan, dan
kritik yang terlihat.
Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan telah menempatkan kegiatan membaca
pada posisi yang sangat penting
khususnya dalam pembelajaran
Menurut Gallison et Coste
(1976: 298) dalam Dictionnaire de
Didactique des langues, “la lecture
est action d’identifier les
lettres et de
les assembler pour comprendre le lien entre ce qui est
écrit et ce qui est dit”. Dengan kata lain, membaca adalah kegiatan mengenali
huruf-huruf dan menyatukannya untuk mengerti hubungan antara apa yang ditulis
dan apa yang dikatakan.
Berdasarkan beberapa definisi
di atas, dapat
disimpulkan bahwa membaca merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan
seseorang untuk mendapatkan
informasi atau pengetahuan dari apa yang dibacanya. Informasi tersebut
dapat berupa kata-kata yang
terbentuk oleh rangkaian
huruf menjadi objek
dalam kegiatan membaca
yang memusatkan perhatian atau berkonsentrasi penuh terhadap bahan
bacaan agar dapat memahami
isi wacana secara
keseluruhan, sehingga pembaca dapat
mengambil manfaat dari apa yang terkandung dalam bacaan.
Tujuan Membaca
Tujuan membaca
merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh pembaca untuk memperoleh informasi yang
mencakup isi, dan
memahami makna sumber bacaan. Bentolia dalam situs http://www.uvp5.univ-paris.fr/tfl/TFL.asp mengemukakan tujuan membaca, yaitu
“…les buts de
lecture différents se
lisent différemment selon le contexte et les objectifs que l’on souhaite atteindre par
cette lecture”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kegiatan membaca memiliki
tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan maksud dan sasaran yang diinginkan
pembaca. Sejalan dengan tujuan membaca di atas, Cicurel (1991: 16-17) dalam
bukunya yang berjudul Lecture Interactive en Langue Étrangère, mengemukakan
tujuh tujuan membaca, yaitu :
1) pour se distraire ou
passer le temps ;
(membaca untuk memperoleh
hiburan atau mengisi waktu luang )
2) pour s’informer (les nouvelles du monde ou les hor aires d’un train);
(membaca untuk mendapatkan informasi tentang berita-berita dunia
atau jadwal pemberangkatan kereta api)
3) pour étudier (traduire, expliquer des
textes, approfondir connaissances, corriger une copie, faire un
exposé);
(membaca untuk
belajar seperti menerjemahkan, menjelaskan maksud dari suatu
wacana, menambah pengetahuan, menyalin kembali, dan
presentasi)
4) pour faire une action (lire un mode
d’emploi);
(membaca untuk melakukan suatu
kegiatan seperti untuk
petunjuk pemakaian)
5)
pour chanter, prier, raconteur une histoire;
(membaca
untuk bernyanyi, berdo’a, dan menceritakan sebuah cerita)
6)
pour s’endormir; et
(membaca sebagai pengantar tidur)
7)
pour connaître la littérature.
(membaca untuk mengenal dan mempelajari
kesusastraan)
Berdasarkan beberapa tujuan
dari kegiatan membaca tersebut, peneliti
menyimpulkan bahwa setiap
situasi dalam membaca
mempunyai tujuan tersendiri
yang spesifik terutama
memberikan motivasi yang
besar kepada pembaca. Oleh karena itu,
sebelum memulai kegiatan
membaca seseorang harus
memiliki tujuan yang jelas,
sehingga kegiatan membaca
yang dilakukan tidak
sia-sia. Namun pada dasarnya tujuan membaca adalah untuk
mendapatkan informasi, menambah wawasan dari sebuah sumber bacaan.
Teknik
Uji Rumpang
Untuk dapat
memahami pembelajaran dalam keterampilan membaca pemahaman wacana dibutuhkan bimbingan dan
latihan yang teratur.
Dalam pengajaran
membaca pemahaman wacana bahasa Indonesia guru
harus mampu memilih teknik
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan
dan tingkat perkembangan siswa.
Upaya yang bisa
dilakukan guru dalam
mengajarkan membaca pemahaman
wacana bahasa Indonesia salah
satunya, yaitu dengan
menggunakan teknik pembelajaran membaca yang dinamakan Teknik
Uji Rumpang.
2.3.1
Pengertian Teknik Uji Rumpang
Teknik Uji Rumpang merupakan sebuah teknik
penghilangan kata-kata secara sistematis
dari sebuah wacana, dan pembaca diharapkan dapat mengisi kata-kata yang
dihilangkan tersebut dengan
kata yang sesuai.
Berbagai pengertian Teknik Uji Rumpang diungkapkan beberapa ahli.
Mulyati dan Harjasujana (1997: 3) mengungkapkan bahwa, Teknik
Uji Rumpang pertama kali
diperkenalkan oleh Wilson Taylor pada tahun 1953 yang berasal
dari istilah “Closure” suatu istilah
dari ilmu jiwa Gestalt.
Konsepnya menjelaskan tentang kecenderungan orang
untuk menyempurnakan suatu pola
yang tidak lengkap, secara mental menjadi satu kesatuan pembaca
diminta untuk dapat
memahami wacana yang
tidak lengkap (karena
ada bagian-bagian yang dihilangkan) dengan
pemahaman yang sempurna.
Bagian kata-kata yang
dihilangkan itu biasanya
kata ke-n, digantikan
dengan tanda
garis lurus panjang atau
dengan titik-titik. Penghilangan bagian-bagian kata
dalam Teknik Uji
Rumpang, mungkin juga tidak berdasarkan kata ke-n secara konsisten dan
sistematis. Terkadang pertimbangan lain
turut menentukan kriteria pengosongan kata-kata tertentu dalam wacana ini. Misalnya kata
kerja, kata benda, kata depan atau kata-kata tertentu yang dianggap penting,
bisa jadi merupakan kata yang dihilangkan.
Penghilangan kata-kata
dari suatu wacana
tulis merupakan ciri
khas pokok dari Teknik Uji Rumpang. Abidin (2010: 109)
mengungkapkan bahwa “Teknik Uji Rumpang diterapkan dibidang bahasa
sebagai proses pemahaman wacana
yang disertai
dengan melengkapi kekurangan-kekurangan yang
ada”. Kemampuan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan itu
menunjukkan tingkat kemampuan berbahasa
seseorang.
Dari paparan tersebut, dapat
diutarakan kembali bahwa
Teknik Uji Rumpang merupakan alat
untuk mengukur hasil
dari penjelasan mengenai
pemahaman suatu teks atau
wacana. Teknik ini memperkenalkan bahan bacaan dimana setiap kata ke –n
(biasanya kata ke-5)
digantikan dengan tanda
garis penghubung. Dengan membaca diharapkan dapat melengkapi teks
atau wacana rumpang dari kata yang dihilangkan.
Dari beberapa
definisi di atas,
dapat ditarik kesimpulan
bahwa, Teknik Uji
Rumpang merupakan teknik
pembelajaran membaca dengan cara
menghilangkan sebagian
kata-kata dari suatu
wacana utuh untuk
melatih daya tangkap
pembaca terhadap pesan penulis dengan cara memotong pola bahasa pada
bagian-bagian yang dilesapkan/dirumpangkan. Setelah itu, para pembaca
dituntut mampu mengolahnya menjadi pola yang utuh seperti wujudnya semula, dengan cara mengisi bagian yang
dirumpangkan. Kata-kata yang dihilangkan tersebut dapat dilakukan secara
sistematis dan konsisten, namun
dapat juga tidak
dilakukan secara sistematis
dan konsisten karena pertimbangan
lain pun turut menentukan kriteria pengosongan, penghilangan kata, misalnya
penguasaan tata bahasa, seperti kata kerja, kata benda, kata depan, dan
sebagainya. Jarak penghilangan atau pengosongan kata berpengaruh terhadap
tingkat kesulitan suatu wacana, karena semakin banyak kata yang dihilangkan,
maka semakin sulit bagi pembaca
untuk dapat memahami isi
atau makna kalimat
dari wacana tersebut.
Fungsi
Teknik Uji Rumpang
Berbicara
mengenai fungsi Teknik Uji Rumpang, terdapat dua fungsi utama. Mulyati dan
Harjasujana (1997: 5)
mengemukakan Teknik Uji
Rumpang sebagai berikut.
1) Mengukur tingkat keterbacaan sebuah wacana,
yakni untuk:
(1) menguji tingkat kesukaran dan kemudahan bahan
bacaan;
(2) mengklasifikasikan tingkat baca siswa,
seperti membaca independen, instruksional, atau frustasi; dan
(3) mengetahui kelayakan wacana sesuai dengan
kemampuan siswa.
2)
Melatih keterampilan tertentu
dan kemampuan baca
siswa melalui kegiatan belajar mengajar.
Keterampilan-keterampilan tersebut meliputi:
(1) penguasaan unsur tata bahasa, misalnya: kata
benda, kata kerja, kata depan, kata
sifat, dan lain-lain;
(2) penguasaan kosa kata dan maknanya;
(3) penguasaan struktur kalimat;
(4) pemahaman gaya penulis dan penulisan; dan
(5) pemahaman makna konteks.
Lebih lanjut Abidin (2010: 110) mengungkapkan
bahwa,
“Teknik
Uji Rumpang berfungsi untuk
mengetahui tingkat penguasaan komponen bahasa atau
tingkat kemampuan berbahasa seseorang, seperti penguasaan unsur tata bahasa,
kosakata dan juga berfungsi untuk mengetahui
tingkat kesulitan suatu wacana”.
Beberapa fungsi
yang dikemukakan kedua
ahli di atas
pada dasarnya sama. Dari semua pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa Teknik Uji Rumpang sebagai alat untuk
mengetahui tingkat penguasaan komponen bahasa, seperti
penguasaan unsur-unsur tata bahasa,
dan juga berfungsi
sebagai alat untuk
mengukur tingkat kelayakan suatu
wacana. Dengan kata
lain, guru dalam
waktu yang relatif
singkat akan mengetahui tingkat keterbacaan suatu wacana. Teknik ini pun
dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan
membaca siswa.
2.3.3 Kriteria Penggunaan Teknik Uji Rumpang
Taylor seperti
yang dikutip oleh
Mulyati dan Harjasujana (1997: 6) menyatakan bahwa konstruksi wacana Uji
Rumpang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1) memilih wacana yang relatif sempurna yakni
wacana yang tidak
tergantung pada informasi sebelumnya;
2)
melakukan penghilangan kata ke-n, tanpa memperhatikan arti dan fungsi
kata-kata yang dihilangkan;
3) mengganti kata-kata yang dihilangkan tersebut
dengan tanda garis lurus datar yang sama panjangnya atau titik-titik;
4)
mengingatkan siswa untuk berusaha mengisi semua delisi (penghilangan
kata) dengan pertanyaan-pertanyaan dari konteks atau kata sisanya; dan
5) menyediakan waktu yang relatif cukup untuk
memberi kesempatan kepada siswa dalam menyelesaikan tugasnya.
Untuk dapat
melihat perbedaan kriteria
penggunaan wacana rumpang
yang berfungsi sebagai alat ukur dan alat ujar, Mulyati dan Harjasujana
(1997: 7) membuat tabel kriteria pembuatan wacana rumpang.
Tabel
2.1
Kriteria
penggunaan Teknik Uji Rumpang
Karakteristik Sebagai Alat Ukur Sebagai Alat Ujar
Panjangnya Antara 250-350 kata
Wacana yang terdiri
atas
pilihan
maksimal 150 kata
Delisi
(penghilangan kata) Setiap
kata ke-n (biasanya Secara selektif
tergantung
terletak
pada urutan ganjil, pada kebutuhan
siswa dan
misalnya kata ke-3,
5, 7, pertimbangan guru
atau 9)
Evaluasi Jawaban berupa kata
Jawaban boleh berupa
persis sesuai dengan
teks sinonim atau
yang secara
atau
wacana aslina
struktur dan makna
dapat
menggantikan kedudukan
kata
yang dihilangkan
Tindak
lanjut _
Lakukanlah diskusi untuk
membahas jawaban-
jawaban siswa
Selain ditandai
dengan penghilangan kata
secara sistematis pada
setiap kata ke-n, format
tes Uji Rumpang yang
asli biasanya memuat
butir-butir soal dalam bentuk bagian-bagian yang
dibiarkan kosong. Variasi
terhadap format asli
tersebut telah dikembangkan dalam beberapa bentuk lain, seperti:
1) Tes
Uji Rumpang yang
dikerjakan dengan memilih
salah satu jawaban yang telah
disediakan, yang merupakan gabungan dari
format pilihan ganda dan close. Ini dinamakan close pilihan
ganda.
2) Tes Uji Rumpang yang dilakukan secara selektif, tidak
mengikuti rumus
kata ke-n.
Dengan cara ini
kata-kata dihilangkan atas
dasar kriteria tertentu sesuai kebutuhan, misalnya semua
kata depan, semua kata kerja, dan sebagainya.
Dari pendapat
di atas dapat
disimpulkan kembali bahwa,
hubungan antar bagian dalam
wacana merupakan unsur yang penting. Selain adanya hubungan antar bagian wacana
dimungkinkan pula dipaparkannya suatu
isi yang utuh
dan tidak terpisah-pisah.
Penghilangan kata tidak dilakukan pada kalimat pertama dan terakhir dari wacana
yang digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih utuh
tentang latar belakang
dan akhir dari
uji wacana yang
sebagian besar kalimatnya telah
mengalami penghilangan kata, jadi kedua kalimat tersebut dibiarkan utuh seperti
adanya.
2.3.4 Penilaian Teknik Uji Rumpang
Penilaian
terhadap isian rumpang
ditetapkan dengan kriteria
persentase. Sampai saat
ini para ahli
menetapkan dua alternatif
kriteria penilaian untuk kemampuan siswa dalam
mengisi bagian-bagian kata
yang dihilangkan atau dikosongkan. Pertama, penilai hanya
membenarkan jawaban yang sama persis dengan wacana asli. Kata atau jawaban lain
yang tidak tepat, tidak dapat diterima meskipun bila ditinjau
dari sudut makna
tidak mengubah maksud konteks
yang dimaksud. Kedua, penilai
membenarkan jawaban atau kata yang dapat menggantikan kedudukan kata yang
dihilangkan, baik secara
makna, maupun struktur
tidak merusak konteks kalimat yang bersangkutan (Mulyati
dan Harjasujana, 1997:13)
Rankin
dan Cushane dalam Abidin (2010: 111) menetapkan interpretasi hasil Uji Rumpang
sebagai berikut.
1) Jika rata-rata pembaca menjawab dengan benar
kata yang didelisi di atas 60%, wacana tersebut tergolong wacana mudah.
2) Jika rata-rata pembaca menjawab dengan benar
kata yang didelisi berkisar
antara 41%-60%, wacana tersebut tergolong
wacana yang sedang.
3)
Jika rata-rata pembaca menjawab dengan benar kata yang didelisi
kurang dari 40%, wacana tersebut
tergolong wacana yang sulit.
Dilihat
dari sudut bacaannya Teknik Uji Rumpang ini merupakan alat untuk mengukur
keterbacaan wacana. Berdasarkan pengklasifikasian terhadap pembacanya,
dengan patokan yang
sama, dapat diklasifikasikan bahan
bacaaannya. Untuk
klasifikasi skor pertama
(di atas 60%)
artinya wacana itu
tergolong mudah, untuk klasifikasi skor
kedua (antara 41-60%)
berarti wacana itu
tergolong sedang, dan untuk klasifikasi skor ketiga (kurang
dari 40%) berarti wacana itu tergolong sukar.
Lebih lanjut Mulyati dan Harjasujana (1997:
14) mengungkapkan interpretasi yang berbeda. Penetapan interpretasi hasil isian
rumpang berpedoman pada ketentuan berikut.
1) Perolehan
hasil Uji Rumpang di
atas 53,5% tergolong
ke dalam tingkat
independen (mandiri atau bebas).
2) Pemerolehan hasil Uji Rumpang di antara
44,5-53,5% tergolong ke dalam tingkat
instruksional.
3) Pemerolehan
hasil Uji Rumpang
kurang dari 44%
tergolong ke dalam tingkat frustasi atau gagal.
Persentase skor
tes Uji Rumpang
tersebut dapat disajikan
dalam tabel
berikut.
Tabel 2.2
Persentase
skor Teknik Uji Rumpang
Persentase Skor Tes Uji
Rumpang
Tingkat Baca
Di atas 53,5%
independen (mandiri atau bebas)
Antara 44,5-53,5% instruksional
Kurang dari 44% frustasi
atau gagal
Dari uraian
di atas dapat
disimpulkan bahwa penilaian terhadap
tes Uji Rumpang dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, penilaian dilakukan atas dasar kata yang
tepat sama. Dalam
cara ini hanya
jawaban yang tepat
sama dengan kata yang dihilangkan dengan teks asli,
dianggap benar. Kedua, penilaian didasarkan atas ketepatan kontekstual. Dalam
cara ini suatu
kata dianggap sebagai
jawaban yang benar sepanjang kata
itu mengacu pada konteks wacana secara keseluruhan.
2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Teknik Uji Rumpang
Disamping
memiliki beberapa kelebihan, Teknik Uji Rumpang pun memiliki kekurangan. Beberapa hal
yang dipandang sebagai kelebihan dari
Teknik Uji Rumpang ini menurut
Abidin (2010: 112) antara lain:
1) dalam
menentukan keterbacaan suatu wacana,
prosedur ini mencerminkan pola interaksi antara pembaca
dan penulis;
2) pengukuran
keterbacaan dengan teknik
ini, tidak dilakukan
secara terpisah antara teks
dengan pembacanya. Dengan demikian, teknik
ini bukan saja
digunakan untuk menilai keterbacaan, melainkan juga dipakai untuk
menilai pemahaman;
3)
Teknik Uji Rumpang
bersifat fleksibel. Dalam
waktu relatif singkat,
guru akan segera mendapatkan informasi mengenai latar belakang kemampuan
dan kebutuhan siswanya; dan
4) dapat menjangkau sejumlah besar individu
pada saat yang sama.
Di
samping
kelebihan-kelebihan
tersebut, Teknik Uji
Rumpang juga mempunyai
kekurangan antara lain:
1) validitas penggunaan teknik diragukan; dan
2) ketepatan
pengisian bagian-bagian yang
dihilangkan oleh seseorang
belum tentu atas dasar
pemahaman wacana, melainkan
didasarkan atas pola-pola ungkapan yang telah dikenalnya.
Senada dengan
pendapat ahli di
atas, Mulyati dan
Harjasujana (1997: 25) mengungkapkan bahwa “kekurangan Teknik Uji
Rumpang dikaitkan dengan pemahaman tatabahasa, artinya
siswa harus mengenali unsur-unsur tata bahasa yang tepat sebagai bagian dari
pemahaman terhadap suatu wacana yang lengkap”.
Dengan
kata lain siswa dituntut untuk dapat memahami dan mengisi wacana secara utuh
dengan jalan menebak
unsur-unsur tata bahasa
yang harus ditempatkan dalam bagian-bagian kata yang
dihilangkan dalam wacana rumpang tersebut. Maka, dapat disimpulkan
bahwa ketepatan pengisian
bagian-bagian yang dihilangkan
oleh seseorang belum tentu
berdasarkan atas pemahamannya terhadap
wacana tersebut, melainkan
didasarkan atas pola-pola ungkapan yang telah dikenalnya. Selain itu juga,
semakin banyak kata yang dihilangkan dari suatu wacana, maka
semakin sulit pula bagi siswa dalam
menjawab, dan semakin kecil kemungkinannya untuk memperoleh nilai yang baik.
2.4 Hasil Temuan Penelitian Sebelumnya
Berikut ini
merupakan hasil penelitian yang
sudah dilakukan peneliti sebelumnya mengenai penggunaan
Teknik Uji Rumpang dalam proses pembelajaran,
yaitu:
1) Hasil
penelitian yang dilakukan oleh
seorang mahasiswi jurusan
pendidikan bahasa Jerman FPBS
UPI dalam skripsinya yang
berjudul “Efektivitas
Penggunaan Teknik Uji Rumpang dalam Pengajaran Preposisi Bahasa Jerman di
SMA Kartika Siliwangi
tahun ajaran 2007/2008” yang mengemukakan bahwa melalui pembelajaran Teknik
Uji Rumpang efektif
dalam pengajaran preposisi bahasa Jerman, karena terdapat
peningkatan hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari rata–rata
sebelum tindakan adalah
62, setelah tindakan rata-ratanya adalah 79. (Octaviani, 2008:86).
2) Penelitian selanjutnya mengenai Teknik Uji
Rumpang, dilakukan oleh
Ai Sabanah, dalam skripsinya yang
berjudul “Analisis Tingkat Pemahaman
Membaca Menggunakan Teknik Uji
Rumpang Siswa Kelas
V SD Cariwuh Padakembang Tasikmalaya Tahun Ajaran
2003/2004”, dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang
mengemukakan bahwa melalui Teknik Uji Rumpang telah meningkatkan kinerja
siswa baik pada
proses maupun produk
belajar, suasana pembelajaran
menjadi lebih komunikatif. (Sabanah, 2004:72)
2.5 Anggapan Dasar
“Anggapan dasar
adalah sebuah titik
tolak pemikiran yang
kebenarannya diterima
oleh penyidik” (Arikunto, 2002:58). Berdasarkan definisi tersebut
maka anggapan dasar dari penelitian ini adalah:
1) Teknik
pembelajaran memiliki peranan penting
dalam proses belajar mengajar.
2) Teknik
Uji Rumpang adalah salah
satu teknik yang
digunakan untuk
meningkatkan
keterampilan membaca pemahaman wacana bahasa Perancis.
3) Diperlukannya berbagai
macam teknik pembelajaran
menarik yang variatif untuk menarik
minat siswa, yang
memiliki kemampuan beragam dalam pembelajaran.
2.6 Hipotesis
“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di
mana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan” (Sugiyono,
2010:96). Hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1) Teknik
Uji Rumpang efektif
digunakan dalam meningkatkan keterampilan
membaca pemahaman wacana bahasa Perancis siswa kelas XII Bahasa.
2) Terdapat perbedaan signifikan antara prates
dan pascates menggunakan Teknik Uji Rumpang.
KETERBACAAN
PENGERTIAN KETERBACAAN
Keterbacaan adalah sesuai tidaknua suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. ( Tampubolon 1987 : 214 )
Keterbacaan : perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat.(KBBI : 1998)
Keterbacaan adalah keseluruhan unsur bacaan yang memengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh sekelompok pembaca dengan bahan tersebut (Hafni, 2001:13).
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat. (depdikbud : 1998)
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks dengan cepat, mudah dipahami. ( novia, windi : 45 )
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran / kemudahan wacananya (Harjasujana, 1996 : 106).
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972).
Keterbacaan adalah sesuai tidaknua suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. ( Tampubolon 1987 : 214 )
Keterbacaan : perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat.(KBBI : 1998)
Keterbacaan adalah keseluruhan unsur bacaan yang memengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh sekelompok pembaca dengan bahan tersebut (Hafni, 2001:13).
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat. (depdikbud : 1998)
Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks dengan cepat, mudah dipahami. ( novia, windi : 45 )
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran / kemudahan wacananya (Harjasujana, 1996 : 106).
Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972).
Pengertian dan Latar Belakang Sejarah
Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. Bentuk realidability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti “hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya”. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan “keterbacaan” sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, keterbacaan ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan merupakan ukuran tentang
sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat
kesukaran/kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan
bacaan banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan.
Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna terutama bagi
para guru yang mempunyai perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau
bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang layak dibaca.
Tingkat keterbacaan biasanya
dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan
pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang dapat mengetahui kecocokan materi bacaan
tersebut untuk peringkat kelas tertentu, misalnya peringkat enam, peringkat
empat, peringkat sepuluh, dan sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap
masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Klare (1963)
menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada
tahun 900 berkenaan dengan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan
wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan.
Meskipun kajian tentang keterbacaan
itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah
statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti
untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk
menyusun formula yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan
wacana. Menurut Klare (1963) kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya
keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor
yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan.
Dewasa ini sudah ada beberapa
formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan
sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat
kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan mengitung berbagai
variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang
berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjang-pendeknya kalimat
dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan
semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar.
Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud
tergolong wacana yang mudah.
Formula-formula keterbacaan yang
dewasa ini sering digunakan untuk mengkukur keterbacaan wacana, tampaknya
berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. Panjang pendek kalimat dan
kesulitan kata merupakan dua faktor yang utama yang melandasi alat-alat
pengkukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang
mengacu pada kedua faktor-faktor tersebut, misalnya formula keterbacaan yang
dibuat Spache, Dale dan Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
Penggunaan Formula Keterbacaan
Membaca merupakan aktivitas yang pernah dilakukan setiap orang yang tidak buta huruf. Pembaca tidak selalu dapat mengerti apa yang dimaksudkan penulis dalam setiap kalimat atau paragrap dari suatu buku. Bahkan kadang kalimat dan paragraf tersebut tetap merupakan “buku yang tertutup” bagi pembacanya meskipun telah dibaca berulang-ulang.
Krida Laksana dalam Suladi, dkk
(2000:1) menyebutkan bahwa membaca mempunyai arah bagaimana seseorang memahami
informasi melalui kegiatan menggali informasi dari wacana (teks). Menurut
Winarno Surakhmad (1982:85-94), informasi yang terdapat dalam bacaan tersebut
dapat dengan mudah dipahami apabila pembaca memiliki apersepsi (pengetahuan
awal) yang cukup terhadap bahan yang sedang dibaca. Artinya panjang pendek,
sederhana atau kompleksnya kalimat, abstrak atau konkrit bahasa yang dipakai
tidak akan menghambat pemahaman pembaca terhadap suatu bahan bacaan apabila
pembaca mempunyai cukup informasi yang berkaitan tentang hal tersebut. Dengan
demikian semakin sering seseorang melakukan aktivitas baca maka kemampuan
memahami bahan bacaan semakin meningkat.
Adler dan Charles (1987:13-15) mendefinisikan peringkat baca seseorang dalam 4 tingkatan, yaitu: membaca tingkat 1 (membaca dasar), membaca tingkat 2 (inspeksional), membaca tingkat 3 (analisis), dan membaca tingkat 4 (sintopikal/perbandingan).
Membaca tingkat 1 merupakan tingkatan kemampuan membaca yang paling rendah. Tingkat baca ini didapatkan seseorang ketika mulai belajar membaca. Membaca tingkat 2 disebut juga membaca inspeksional. Pada tingkat ini pembaca mampu menemukan sifat umum buku dan mampu memahami apa yang diajarkan dalam buku tersebut. Membaca tingkat 3 adalah membaca analitis. Membaca analitis adalah tingkat membaca yang baik dan lengkap dalam waktu yang terbatas untuk mendapatkan pemahaman.
Pembaca pada tingkat ini mampu mengadakan analisis terhadap apa yang dibacanya. Sedangkan membaca tingkat 4 adalah membaca sintopikal/perbandingan. Pada tingkat ini, pembaca mampu memahami banyak buku, menyusun hubungan berdasarkan subyek tertentu sampai memahami betul subyek itu.
Fry dalam Akhmad dan Yeti (1996:144)
menggolongkan peringkat baca seseorang menjadi peringkat baca 1, 2, 3 sampai
17. Sedangkan Raygor dalam Akhmad dan Yeti (1996:127) menggolongkannya menjadi
peringkat baca 3, 4, 5 sampai 12. Hanik Refiani (2005:28) mengklasifikasikan
kriteria tingkat keterbacaan wacana menggunakan grafik tersebut ke dalam 4
(empat) tingkatan, yaitu sulit, sesuai, mudah, dan invalid. Wacana sulit bila
memiliki tingkat keterbacaan di atas 11; sesuai bila memiliki tingkat
keterbacaan 9, 10, 11; mudah bila di bawah 9; dan invalid bila berada pada
garis arsir hitam.
Seseorang yang memiliki peringkat baca tinggi secara ideal mampu memahami setiap teks/buku yang dibacanya. Namun apabila buku tersebut memiliki tingkat keterbacaan yang tidak sesuai untuk dirinya, ia belum tentu dapat memahami dengan mudah.
Membaca berbeda dengan keterbacaan. Meskipun keduanya terbentuk dari kata dasar baca, namun imbuhan yang mengikutinya menyebabkan keduanya memiliki makna yang berbeda. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Konfiks ke-an pada bentuk “keterbacaan” mengandung arti “hal yang berkenaan dengan apa yang tersebut dalam bentuk dasarnya”. Kita dapat mendefinisikan “keterbacaan” sebagai hal atau ikhwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. “Keterbacaan” ini mempersoalkan tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu, atau dengan kata lain keterbacaan (readability) adalah ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya.
Untuk mengukur bahan bacaan di
kelas-kelas rendah, formula yang lazim dipakai ialah formula keterbacaan dari
spache formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi
dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang rata-rata kalimat dan
persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula-formula itu
telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaan-nya untuk memperkirakan tingkat
keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya
memakai banyak waktu.
Rumus-rumus yang sering digunakan di
kelas-kelas empat sampai kelas enam adalah rumus yang dibuat oleh Dale dan
Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan
rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan panjang kalimat dan ini pun
cukup kompleks dan memakan banyak waktu.
Tingkat keterbacaan diukur dengan formula keterbacaan. Berbagai jenis formula keterbacaan telah diperkenalkan. Grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat keterbacaan yang dianggap praktis dan mudah penggunaannya.
Formula Keterbacaan Fry
Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading” (Akhmad dan Yeti, 1996:113). Formula keterbacaan Fry mengambil seratus kata dalam sebuah wacana sebagai sampel tanpa memperhatikan panjangnya wacana. Jadi, setebal apapun jumlah halaman suatu buku ataupun sepanjang apapun suatu bacaan pengukuran keterbacaan menggunakan formula ini hanya menggunakan seratus kata saja. Angka ini dianggap representatif menurut Fry.
Grafik keterbacaan yang diperkenalkan
Edward Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai
dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading”. Grafik yang
asli dibuat pada tahun 1968.
Formula ini mendasarkan formula
keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat
kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang
membentuk setiap kata dalam wacana tersebut.
Di bagian atas grafik kita dapati
deretan angka-angka seperti berikut: 108,112, 116, 120, dan seterusnya.
Angka-angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata perseratus perkata,
yakni jumlah kata dari wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik
ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini
merupakan salah satu dari 2 faktor utama yang menjadi landasan terbentuknya
formula keterbacaan dimaksud. Di bagian samping kiri grafik kita dapati seeprti
angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah
kalimat perseratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain
dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-pendek
kalimat.
Angka-angka yang berderet di bagian
tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut
menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1
menunjukkan 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level
peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca
3, dan seterusnya hingga universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang
terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah
invalid, maksudnya jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah
gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki
peringkat baca untuk peringkat manapun. Oleh karena itu, wacana yang demikian
sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain.
Prosedur Pengukuran Keterbacaan
dengan Grafik Fry
Petunjuk penggunaan Grafik Fry
(Akhmad dan Yeti, 1996:116-120)
adalah sebagai berikut:
adalah sebagai berikut:
Langkah pertama: Pilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah perkataan. Yang dimaksudkan dengan kata adalah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas. Dengan demikian Budi, IKIP, 2000 masing-masing dianggap kata. Yang dimaksudkan dengan representatif dalam pemilihan wacana ialah peilihan wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Wacana tabel diselingi dengan gambar, kekosongan halaman, tabel, dan atau rumus-rumus yang mengandung banyak akangka-ngak diandang tidak representataif untuk dijadikanwacana sampel.
Langkah kedua: Hitung jumlah kalimat dari seratus
buah perkataan hingga persepuluhan terdekat. Maksudnya, jika kata yang ke-100
(wacana sampel) tidak jatuh diujung kalimat, perhitungan kalimat tidak selalu
utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang
merupakan bagian dari derean kata-kata yang membentuk kalimat. Karena keharusan
pengambilan sampel wacana berpatokan pada ngka 100, maka sisa kata yang termsuk
hitungan keseratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal
(persepuluhan). Misalnya, jika wacana sampel itu terdiri atas 13 kalimat, dan
kalimat terakhir yaitu kalimat ke-13 terdiri dari 18 kata dan kata ke-100 jatuh
pada kata ke-8, kalimat itu dihitung sebagai 8/16 atau 0,5. Sehingga jumlah
seluruh kalimat dari wacana sampel adalah 12 + 0,5 atau 12,5 kalimat.
Langkah ketiga: Hitung jumlah sukukata dari wacana
sampel hingga kata ke-100. Misalnya, sampel wacana hingga kata keseratus
terdiri atas 228 suku kata.
Langkah keempat: Untuk wacana bahasa Indonesia,
Penggunaan Grafik Fry masih harus ditambah satu langkah, yakni mengalikan hasil
peghitungan suku kata dengan akngkan 0,6 (Harjasujana, 1996/1997:123). Karena
itu, angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata.
Langkah kelima: Plotkan angka-angka ityu ke dalam
Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan
baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.
Tingkat keterbacaan ini bersfat
perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh
karena itu, peringkat keterbacaan qwacana hendaknya ditambah satu tingkat dan
dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari
persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data
jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang
diukur tersebut harus diperkirakan denga tingkat keterbacaan yang cocok
untuk peringkat 5 yakni (6 - 1), 6, dan 7 (6 + 1).
Untuk mengukur tingkat keeterbacaan
sebuah buku yang biasanya relatif banyak jumlah halamannya, pengukuran
keterbacaan hendaknya sekurang-kurangnya dilakukan tiga kali percobaan dengan
pemilihan sampel yang berbeda-beda, misalnya wacana bgian awal, tengah, dan
akhir buku.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, selanjutnya hitungkah hasil rta-ratanya. Data hasil rata-rta inilah yang kemudian akan dijadikandsar untuk menentukan tingkat kertebacaan wacana buku tersebut (Harjasujana, 1996/1997:121).
Hal penting yang harus diperhatikan
ketika menggunakan formula ini adalah pengukuran keterbacaan dengan grafik Fry
sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak tiga kali untuk sebuah buku atau tulisan
yang relatif panjang dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Sedangkan untuk
artikel, jurnal, dan surat kabar cukup dilakukan sekali saja kecuali penulisnya
berbeda-beda.
Grafik Fry mengandung kelemahan yang sulit untuk diatasi, oleh karena itu muncullah grafik lain yang mempunyai prinsip-prinsip yang mirip dengan Grafik Fry. Formula keterbacaan yang dimaksud adalah Grafik Raygor yang diperkenalkan oleh Alton Raygor. Formula ini nampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf latin.
Grafik Fry mengandung kelemahan yang sulit untuk diatasi, oleh karena itu muncullah grafik lain yang mempunyai prinsip-prinsip yang mirip dengan Grafik Fry. Formula keterbacaan yang dimaksud adalah Grafik Raygor yang diperkenalkan oleh Alton Raygor. Formula ini nampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf latin.
Formula Keterbacaan Raygor: Grafik
Raygor
Grafik Raygor seperti tampak
terbalik jika dibandingkan dengan grafik Fry. Garis-garis penyekat peringkat
kelas dalam grafik Raygor tampak memancar menghadap ke atas. Posisi yang
demikian itu sesuai dengan penempatan urutan data jumlah kalimat yang
berlawanan pula sisi tempat jumlah suku kata digunakan untuk menunjukkan
kata-kata panjang yang dinyatakan “jumlah kata sulit”, yakni kata yang dibentuk
oleh enam buah huruf atau lebih.
Petunjuk
Penggunaan Grafik Raygor
Langkah-langkah yang harus ditempuh
meliputi:
Langkah pertama: memilih penggalan yang
representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan
mengambil 100 buah kata daripadanya. Kata adalah sekelompok lambang yang kiri
dan kanannya berpembatas. Pengggalan wacana yang representatif artinya memilih wacana
sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan, yaitu wacana tanpa gambar,
grafik, tabel, rumus, maupun kekosongan halaman.
Langkah kedua: Menghitung rata jumlah kalimat
sample pada per sepuluh terdekat.
Langkah ketiga: Menghitung rata-rata jumlah kata
sulit per seratus buah perkataan, yaitu kata-kata yang dibentuk oleh enam huruf
atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di dasari oleh panjang
pendeknya kata. Kata yang termasuk dalam kategori sulit adalah kata yang
tersusun atas enam huruf atau lebih.
Langkah keempat: Mencari titik temu hasil yang
diperoleh dari langkah kedua dan ketiga tersebut ke dalam grafik Raygor
Kelebihan dari penggunaan grafik
Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran keterbacaan wacana dengan
grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran
keterbacaan dengan menggunakan grafik Fry.
Komentar
Posting Komentar