HAKIKAT, TUJUAN, DAN JENIS MEMBACA

HAKIKAT, TUJUAN, DAN JENIS MEMBACA
Hakikat Membaca
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis (Hodgson dalam Tarigan 1979:7). Membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak hanya sekadar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif (Crawley dan Mountain dalam Rahim 2007:2). Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang termasuk di dalam retorika seperti keterampilan berbahasa yang lainnya (berbicara dan menulis) (Haryadi 2007:4).
Secara linguistik, membaca merupakan proses pembacaan sandi (decoding process). Artinya dalam kegiatan membaca ada upaya untuk menghubungkan kata-kata tulis (written word) dengan makna bahasa lisan (oral language meaning). Dengan kata lain Anderson dalam Tarigan (1979:7) mengatakan bahwa kegiatan membaca merupakan kegiatan mengubah tulisan/ cetakan menjadi bunyi-bunyi yang bermakna.
Senada dengan pernyataan di atas, beberapa penulis beranggapan bahwa ‘membaca’ adalah suatu kemampuan untuk melihat lambang-lambang tertulis tersebut melalui fonik menjadi membaca lisan (oral reading) (Tarigan 1979:8). Dalam kegiatan membaca ternyata tidak cukup hanya dengan memahami apa yang tertuang dalam tulisan saja, sehingga membaca dapat juga dianggap sebagai suatu proses memahami sesuatu yang tersirat dalam yang tersurat (tulisan). Artinya memahami pikiran yang terkandung dalam kata-kata yang tertulis. Hubungan antara makna yang ingin disampaikan penulis dan interpretasi pembaca sangat menentukan ketepatan pembaca. Makna akan berubah berdasarkan pengalaman yang dipakai untuk menginterpretasikan kata-kata atau kalimat yang dibaca (Anderson dalam Tarigan 1979:8).
Jadi, membaca merupakan kegiatan mengeja atau melafalkan tulisan didahului oleh kegiatan melihat dan memahami tulisan. Kegiatan melihat dan memahami merupakan suatu proses yang simultan untuk mengetahui pesan atau informasi yang tertulis. Membutuhkan suatu proses yang menuntut pemahaman terhadap makna kata-kata atau kalimat yang merupakan suatu kesatuan dalam pandangan sekilas.

Tujuan Membaca
Tujuan utama membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi dari sumber tertulis. Informasi ini diperoleh melalui proses pemaknaan terhadap bentuk-bentuk yang ditampilkan. Secara lebih khusus membaca sebagai suatu ketrampilan bertujuan untuk mengenali aksara dan tanda-tanda baca, mengenali hubungan antara aksara dan tanda baca dengan unsur linguistik yang formal, serta mengenali hubungan antara bentuk dengan makna atau meaning (Broughton et al dalam Sue 2004:15). Dengan demikian, kegiatan membaca tidak hanya berhenti pada pengenalan bentuk, melainkan harus sampai pada tahap pengenalan makna dari bentuk-bentuk yang dibaca. Makna atau arti bacaan berhubungan erat dengan maksud, tujuan atau keintensifan dalam membaca (Tarigan 1979:9).
Berdasarkan maksud, tujuan atau keintensifan serta cara dalam membaca di bawah ini, Anderson dalam Tarigan (1979:9-10) mengemukakan beberapa tujuan membaca antara lain:
1.      Membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts). Membaca tersebut bertujuan untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan telah dilakukan oleh sang tokoh, untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh sang tokoh.
2.      Membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas). Membaca untuk mengetahui topik atau masalah dalam bacaan. Untuk menemukan ide pokok bacaan dengan membaca halamn demi halaman.
3.      Membaca untuk mengetahui ukuran atau susunan, organisasi cerita (reading for sequenceor organization). Membaca tersebut bertujuan untuk mengetahui bagian-bagian cerita dan hubungan antar bagian-bagian cerita.
4.      Membaca untuk menyimpulkan atau membaca inferensi (reading for inference). Pembaca diharapkan dapat merasakan sesuatu yang dirasakan penulis.
5.      Membaca untuk mengelompokkan atau mengklasifikasikan (reading for classify). Membaca jenis ini bertujuan untuk menemukan hal-hal yang tidak wajar mengenai sesuatu hal (Anderson dalam Tarigan 1979:10).
6.      Membaca untuk menilai atau mengevaluasai (reading to evaluate). Jenis membaca tersebut bertujuan menemukan suatu keberhasilan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Membaca jenis ini memerlukan ketelitian dengan membandingkan dan mengujinya kembali.
7.      Membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast). Tujuan membaca tersebut adalah untuk menemukan bagaimana cara, perbedaan atau persamaan dua hal atau lebih.
Dengan rumusan yang berbeda, Blanton, dkk. serta Irwin yang dikutip oleh Burns dkk. (1996) dalam Rahim (2007:11) menyebutkan tujuan membaca mencakup (1) kesenangan, (2) menyempurnakan membaca nyaring, (3) menggunakan strategi tertentu, (4) memperbaharui pengetahuan tentang suatu topik, (5) mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahui, (6) memperoleh informasi untuk laporan lisan atau tertulis, (7) mengkonfirmasikan atau menolak prediksi, (8) menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks, dan (9) menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik.

Jenis Membaca
Menurut Soedjono dalam Sue (2004:18-21) ada lima macam membaca, yaitu: membaca bahasa, membaca cerdas atau membaca dalam hati, membaca teknis, membaca emosional, dan membaca bebas.
1.      Membaca bahasa
Membaca bahasa adalah membaca yang mengutamakan bahasa bacaan. Membaca bahasa mementingkan segi bahasa bacaan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca bahasa adalah kesesuian pikir dengan bahasa, perbendaharaan bahasa yang meliputi kosa kata, struktur kalimat, dan ejaan.
2.      Membaca cerdas atau membaca dalam hati
Membaca cerdas adalah membaca yang mengutamakan isi bacaan sebagai ungkapan pikiran, perasaan, dan kehendak penulis. Bila hanya ingin mengetahui isinya, membaca cerdas bersifat lugas. Akan tetapi, bial maksudnya untuk memahami dan memilki isi bacaan, maka disebut membaca belajar.
3.      Membaca teknis
Membaca teknis adalah membaca dengan mengarahkan bacaan secara wajar. Wajar maksudnya sesuai ucapan, tekanan, dan intonasinya. Pikiran, perasaan, dan kemauan yang tersimpan dalam bacaan dapat diaktualisasikan dengan baik.
4.      Membaca emosional
Membaca emosional adalah membaca sebagai sarana untuk memasuki perasaan, yaitu keindahan isi, dan keindahan bahasanya.
5.      Membaca bebas
Membaca bebas adalah membaca sesuatu atas kehendak sendiri tanpa adanya unsur paksaan dari luar. Unsur dari luar misalnya guru, orang tua, teman, atau pihak-pihak lain.
Sesuai dengan pengertian jenis-jenis membaca yang telah diuraikan di atas, maka membaca puisi termasuk ke dalam membaca teknis karena membaca puisi harus memperhatikan ucapan, tekanan, dan intonasinya, sehingga dapat mengaktualisasikan pembacaan puisi dengan baik.
Pengertian Membaca

Tampubolon (1993) menjelaskan pada hakekatnya membaca adalah kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan, walaupun dalam kegiatan itu terjadi proses pengenalan huruf-huruf. Dikatakan kegiatan fisik, karena bagian-bagian tubuh khususnya mata, yang melakukannya. Dikatakan kegiatan mental karena bagian-bagian pikiran khususnya persepsi dan ingatan, terlibat didalamnya. Dari definisi ini, kiranya dapat dilihat bahwa menemukan makna dari bacaan (tulisan) adalah tujuan utama membaca, dan bukan mengenali huruf-huruf. Diperjelas oleh pendapat Smith (Ginting, 2005) bahwa membaca merupakan suatu proses membangun pemahaman dari teks yang tertulis. (www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/017-035.pdf ).

Proses membaca menurut Burn, Roe dan Ross (1984) merupakan proses penerimaan simbol oleh sensori, kemudian mengintererpretasikan simbol, atau kata yang dilihat atau mempersepsikan, mengikuti logika dan pola tatabahasa dari kata-kata yang ditulis penulis, mengenali hubungan antara simbol dan suara antara kata-kata dan apa yang ingin ditampilkan, menghubungkan kata-kata kembali kepada pengalaman langsung untuk memberikan kata-kata yang bermakna dan mengingat apa yang merela pelajari dimasa lalu dan menggabungkan ide baru dan fakta serta menyetujui minat individu dan sikap yang merasakan tugas membaca.

Dijabarkan juga oleh Tarigan (1985) bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, suatu metode yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan kadang-kadang orang lain, yaitu mengkomunikasikan makna yang terkandung atau tersirat pada lambang-lambang tertulis. Finochiaro dan Bonomo (Tarigan, 1985) mendefinisikan secara singkat, membaca adalah memetik serta memahamai arti makna yang terkandung di dalam bahan tertulis. 

Sedangkan Juel (Sandjaja, 2005) mengartikan bahwa membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan, sehingga hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan. (www.unika.ac.id.02/05/05)

Spache & Spache (Petty & Jensen, 1980) mengemukakan bahwa membaca merupakan proses yang kompleks yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap dimana individu melakukan pembedaan terhadap apa yang dilihatnya, selanjutnya individu berusaha untuk mengingat kembali, menganalisa, memutuskan, dan mengevaluasi hal yang dibacanya. Sebagai suatu proses yang kompleks, membaca memiliki nilai yang tinggi dalam perkembangan diri seseorang. Secara umum orang menilai bahwa membaca itu identik dengan belajar, dalam arti memperoleh informasi.

Membaca adalah proses berpikir, hal tersebut dikemukakan oleh Burn, Roe dan Ross (1984), maksudnya adalah ketika seseorang sedang membaca, maka seseorang tersebut akan mengenali kata yang memerlukan interpresi dari simbol-simbal grafis. Untuk memahami sebuah bacaan sepenuhnya, seseorang harus dapat menggunakan informasi untuk membuat kesimpulan dan membaca dengan kritis dan kreatif agar dapat mengerti bahasa kiasan, tujuan yang ditetapkan penulis, mengevaluasi ide-ide yang dituliskan oleh penulis dan menggunakan ide-ide tersebut pada situasi yang tepat. Keseluruhan proses ini merupakan proses berpikir.

Chambers dan Lowry (Burn, Roe dan Ross, 1984) menggaris bawahi juga menegasakan hal yang sama bahwa membaca lebih dari sekedar mengenali kata-kata tetapi juga membawa ingatan yang tepat, merasakan dan mendefinisikan beberapa keinginan, mengidentifikasi sebuah solusi untuk memunuhi keinginan, memilih cara alternatif, percobaan dengan memilih, menolak atau menguasai jalan atau cara yang dipilih, dan memikirkan beberapa cara dari hasil yang evaluasi. hal tersebut secara keseluruhan termasuk respon dari berpikir.

Stauffer (Petty & Jensen, 1980) menganggap bahwa membaca, merupakan transmisi pikiran dalam kaitannya untuk menyalurkan ide atau gagasan. Selain itu, membaca dapat digunakan untuk membangun konsep, mengembangkan perbendaharaan kata, memberi pengetahuan, menambahkan proses pengayaan pribadi, mengembangkan intelektualitas, membantu mengerti dan memahami problem orang lain, mengembangkan konsep diri dan sebagai suatu kesenangan.

Ginting (2005) menyebutkan bahwa membaca merupakan proses ganda meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Proses penglihatan dijabarkan oleh Wassman & Rinsky (Ginting, 2005), sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol, oleh karena itu, mata memainkan peranan penting. Dan sebagai proses tanggapan dijabarkan Ahuja (Ginting, 2005), membaca menunjukkan interpretasi segala sesuatu yang kita persepsi. Proses membaca juga meliputi identifikasi simbol-simbol bunyi dan mengumpulkan makna melalui simbol-simbol tersebut. Broughton (Gunting, 2005) mengemukakan membaca merupakan keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi (higher order). (www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/017-035.pdf).

Lebih jauh lagi, Bowman and Bowman (Sugiarto, 2001) mengemukakan bahwa membaca merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Allen dan Valette (Sugiarto, 2001) mengatakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang berkembang (a developmental process). Davies (Sugiarto, 2001) memberikan pengertian membaca sebagai suatu proses mental atau proses kognitif yang di dalamnya seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon terhadap pesan si penulis.  Dari sini dapat dilihat bahwa kegiatan membaca merupakan sebuah kegiatan yang bersifat aktif dan interaktif. (www,depdiknas.go.id/jurnal/37/perbedaan_hasil_belajar_membaca.htm).

Ditegaskan oleh Cole (1963) bahwa membaca mempunyai nilai besar untuk orang dewasa karena berkontribusi pada perkembangan, seperti dapat membebaskan dari tekanan, bekerja dengan penuh inisiatif, mendapatkan informasi untuk memecahkan konflik dan mengenali karakter dengan mudah. Lebih jauh lagi Cole (1963) menjelaskan bahwa membaca dapat juga menimbulkan rasa aman dan merealisasikan diri dalam kehidupan pribadi seperti hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan kelompok, perubahan sikap, ide-ide baru serta semakin menghargai bebagai aktivitas dalam kehidupan.

Berbagai pengertian membaca telah dipaparkan diatas, dan dapat disimpulkan bahwa membaca adalah kegiatan fisik dan mental, yang menuntut seseorang untuk menginterpretasikan simbol-simbol tulisan dengan aktif dan kritis sebagai pola komunikasi dengan diri sendiri agar pembaca dapat menemukan makna tulisan dan  memperoleh informasi sebagai proses transmisi pemikiran untuk mengembangkan intelektualitas dan pembelajaran sepenjang hayat (life-long learning).
Pengertian Membaca
October 06, 2010   Deni Arisandi
Membaca adalah salah satu dari empat keterampilan berbahasa. Dalam kegiatan membaca, kegiatan lebih banyak dititikberatkan pada keterampilan membaca daripada teori-teori membaca itu sendiri.
Henry Guntur Tarigan menyebutkan tiga komponen dalam keterampilan membaca, yaitu:
  1. Pengenalan terhadap aksara-aksara serta tanda-tanda baca.
  2. Korelasi aksara beserta tanda-tanda baca dengan unsur-unsur linguistik yang formal.
  3. Hubungan lebih lanjut dari A dan B dengan makna.1
Setiap guru bahasa haruslah menyadari serta memahami benar-benar bahwa membaca adalah suatu metode yang dapat dipergunakan untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri dan kadang-kadang dengan orang lain yaitu mengomunikasikan makna yang terkandung atau tersirat pada lambang-lambang tertulis.
Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa “Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis”2. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat dan yang  tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik.
Membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk memahami yang tersirat dalam yang tersurat, yakni memahami makna yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis. Makna bacaan tidak terletak pada halaman tertulis tetapi berada pada pikiran pembaca. Demikianlah makna itu akan berubah, karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang dipergunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut.
Dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan pembacaan sandi (a recording and decoding process), berlainan dengan berbicara dan menulis yang justru melibatkan penyandian (encoding). Sebuah aspek pembacaan sandi (decoding) menghubungkan kata-kata tulis (written word) dengan makna bahasa lisan (oral language meaning) yang mencakup pengubahan tulisan / cetakan menjadi bunyi yang  bermakna. Membaca merupakan suatu penafsiran atau interpretasi terhadap ujaran yang berada dalam bentuk tulisan adalah suatu proses pembacaan sandi (decoding process).
Membaca adalah suatu proses yang bersangkut paut dengan bahasa. Oleh karena itu maka para pelajar haruslah dibantu untuk menanggapi atau memberi responsi terhadap lambang-lambang visual yang menggambarkan tanda-tanda oditori dan berbicara haruslah selalu mendahului kegiatan membaca.
Harimurti Kridalaksana mengatakan “Membaca adalah menggali informasi dari teks, baik yang berupa tulisan maupun dari gambar atau diagram maupun dari kombinasi itu semua”3
Soedarso berpendapat bahwa “Membaca adalah aktivitas yang kompleks dengan mengerahkan sejumlah besar tindakan yang terpisah-pisah, meliputi orang harus menggunakan pengertian dan khayalan, mengamati, dan mengingat-ingat”4.
DP. Tampubolon berpendapat bahwa “Membaca adalah kegiatan fisik dan mental yang dapat berkembang menjadi suatu kebiasaan”5.
Bahkan ada pula beberapa penulis yang beranggapan bahwa membaca adalah suatu kemauan untuk melihat lambang-lambang tertulis serta mengubah lambang-lambang tertulis tersebut melalui suatu metode pengajaran membaca seperti fonik (ucapan, ejaan berdasarkan interpretasi fonetik terhadap ejaan biasa) menjadi membaca lisan.
Demikianlah makna itu akan berubah, karena setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang dipergunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut.
Tujuan Membaca
Tentu ada banyak sekali manfaat yang dapat dipetik seseorang darikegiatan membaca, yang paling umum, manfaat yang dapat dirasakanketika membaca buku adalah dapat belajar dari pengalaman orang lain atau dapat menambah pengetahuan. Manfaat khusus dari kegiatanmembaca adalah bahwa orang yang rajin membaca buku dapat terhindardari kerusakan jaringan otak dimasa tua. Hal ini menurut riset mutakhirbahwa membaca buku dapat membantu seseorang untuk menumbuhkansyaraf-syaraf baru di otak.20Menurut Jordan E. Ayan bahwa manfaat membaca buku berdampakbagi perkembangan sebagian besar jenis kecerdasan. Diantaranya adalah :1) Membaca menambah kosakata dan pengetahuan akan tatabahasa dansintaksis yang lebih penting lagi, membaca pemperkenalkan padabanyak ragam lingkungan kreatif. Sehingga mempertajam kepekaanlinguistik dan kemampuan menyatakan perasaan.2) Membaca buku secara langsung dapat membantu mengalami perasaandan pemikiran yang paling dalam. Banyak buku dan artikel yangmengajak untuk berintropeksi dan melontarkan pertanyaan seriusmengenai perasan nilai dan hubungan dengan orang lain. Denganbegitu, secara tak langsung turut memperkembangkan kecerdasaninterpersonal, mendesak untuk merenungkan kehidupan danmempertimbangkan kembali keputusan-keputusan akan cita-cita hidup3) Membaca memicu imajinasi, buku yang baik mengajarkan untukmembayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian,lokasi dan karakternya. Bayangan yang terkumpul dari tiap buku atau artikel ini melekat dalam pikiran, dan sering waktu berlalu,membangun sebuah bentang jaringan ide dan perasaan yang menjadidasar metafora yang ditulis, gambar yang dibuat, bahkan tulisan yangditulis.
4) Membaca bahan bacaan umumnya “Memaksa” nalar, pengurutanketeraturan dan pemikiran logis untuk dapat mengikuti jalan ceritaatau memecahkan suatu misteri. Dengan demikian, akan semakinmemperkukuh kecerdasan matematis, logis yang dimiliki. 21Membaca hendaknya mempunyai tujuan, karena seseorang yangmembaca denga suatu tujuan, cenderung lebih memahami dibandingkandengan orang yang tidak mempunyai tujuan. Dalam kegiatan membaca dikelas, guru seharusnya menyusun tujuan membaca dengan menyediakantujuan khusus yang sesuai atau dengan membantu mereka menyusuntujuan membaca siswa itu sendiri.Tujuan membaca mencakup :1) Kesenangan,2) Menyempurnakan membaca nyaring,3) Menggunakan strategi tertentu,4) Pemperbaharui pengetahuannya tetang suatu topik,5) Mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahui,6) Memperoleh informasi untuk laporan lisan tertulis, 7) Mengkorfimasikan atau menolak prediksi,8) Menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yangdiperoleh dari suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajaritentang struktur teks,9) Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik (blanton, dkk. Danirwin dalam burns dkk., 1996)

Tujuan utama dalam membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Makna, arti (meaning) erat sekali berhubungan dengan maksud tujuan, atau intensif kita dalam membaca.
Henry Guntur Tarigan mengemukakan tujuan membaca adalah sebagai berikut:
  1. Membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts).
  2. Membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas).
  3. Membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization).
  4. Membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference).
  5. Membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify).
  6. Membaca menilai, membaca evaluasi (reading to evaluate).
  7. Membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast)6.
Membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta misalnya untuk mengetahui penemuan-penemuan yang telah dilakukan oleh sang tokoh; apa-apa yang telah dibuat oleh sang tokoh; apa yang telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh sang tokoh.
Membaca untuk memperoleh ide-ide utama misalnya untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topik yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang dipelajari atau dialami sang tokoh, dan merangkum hal-hal yang dilakukan oleh sang tokoh untuk mencapai tujuannya.
Membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita seperti menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada setiap bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula pertama, kedua, dan ketiga/seterusnya. Setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu masalah, adegan-adegan dan kejadian buat dramatisasi.
Membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi seperti menemukan serta mengetahui mengapa para tokoh merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak diperlihatkan oleh sang tokoh berubah, kualitas-kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal.
Membaca untuk mengelompokkan atau mengklasifikasikan misalnya untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak wajar mengenai seseorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita itu benar atau tidak benar.
Membaca menilai, membaca mengevaluasi seperti untuk menemukan apakah sang tokoh berhasil atau hidup dengan ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti cara sang tokoh bekerja dalam cerita itu.
Membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan dilakukan untuk menemukan bagaimana caranya sang tokoh berubah, bagaimana hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita mempunyai persamaan, bagaimana sang tokoh menyerupai pembaca.
Nurhadi berpendapat bahwa tujuan membaca adalah sebagai berikut:
  1. Memahami secara detail dan menyeluruh isi buku.
  2. Menangkap ide pokok atau gagasan utama secara tepat.
  3. Mendapatkan informasi tentang sesuatu.
  4. Mengenali makna kata-kata.
  5. Ingin mengetahui peristiwa penting yang terjadi di masyarakat sekitar.
  6. Ingin memperoleh kenikmatan dari karya sastra.
  7. Ingin mengetahui peristiwa penting yang terjadi di seluruh dunia.
  8. Ingin mencari merk barang yang cocok untuk dibeli.
  9. Ingin menilai kebenaran gagasan pengarang.
  10. Ingin memperoleh informasi tentang lowongan pekerjaan.
  11. Ingin mendapatkan keterangan tentang pendapat seseorang (ahli) tentang definisi suatu istilah.7

  Tujuan Membaca

Banyak dari para ahli pada bidang membaca berpendapat bahwa pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada tujuan dalam pembelajaran membaca menetapkan dasar yang paling baik yang dapat dilaksanakan untuk mendemonstrasikan akuntabilitas atau pertanggungjawaban dalam kegiatan membaca.
 Taringan (1985: 2-17) mengemukakan Secara garis besar kegiatan membaca mempunyai dua maksud utama, yaitu:
a.        Tujuan behavioral, yang disebut juga tujuan tertutup, atau tujuan intruksional.
Pendekatan yang berorientasi pada pada tujuan dalam pembelajaran membaca menekankan kepada beberapa bentuk tujuan yang ada kaitannya dengan perilaku siswa (Taringan 1985: 8). Lalu Montague dan Buts di dalam (Taringan 1985: 8) menambahkan bahawa tujuan behavioral adalah sasaran atau hasil yang diinginkan dari proses belajar, yang jelas-jelas dinyatakan oleh perilaku atau penampilan siswa yang dapat diamati. Tujuan behavioral ini biasanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan membaca:
1)      Memahami makna kata (word attack)
2)      Keterampilan-keterampilan studi (study skliis)
3)      Pemahaman (comprehension).
b.      Tujuan ekspresif atau tujuan terbuka
Tujuan ekspresif ini sangat berbeda dengan tujuan behavioral atau tujuan inruksional. Tujuan ekspresif  tidaklah menentukan perilaku yang dapat oleh sang siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
Di dalam tujuan ekspresif terkandung dalam kegiatan-kegiatan:
1)      Membaca untuk pengarahan diri (self-directed reading)
2)      Membaca penafsiran, membeca interpretativ (interpretative reading),
3)      Membaca kreatif (creative reading)
Di dalam tujuan membaca, dibedakan antara istilah initial reading dengan advance reading. Initial reading adalah membaca untuk mengerti bunyi (reading for sound). Sedangkan advance reading adalah membaca untuk mengerti (reading for meaning) (Mara’at 2009: 80,81).
a.       Membaca untuk Mengerti Bunyi
Di dalam initial reading, merupakan kegiatan pengenalan fonem pada pelajar pemula biasanya anak-anak, pada tahapannya pembaca harus mengenal fonem kemudian menggabungkan (blending) beberapa fonem menjadi suku kata atau kata.
b.      Membaca untuk Mengerti Arti (Advanced Reading)
Seperti kita ketahui membaca merupakan suatu proses mengetahui makna, kemudia urutan proses yang dilalui adalah dari bahasa tulisan – pencatatan (recording) – langsung ke makna (meaning). Beberapa ahli mengemukakan bahwa dalam membaca terjadi transformasi langsung dari bahasa tulis ke makna (pengertian), karena pengertian yang ditangkap dari teks lebih dibimbing oleh konseptual manusia dari pada oleh kata-kata yang tertulis dalam teks, namun beberapa ahli mengemukakan bahwa proses membaca tergantung pada sifat tulisan (Ma’rat, 2009: 83).


4 Kelompok Tujuan Membaca

Posted by admin
Sebelum mulai membaca, sangat penting untuk membuat tujuan. Tujuan membuat pikiran kita jelas apa yang ingin kita capai dari proses membaca. Tanpa sebuauh tujuan, kita akan kehilangan arah dan tidak menyelesaikan buku yang kita baca. Jika meninjau dan mengumpulkan semua contoh tujuan membaca, kita bisa mengelompokkan menjadi 4 tujuan besar. Yang mana setiap kelompok tujuan ini membutuhkan analisa, konsentrasi, kecepatan dan pemahaman yang berbeda satu sama lain. Setiap tujuan yang berbeda juga membutuhkan strategi dan pendekatan yang berbeda.
Empat tujuan membaca ini adalah:
  1. Membaca untuk kesenangan
  2. Hobi dan ketertarikan pribadi
  3. Membaca untuk belajar
  4. Menguasai sebuah keahlian
Sekarang kita lihat satu per satu.

Membaca untuk Kesenangan
Membaca untuk kesenangan atau kenikmatan adalah ketika kita membaca dengan lambat, menikmati proses dan ceritanya. Umumnya ini digunakan untuk membaca buku fiksi atau buku novel. Tentu tidak menyenangkan jika sebelum mengetahui prosesnya, Anda sudah mengetahui akhir dari sebuah cerita. Kita tentu ingin mengimajinasikan apa yang kita baca, menikmati bayangan-bayangan yang dilukiskan penulis dalam kata-katanya.
Kita tidak bisa menikmati proses membaca jika kita memutar sebuah film dengan kecepatan tinggi. Kita akan kehilangan unsur emosinya dalam membaca. Dalam sistem bacakilat, apakah kita bisa menikmati proses membaca?
Jika kita membaca dengan sistem bacakilat, pertama kita membuat tujuan, lalu bacakilat dan diikuti dengan baca ekspres untuk menikmati proses membaca. Dengan mendahuluinya dengan membacakilat, kita membuat pikiran bawah sadar familiar sehingga kita bisa menggunakan imajinasi dengan lebih efektif.
Membaca ekspres artinya kita mengatur kecepatan yang mana kita bisa mempercepat di area tertentu dan memperlambat di area lain. Dengan megatur kecepatan seperti ini, membuat fokus kita selalu pada proses membaca. Dan bisa menikmati proses membaca dengan baik. Hal-hal yang ingin Anda nikmati lebih dekat dan detil, perlambatlah sambil melibatkan imajinasi Anda. Sedangkan informasi yang tidak terlalu menarik perhatian Anda, Anda percepat tanpa kehilangan inti dari informasi itu.

Tips untuk menikmati majalah dan koran.
Untuk menikmati dan mengingat informasi yang ada di koran atau majalah, kita perlu mempersiapkan pikiran kita untuk menyimpan informasi berdasarkan awal pertanyaan: Apa, Mengapa, Di mana, Bagaimana, Siapa, Kapan. Karena para wartawan umumnya menggunakan patokan ini untuk menuliskan naskah atau artikel. Dengan menggunakan pegangan ini kita bisa menemukan informasi yang penting dalam artikel.

Membaca hobi dan ketertarikan pribadi
Membaca hal yang Anda senangi membutuhkan sedikit proses pembelajaran. Berbeda dengan proses membaca untuk menikmati kita tidak membutuhkan proses pembelajaran apa-apa, hanya untuk menikmati. Namun, tidak ada yang akan menguji pemahaman Anda kecuali diri Anda sendiri. Anda perlu melakukan proses membaca yang tidak hanya sekali baca. Namun, beberapa kali membaca dengan berbagai pendekatan, sehingga Anda bisa mencerna dan menjalankan hobi Anda dengan baik.
Pertama, tentukan tujuan Anda membaca buku. Lalu Anda bisa menggunakan bacakilat untuk menyerap dan memproses informasi ini satu halaman per detik untuk mempermudah langkah membaca selanjutnya. Atau jika tidak pun, Anda bisa melanjutkan ke langkah selanjutnya yaitu membangun rasa penasaran dan membuat pikiran kita familiar dengan struktur buku.
Lalu mulai mencari inti informasi dengan langkah memindai menjelahi. Menemukan inti informasi yang termasuk dalam 4-11%. Dan menandai atau lebih bagus lagi langsung mencatatnya dalam mindmap Anda.
Anda bisa kembali membaca bagian yang Anda tandai itu atau membaca kembali mindmap Anda untuk mengingatkan proses penting yang Anda butuhkan.

Membaca untuk mempelajari
Proses pembelajaran membutuhkan Anda memahami informasi yang bisa saja Anda tidak butuhkan setelah suatu proses selesai. Belajar bisa jadi karena ada sebuah tujuan yang ingin kita capai untuk proses pekerjaan atau karena diminta oleh orang yang ada di atas kita. Bukan informasi yang menjadi perhatian kesenangan kita.
Mulai belajar dengan sebuah tujuan, lalu awali dengan bacakilat. Dan saat melakukan review, kita tidak hanya mengajukan pertanyaan ke judul dan subjudul, kita juga menarik sedikit pikiran kita untuk mengetahui bagian subjudul ini membahas tentang apa. Jangan lebih dari 15 menit untuk memahami bagian mana menjelaskan tentang apa.
Banyak yang menyamakan membaca sama dengan belajar. Sehingga besar keinginan membaca sekali langsung kita memahami apa yang kita baca. Belajar adalah memahami dan mengingat. Membaca adalah memasukkan informasi ke pikiran kita. Membaca harusnya menjadi bagian paling sedikit dalam proses pembelajaran. Kita perlu menemukan di mana kita harus menerapkan proses belajar, untuk memahami dan mengingat. Jadi segera temukan bagian yang perlu kita dalami, tandai dan kembali membaca untuk mengingat dan memahami di langkah selanjutnya. Dan ingat selalu untuk membuat mind map dari apa yang harus dipahami dan diingat.

Membaca untuk menguasai sebuah keahlian
Seorang dokter tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya setelah ia membuka luka operasi. Seorang pilot tidak tahu di mana dan cara untuk mendarat. Setiap ahli harus mengetahui dan menguasai sebuah keahlian dengan baik untuk bisa menerapkannya dengan baik demi kepentingan diri sendiri dan orang lain.
Untuk menguasai sebuah keahlian, porsi membaca adalah porsi yang paling kecil. Di sini kita perlu memulai dengan tujuan yang tepat dan spesifik. Semakin spesifik sebuah tujuan, semakin baik hasil yang kita dapatkan. Lakukan bacakilat dua kali untuk memproses informasi dan membiarkannya berada dalam pikiran bawah sadar Anda, yang mana itu adalah gudang informasi Anda.
Nah, mulai lah dengan review, bertanya, membangun rasa penasaran, memahami struktur buku dan mengetahui apa yang dibahas pada bagian tersebut, dan jangan habiskan waktu yang banyak cukup 15 menit untuk proses ini.
Gunakan memindai menjelajahi untuk menemukan mana informasi yang harus Anda dalami dan kuasai. Tandai, mindmapping dan kembalilah untuk proses memahami, mengingat dan menguasai.
Proses pembelajaran membutuhkan kita menggali lapis demi lapis untuk menyelami dan memahami apa yang kita butuhkan.

A. Definisi Hakikat Membaca
Kelahiran suatu teori membaca tidaklah muncul begitu saja. Kehadirannya merupakan hasil kerja keras dari ahli atau sarjana yang mengkaji masalah membaca itu dalam waktu relatif lama, dan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Akibatnya, dalam sejarah perkembangan studi membaca dan pengajaran membaca terdapat bermacam-macam teori membaca yang bukan saja berbeda satu dengan yang lainnya, melainkan juga ada yang berlawanan. Namun pada dasarnya membaca itu merupakan suatu proses yang kompleks.
Ada tiga kelompok yang mendefinisikan tentang hakikat membaca :
a. Kelompok pertama dengan tokohnya Frank Jennings (1965) membuat definisi membaca sebagai tafsiran terhadap pengalaman secara umum, selain itu membaca biasanya akan dimulai dengan pengenalan terhadap peristiwa yang berulang-ulang datang, seperti matahari dan bulan yang terbit setiap hari.
b. Kelompok kedua dengan Rudolf Flesch (1995) sebagai tokohnya mendefinisikan membaca sebagai kegiatan memperoleh makna dari berbagai gabungan huruf, seperti seorang anak yang diajari mengenal makna yang dimiliki oleh setiap huruf akan sampai pada kemampuan membaca.
c. Kelompok ketiga dengan Ernest Horn (1937) sebagai tokohnya mendefinisikan membaca sebagai kegiatan yang meliputi berbagai proses penyempurnaan dan pelestarian makna melalui penggunaan media alat tulis.
Berikut beberapa fungsi teori membaca :
· Pertama, suatu teori membaca dalam kelebihan dan kekurangan banyak sekali membantu pihak yang bermaksud mempelajari masalah membaca dan pengajaran membaca untuk memperoleh gambaran tertentu apa yang disebut membaca.
· Kedua, khusus bagi pembina pengajaran membaca, suatu teori tentang membaca sangat diperlukan dalam membina dan melaksanakan tugas pembinaan kemampuan siswa dalam membaca.
· Ketiga, mereka yang bermaksud melaksanakan suatu penelitian tentang masalah membaca dan pengajaran membaca, suatu teori membaca mutlak dibutuhkan.
B. Pendekatan Dalam Membaca
Pendekatan yang diterapkan dalam studi membaca untuk menghasilkan teori membaca berkisar pada tiga macam pendekatan, yaitu :
- Pendekatan Konseptual
Meliputi bermacam-macam metodologi pendekatan kesemuanya berangkat dari suatu konsepsi tentang membaca dan berkesudahan dengan suatu model tertentu tentang proses membaca.
- Pendekatan Empirikal
Mencakup bermacam-macam pendekatan yang bertolak dari pengalaman serta penghayatan proses membaca, baik dari penyusunan teori itu sendiri maupun dari orang-orang lain yang dijadikan subjek penelitian.
- Pendekatan Eksperimental
Meliputi berbagai macam pendekatan yang kesemuanya berangkat dari suatu eksperimen tertentu yang ditujukan terhadap seperangkat perilaku membaca yang dapat diamati, dikaji, dan kemudian dianalisis untuk disimpulkan menjadi suatu teori membaca tertentu.
Tokoh Perintis dalam pendekatan konseptual ialah Kennet S. Goodman. Menurut pandangannya, proses membaca pada hakikatnya adlah proses komunikasi, yaitu komunikasi antara pembaca dengan turunan tertulis (bacaan) yang dibacana. Namun pendekatan tersebut direvisi karena disadari banyak kelemahannya. Sebagai penggantinya dipakailah teori Transformasi Generatif temuan Noam Chomsky sebagai acuan kerjauntuk memberikan proses membaca dalambentuk suatu model yang dikenal sebagai modal membaca Goodmen (The Godman Model Of Reading). Model ini menekankan bahwa membaca pada hakikatnya adalah seperangkat proses recording, decoding, dan encoding yang berakhir pada pemahaman atau komprehensif.
Teori membaca yang memanfaatkan pendekatan empirikal banyak ragamnya.
a) Teori yang memandang membaca sebagai proses berpikir
b) Teori yang memandang membaca sebagai perangkat keterampilan
c) Teori yang menganggap membaca sebagai kegiatan visual
d) Teori yang menganggap membaca sebagai pengalaman bahasa
Pendekatan ketiga adalah pendekatan eksperimental. Teori yang dimanfaatkan sebagai landasan eksperimental adalah teori yang memandang membaca sebagai proses atau kegiatan menangkap makna dari bacaan. Beberapa penemuan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengajaran membaca :
Ø Penemuan – penemuan proses mempersepsi makna, yang meliputi :
- Persepsi atau pemahaman akan makna materi bacaan,
- Menganalisis pola bentukan bahasa bacaan
- Persepsi yang kuat atau baik terhadap makna bahasa bacaan sebagai hasil menghayati dan menganalisis bahasa bacaan itu akan membuat pembaca memiliki ingatan yang baik pula terhadap makna bacaan itu
Ø Penemuan-penemuan mengenai pembentukan konsep, dalam membaca yaitu makna simbolik tentang hal-hal yang direspon pembaca dari bacaan, meliputi :
- Persepsi yang baik terhadap makna bahasa bacaan dan menghasilkan konsep yang baik pula tentang makna bahasa bacaan itu,
- Konsep yang abstrak sifatnya tentang makna material bahasa bacaan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang konkrit dan tingkat intelegensi pembaca,
- Pengembangan konsep tentang makna bahasa bacaan dapat dibina dengan menyiapkan program pengajaran membaca yang baik.
Ø Penemuan-penemuan mengenai penerapan penguasaan bahasa pembac dalam proses memahami makna pada waktu pembaca, yang meliputi :
- Jumlah kosa kata yang dikuasainya
- Luas dan dalamnya ragam makna kata yang dikuasainya
- Mapannya penguasaan terhadap kaidah-kaidah bahasa
- Baiknya penguasaan tentang tata penulisan bahasa.
C. Pokok Pikiran Tentang Membaca
Berikut adalah pokok-pokok pikiran tentang membaca :
a. membaca adalah suatu proses ya g sangat rumit dan unik sifatnya. Kerumitanya terutama terletak pada banyaknya serta beraneka ragamnya faktor yang bekerja dalam proses membaca itu, dan bertautnya faktor yang satu dengan yang lainnya. Keunikannya terletak pada relatif berbedanya proses membaca itu berlangsung pada setiap pembaca
b. proses membaca berlangsung sebagai bentuk respon pembaca terhadap tuturan tertulis (bacaan) yang menstimulasinya. Respon membaca ini bukanlah respon pasif, melainkan respon aktiv yang mengandung tingkat kesadaran tertentu.
c. Bacaan sebagai stimulant, dalam wajah permukaanya berupa paparan bahasa tulis yang tersusun dari materi bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat), tertata dalam tata tuturan tertentu, dan tertulis menurut tata penulisan yang berlaku.
d. Respon aktiv pembaca yang berupa proses membaca mencakup berbagai kegiatan mental yang secara keseluruhan merupakan kegiatan mengolah bacaan itu. Dalam kegiatan ini pembaca melakukan kegiatan berfikir dan bernalar, menerapkan berbagai kemampuan intelektual dan strategi kognitifnya dalam rangka membentuk persepsi dan konsep-konsep, merekonstruksi, makna bacaan, dan menentukan kualitas, nilai, dan dampak makna bacaan itu. Dalam keseluruhan kegiatan ini, pembaca banyak sekali memanfaatkan ciri-ciri dan kunci-kunci penunda makna paparan bahasa bacaan untuk memprediksi, menginterpretasi, dan mengkonfirmasi makna yang tepat. Selain itu, juga dengan banyak dimanfaatkan nya pengetahuan serta pengalaman yang telah dimilikinya
e. Kelancaran dan keberhasilan pembaca dalam membaca dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari diri pembaca sendiri (faktor dalam ) maupun yang berasal dari luar dirinya (faktor luar ). Intelegensi, sikap, penguasaan bahasa, perbedaan kelamin pada usia muda, dan perbedaan logatnya dengan bahasa bacaan adalah beberapa faktor luar yang ikut berperan meliputi kondisi bacaan, baik bahasanya, isinya dan tingkat keterbacaannya, maupun kesesuaian bacaan itu dengan daya tangkap pembaca. Selain itu, keadaan status sosial ekonomi dan pengajaran membaca terutama peran guru yang membinanya adalah faktor luar yang tidak kecil pengaruhnya. Apapun bentuk, jenis dan sifat faktor yang berpengaruh, kelancaran dan keberhasilan dalam membaca dapat dibina secara formal melalui pengajaran membaca yang dirancang, di programkan serta dilaksanakan dengan baik.

Proses membaca

Membaca bukanlah merupakan proses yang pasif melainkan aktif. Artinya seorang pembaca harus dengan aktif berusaha menangkap isi bacaan yang dibacanya  tidak boleh hanya menerimanya saja. Oleh karena itu ada orang yang mengibaratkan proses membaca itu bagaikan proses menangkap bola  dalam sebuah permainan sepak bola, dan bukannya proses menerima bingkisan lebaran
  Sebagaimana kita maklumi seorang pemain sepak bola yang baik  harus memperhatikan gerakan-gerakan bola yang ditendang, baik oleh kawan maupun lawan main. Terkadang dia harus lari, lompat untuk dapat menangkap bola. Bola yang didapat kemudian digiring, bila perlu dioperkan kepada kawan dulu kemudian dimasukkannya dalam gawang. Begitu pula halnya dengan  kegiatan membaca. Pembaca harus berusaha menangkap pesan yang terdapat dalam bacaannya secara aktif, setelah itu memahami lebih lanjut isi yang terdapat di dalamnya, dan kalau perlu mengomentarinya. Jadi tidak begitu saja menerima seluruh pesan  yang disampaikan seperti halnya saat menerima bingkisan lebaran tadi.
  Selanjutnya proses membaca juga tidak selamanya identik dengan proses mengingat. Membaca bukan harus hafal kata demi kata atau kalimat demi kalimat yang terdapat dalam bacaan. Yang lebih penting ialah menangkap pesan atau ide pokok  bacaan dengan baik.

a.   Membaca sebagai suatu proses psikologis
Yang dimaksud dengan membaca sebagai proses psikologis yakni bahwa kesiapan dan kemampuan membaca seseorang itu dipengaruhi serta berkaitan erat dengan faktor-faktor yang bersifat psikis seperti  motivasi, minat, latar belakang sosial ekonomi, sertaa oleh tingkat perkembangan dirinya, seperti intelegansi dan usia mental  (mental age).

b.  Membaca sebagai proses sensoris
Membaca itu pada awalnya merupakan proses sensoris, yakni dimulai dari melihat (bagi mereka yang matanya normal) atau meraba (bagi mereka  yang tuna netra).  Stimulus masuk lewat indera penglihatan, mata. Pada tingkat awal anak-anak  menunjukkan kemampuan yang secara umum sekali disebut membaca. Pada saat permulaan itu anak mulai sadar bahwa  tanda dan lambang tentu menunjukkan nama atau benda. Kemudian mereka belajar bahwa jika lambang-lambang tersebut itu dirangkai-rangkaian maka akan tersusunlah suatu pembicaraan.
Kapankah anak-anak telah memiliki kesiapan penglihatan untuk memulai membaca buku? Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya anak mempunyai kesiapan penglihatan untuk membaca pada usia 5-6 tahun. Pada usia tersebut anak dianggap telah memiliki kompetensi koordinasi binakular, persepsi yang dalam pemfokusan pengaturan dan pengubahan perasaan secara bebas. Akan tetapi pada usia tersebut karena anak merupakan pribadi-pribadi dengan pola kepribadian yang berbeda dalam pertumbuhan dan perkembangannya dan kita harus memiliki pengetahuan-pengtahuan yang layak tentang hal-hal yang pantas diperhatikan.

c.   Membaca sebagai proses perseptual
Proses perseptual dalam membaca mempunyai kaitan yang erat dengan proses sensoris. Oleh karena itu kita   harus waspada untuk tidak mempertukarkannya. Seperti halnya dalam proses sensoris, secara umum persepsi dimulai dari melihat, mendengar, mencium, mengecap, dan meraba. Namun demikian dalam proses membaca cukup hanya memperhatikan kedua hal yang pertama, yakni melihat dan mendengar.
Vernon (1962) memberikan penjelasan bahwa proses perseptual dalam membaca itu terdiri atas empat bagian:
·         kesadaran akan rangsangan visual;
·         kesadaran akan persamaan pokok untuk mengadakan klasifikasi umum kata-kata;
·         klasifikasi lambang-lambang visual untuk kata-kata yang ada di dalam kelas yang umum;
·         identifikasi kata-kata yang dilakukan dengan jalan menyebutkannya.

Meskipun Vernon bermaksud memperuntukan langkah-langkah tersebut untuk visual namun dapat juga diterapkan pada persepsi auditoris. Untuk mengembangkan kemampuan membacanya anak harus pula dapat memodifikasi dan menghubungkan pengalamannya dengan stimulus-stimulus yang ada dalam konteks dan lingkungan yang sedang dilaminya. Dengan kata lain pada setiap anak haruslah terjadi semacam mediasi atau pengalihan pengalaman.
Persepsi seorang anak dalam membaca berpengaruh dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang banyak jumlahnya. Antara lain oleh kebudayaan, pengalaman, emosi, kematangan bahkan kepribadian anak  yang bersangkutan. Dengan demikian seyogyanyalah anak-anak sudah terlebih dahulu memiliki banyak pengalaman sebelum dirinya pertama kali mengenal huruf, kata dan kalimat dalam wacana. Semakin luas dan bervariasi pengalaman seorang anak akan semakin luas dan semakin terbuka kesempatan baginya untuk mengembangkan konsep-konsep dan memperbaiki pesepsinya.
Jenis Membaca

Menurut Tarigan (1984:11) jenis membaca tampak seperti pada bagan berikut.
Membaca terdiri atas : a). membaca nyaring dan b). membaca dalam hati.
Membaca dalam hati, terdiri atas : 1). membaca ekstensif dan 2). membaca intensif.
Membaca Ekstensif, terdiri atas : membaca survey, membaca sekilas dan membaca dangkal.
Membaca Intensif : membaca telaah isi, membaca telaah bahasa.
Membaca Telaah Isi : membaca teliti, membaca pemahaman, membaca kritis, membaca ide-ide.
Membaca Telaah Bahasa : membaca bahasa, membaca sastra.
a. Membaca Nyaring
Membaca nyaring sering kali disebut membaca bersuara atau membaca teknik. Disebut demikian karena pembaca mengeluarkan suara secara nyaring pada saat membaca.

b. Membaca Ekstensif
Membaca ekstensif merupakan proses membaca yang dilakukan secara luas. Luas berarti (1) bahan bacaan beraneka dan banyak ragamnya; (2) waktu yang digunakan cepat dan singkat. Tujuan membaca ekstensif adalah sekadar memahami isi yang penting dari bahan bacaan dengan waktu yang cepat dan singkat.
c. Membaca Intensif
Membaca intensif adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara saksama dan merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan dan mengasah kemampuan membaca secara kritis. Membaca intensif merupakan studi saksama, telaah teliti, serta pemahaman terinci terhadap suatu bacaan sehingga timbul pemahaman yang tinggi.
Membaca intensif dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni membaca telaah isi dan membaca telaah bahasa. Membaca telaah isi meliputi membaca teliti, membaca pemahaman, membaca kritis, dan membaca ide, sedangkan membaca telaah bahasa meliputi membaca bahasa dan membaca sastra.
1) Membaca Pemahaman
Membaca pemahan merupakan suatu kegiatan membaca yang tujuan utamanya adalah memahami bacaan secara tepat dan cepat. Sejumlah aspek yang perlu diperlukan pembaca dalam membaca pemahaman adalah:
(a) memiliki kosa kata yang banyak;
(b) memiliki kemampuan menafsirkan makna kata, frasa, kalimat, dan wacana;
(c) memiliki kemampuan menangkap ide pokok dan ide penunjang;
(d) memiliki kemampuan menangkap garis besar dan rincian;
(e) memiliki kemampuan menangkap urutan peristiwa dalam bacaan (Kamidjan,1996).
2) Membaca Kritis

Membaca kritis ialah kegiatan membaca dilakukan dengan bijaksana, penuh tenggang rasa, mendalam, evaluatif, serta analitis, dan bukan ingin mencari kesalahan penulis. Membaca kritis berusaha memahami makna tersirat sebuah bacaan. Dalam membaca kritis, pembaca mengolah bahan bacaan secara kritis.
Nurhadi (1987) menguraikan aspek-aspek membaca kritis yang dikaitkan dengan ranah kognitif dalam taksonomi Bloom, sebagai berikut ini.
(1) Kemampuan mengingat dan mengenali ditandai dengan
(a) mengenali ide pokok paragraf;
(b) mengenali tokoh cerita dan sifatnya;
(c) menyatakan kembali ide pokok paragraf;
(d) menyatakan kembali fakta bacaan;
(e) menyatakan kembali fakta perbandingan, hubungan sebab-akibat, karakter tokoh, dll.
(2) Kemampuan menginterpretasi makna tersirat ditandai dengan:
(a) menafsirkan ide pokok paragraf;
(b) menafsirkan gagasan utama bacaan;
(c) membedakan fakta/detail bacaan;
(d) menafsirkan ide-ide penunjang;
(e) memahami secara kritis hubungan sebab akibat;
(f) memahami secara kritis unsur-unsur pebandingan.
(3) Kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep ditandati dengan:
(a) mengikuti petunjuk-petunjuk dalam bacaan;
(b) menerapkan konsep-konsep/gagasan utama bacaan ke dalam situasi baru yang problematis;
(c) menunjukkan kesesuaian antara gagasan utama dengan situasi yang dihadapi.
(4) Kemampuan menganalisis ditandai dengan:
(a) memeriksa gagasan utama bacaan;
(b) memeriksa detail/fakta penunjang;
(c) mengklasifikasikan fakta-fakta;
(d) membandingkan antar gagasan yang ada dalam bacaan;
(e) membandingkan tokoh-tokoh yang ada dalam bacaan.
(5) Kemampuan membuat sintesis ditandai dengan:
(a) membuat simpulan bacaan;
(b) mengorganisasikan gagasan utama bacaan;
(c) menentukan tema bacaan;
(d) menyusun kerangka bacaan;
(e) menghubungkan data sehingga diperoleh kesimpulan;
(f) membuat ringkasan.
(6) Kemampuan menilai isi bacaan ditandai dengan:
(a) menilai kebenaran gagasan utama/ide pokok paragraf/bacaan secara keseluruhan;
(b) menilai dan menentukan bahwa sebuah pernyataan adalah fakta atau opini;
(c) menilai dan menentukan bahwa sebuah bacaan diangkat dari realitas atau fantasi pengarang;
(d) menentukan relevansi antara tujuan dan pengembangan gagasan;
(e) menentukan keselarasan antara data yang diungkapkan dengan kesimpulan yang dibuat;
(f) menilai keakuratan dalam penggunaan bahasa, baik pada tataran kata, frasa, atau penyusunan kalimatnya.


JENIS-JENIS MEMBACA DAN KARAKTERISTIKNYA


Ditinjau dari segi terdengar atau tidaknya suara pembaca waktu melakukan kegiatan membaca, maka proses membaca dapat dibedakan menjadi :

A. Membaca Nyaring
Membaca nyaring adalah kegiatan membaca dengan menyuarakan tulisan yang dibacanya dengan ucapan dan intonasi yang tepat agar pendengar dan pembaca dapat menangkap informasi yang disampaikan oleh penulis, baik yang berupa pikiran, perasaan, sikap, ataupun pengalaman penulis.

Ketrampilan yang dituntut dalam membaca nyaring adalah berbagai kemampuan, diantaranya adalah :
1. menggunakan ucapan yang tepat,
2. menggunakan frase yang tepat,
3. menggunakan intonasi suara yang wajar,
4. dalam posisi sikap yang baik,
5. menguasai tanda-tanda baca,
6. membaca dengan terang dan jelas,
7. membaca dengan penuh perasaan, ekspresif,
8. membaca dengan tidak terbata-bata,
9. mengerti serta memahami bahan bacaan yang dibacanya,
10. kecepatan bergantung pada bahan bacaan yang dibacanya,
11. membaca dengan tanpa terus-menerus melihat bahan bacaan,
12. membaca dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri.

B. Membaca Dalam Hati

Membaca dalam hati adalah kegiatan membaca yang dilakukan dengan tanpa menyuarakan isi bacaan yang dibacanya.
Ketrampilan yang dituntut dalam membaca dalam hati antara lain sebagai berikut:
1. membaca tanpa bersuara, tanpa bibir bergerak, tanpa ada desis apapun,
2. membaca tanpa ada gerakan-gerakan kepala,
3. membaca lebih cepat dibandingkan dengan membaca nyaring,
4. tanpa menggunakan jari atau alat lain sebagai penunjuk,
5. mengerti dan memahami bahan bacaan,
6. dituntut kecepatan mata dalam membaca,
7. membaca dengan pemahaman yang baik,
8. dapat menyesuaikan kecepatan dengan tingkat kesukaran yang terdapat dalam bacaan.

Secara garis besar, membaca dalam hati dapat dibedakan menjadi dua (I) membaca ekstensif dan (II) membaca intensif. Berikut penjelasan secara rinci kedua jenis membaca tersebut :

I. Membaca Ekstensif
membaca ekstensif adalah membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak mungkin teks dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Membaca ekstensif meliputi :

1. Membaca Survai (Survey Reading)
Membaca survai adalah kegiatan membaca untuk mengetahui secara sekilas terhadap bahan bacaan yang akan dibaca lebih mendalam. Kegiatan membaca survai merupakan pendahuluan dalam membaca ekstensif.
Yang dilakukan seseorang ketika membaca survai adalah sebagai berikut :
(a) memeriksa judul bacaan/buku, kata pengantar, daftar isi dan malihat abstrak(jika ada),
(b) memeriksa bagian terahkir dari isi (kesimpulan) jika ada,
(c) memeriksa indeks dan apendiks(jika ada).

2. Membaca Sekilas
Membaca sekilas atau membaca cepat adalah kegiatan membaca dengan mengandalakan kecepatan gerak mata dalam melihat dan memperhatikan bahan tertulis yang dibacanya dengan tujuan untuk mendapatkan informasi secara cepat.
Metode yang digunakan dalam melatihkan membaca cepat adalah :
(a) metode kosakata; metode yang berusaha untuk menambah kosakata.
(b) Metode motivasi; metode yang berusaha memotivasi pembaca(pemula) yang mengalami hambatan.
(c) Metode gerak mata; metode yang mengembangkan kecepatan membaca dengan menigkatkan kecepatan gerak mata.

Hambatan-hambatan yang dapat mengurangi kecepatan mambaca :
(a) vokalisai atau berguman ketika membaca,
(b) membaca dengan menggerakan bibir tetapi tidak bersuara,
(c) kepala bergerak searah tulisan yang dibaca,
(d) subvokalisasi; suara yang biasa ikut membaca di dalam pikiran kita,
(e) jari tangan selalu menunjuk tulisa yang sedang kit abaca,
(f) gerakan mata kembali pada kata-kata sebelumnya.

3. Membaca Dangkal (Superficial Reading)
membaca dangkal pada hakekatnya bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang dangkal yang bersifat luaran, yang tidak mendalam dari suatu bahan bacaan. Membaca jenis ini biasanya dilakukan seseorang membaca demi kesenangan, membaca bacaan ringan yang mendatangkan kesenangan, kegembiraan sebagai pengisi waktu senggang.

II. Membaca Intensif
membaca intensif atau intensive reading adalah membaca dengan penuh penghayatan untuk menyerap apa yang seharusnya kita kuasai. Yang termasuk dalam membaca intensif adalah :

A. Membaca Telaah Isi :
1. Membaca Teliti
Membaca jenis ini sama pentingnya dengan membaca sekilas, maka sering kali seseorang perlu membaca dengan teliti bahan-bahan yang disukai.
2. Membaca Pemahaman
Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah sejenis membaca yang bertujuan untuk memahami tentang standar-standar atau norma-norma kesastraan (literary standards), resensi kritis (critical review), dan pola-pola fiksi (patterns of fiction).
3. Membaca Kritis
Membaca kritis adalah kegiatan membaca yang dilakukan secara bijakasana, mendalam, evaluatif, dengan tujuan untuk menemukan keseluruhan bahan bacaan, baik makna baris-baris, makna antar baris, maupun makna balik baris.
4. Membaca Ide
Membaca ide adalah sejenis kegiatan membaca yang ingin mencari, memperoleh, serta memanfaatkan ide-ide yang terdapat pada bacaan.

5. Membaca Kreatif
Membaca kreatif adalah kegiatan membaca yang tidak hanya sekedar menagkap makna tersurat, makna antar baris, tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kehidupan sehari-hari.

B. Membaca Telaah Bahasa :
1. Membaca Bahasa (Foreign Language Reading)
Tujuan utama membaca bahasa adalah memperbesar daya kata (increasing word power) dan mengembangkan kosakata (developing vocabulary)
2. Membaca Sastra (Literary Reading)
Dalam membaca sastra perhatian pembaca harus dipusatkan pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Apabila seseorang dapat mengenal serta mengerti seluk beluk bahasa dalam suatu karya sastra maka semakin mudah dia memahami isinya serta dapat membedakan antara bahasa ilmiah dan bahasa sastra.

Model Membaca
MMAB
Model Membaca Atas-Bawah (MMAB) Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks. Inti dari model membaca atas bawah adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan. Jadi menurut model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan. Model membaca atas bawah ini berpijak pada teori psikolinguistik, mengenai interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) bependapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannnya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan. Ketika informasi itu di proses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak atau memperhalus. MMBA menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mengukung atau menolak hipotesis mengenai makna. Makna diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari system isyrat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik diturunkan dari media cetak, isyarat-isyarat lainnya berasal dari kebahasaan pembaca, pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memillih isyarat grafis yang paling berguna, setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula perlunya, sebab pembaca telah memiliki perbendaharaan kata dan konsep-konsep yang semakin kaya. Strategi-strategi untuk membuat perkiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantic dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan umtuk mengantisipasi apa yang tampak berikutnya di dalam materi cetak yang sedang dibaca.

MMBA
Model Membaca Bawah Atas (MMBA) atau bottom-up merupakan model membaca yang bertitik tolak dari pandangan bahwa yang mempunyai peran penting (primer) dalam kegiatan atau proses membaca adalah struktur bacaan, sedangkan struktur pengetahuan yang dimiliki (didalam otak)  pembaca mempunyai peran sampingan (sekunder). Pembaca bergantung sekali pada bacaan. Dalam membaca, pembaca melakukan penyandian kembali simbol-simbol tertulis sehingga mata pembaca selalu menatap bacaan. Hasil penyandian kembali dikirim ke otak melalui syaraf visual yang ada dimata untuk dipahami. Karena sistem atau cara kerja berawal dan bergantung pada bacaan yang berada di bawah dan baru dikirimkan ke otak yang berada di atas, sistem membaca seperti itu dinamakan model membaca bawah atas (MMBA).

Apabila di bagankan model membaca bawah atas adalah sebagai berikut :


Model Membaca Bawah Atas (MMBA) : Bacaan -->> Mata -->> Otak


TEKNIK UJI RUMPANG

Pengertian Membaca
   Membaca       merupakan       suatu    metode      yang    dapat    dipergunakan        untuk berkomunikasi, yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam suatu wacana. Salah   satu   syarat   untuk   menjadi   manusia   yang   unggul   dan   cerdas,   adalah   dengan meningkatkan pengetahuan dengan cara membaca.
Hodgson (Tarigan, 2008: 7) memberikan definisi bahwa
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk    memperoleh       pesan    yang   hendak    disampaikan      oleh   penulis   melalui   media kata kata atau bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata   yang   merupakan   suatu   kesatuan   akan   terlibat   dalam   pandangan   sekilas dan   agar   kata-kata   secara   individual   akan   dapat   diketahui.   Jika  hal   ini   tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat maupun yang tersirat tidak akan dipahami dan proses membaca tidak terlaksana dengan baik’. Pendapat      yang   sama    dikemukakan      pula   oleh   Anderson     (Tarigan,    2008:8)    bahwa ‘membaca        dapat   pula    diartikan    sebagai    suatu   metode    yang     digunakan     untuk berkomunikasi dengan diri sendiri dan orang lain   yaitu mengkomunikasikan   makna yang terkandung atau tersirat dalam lambang-lambang tertulis’.
          Rey   (2001:   849)   dalam   kamusnya   yang   berjudul  Le   Grand   Robert   De   La Langue   Française         menjelaskan   pengertian   membaca   sebagai   berikut,                “lire est   de façon relativement suivie (un texte), pour s’inform er, s’instruire, et critique qui doit  tout    lire”.   Dari    uraian    di   atas   dapat    diketahui      bahwa     membaca        adalah   suatu  keterampilan yang teratur dari sebuah wacana, untuk mencari keterangan, menambah  pengetahuan,        dan    kritik   yang    terlihat.   Berdasarkan      pendapat       tersebut,    diketahui  bahwa perkembangan ilmu pengetahuan telah menempatkan kegiatan membaca pada  posisi yang sangat penting khususnya dalam pembelajaran
 Menurut Gallison et Coste (1976: 298) dalam  Dictionnaire de Didactique des langues,     “la    lecture   est   action    d’identifier    les   lettres   et  de   les  assembler      pour comprendre le lien entre ce qui est écrit et ce qui est dit”. Dengan kata lain, membaca adalah kegiatan mengenali huruf-huruf dan menyatukannya untuk mengerti hubungan antara apa yang ditulis dan apa yang dikatakan.
Berdasarkan   beberapa   definisi   di   atas,   dapat   disimpulkan   bahwa   membaca merupakan   suatu   kegiatan   yang   dilakukan   seseorang   untuk   mendapatkan   informasi atau pengetahuan dari apa yang dibacanya. Informasi tersebut dapat berupa kata-kata yang   terbentuk   oleh   rangkaian   huruf   menjadi   objek   dalam   kegiatan   membaca   yang memusatkan perhatian atau berkonsentrasi penuh terhadap bahan bacaan agar dapat memahami         isi  wacana      secara    keseluruhan,      sehingga      pembaca      dapat     mengambil manfaat dari apa yang terkandung dalam bacaan.
Tujuan Membaca

          Tujuan membaca merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh pembaca untuk     memperoleh       informasi     yang    mencakup      isi,  dan   memahami        makna     sumber bacaan.         Bentolia        dalam         situs      http://www.uvp5.univ-paris.fr/tfl/TFL.asp mengemukakan   tujuan           membaca,       yaitu  “…les      buts   de   lecture   différents   se   lisent différemment selon le contexte et les  objectifs que l’on souhaite atteindre par cette lecture”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kegiatan membaca memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan maksud dan sasaran yang diinginkan pembaca. Sejalan dengan tujuan membaca di atas, Cicurel (1991: 16-17) dalam bukunya yang berjudul Lecture Interactive en Langue Étrangère, mengemukakan tujuh tujuan membaca, yaitu :
1)  pour se distraire ou passer le temps ;
 (membaca untuk memperoleh hiburan atau mengisi waktu luang )
 2)   pour s’informer (les nouvelles du  monde ou les hor aires d’un train);
(membaca untuk mendapatkan informasi tentang berita-berita dunia atau jadwal pemberangkatan kereta api)
3)   pour      étudier     (traduire,      expliquer      des     textes,    approfondir    connaissances, corriger une copie, faire un exposé);
(membaca        untuk    belajar    seperti   menerjemahkan,         menjelaskan      maksud dari    suatu    wacana,     menambah        pengetahuan,       menyalin      kembali,      dan presentasi)
4)   pour faire une action (lire un mode d’emploi);
(membaca         untuk    melakukan       suatu    kegiatan     seperti    untuk  petunjuk pemakaian)
  5)    pour chanter, prier, raconteur une histoire;
(membaca untuk bernyanyi, berdo’a, dan menceritakan sebuah cerita)
 6)   pour s’endormir;  et
 (membaca sebagai pengantar tidur)
  7)   pour connaître la littérature.
 (membaca untuk mengenal dan mempelajari kesusastraan)
 Berdasarkan       beberapa      tujuan    dari   kegiatan      membaca      tersebut,      peneliti  menyimpulkan   bahwa   setiap   situasi   dalam   membaca   mempunyai   tujuan   tersendiri  yang     spesifik    terutama    memberikan        motivasi     yang    besar   kepada     pembaca.     Oleh karena   itu,   sebelum   memulai   kegiatan   membaca   seseorang   harus   memiliki   tujuan yang   jelas,   sehingga   kegiatan   membaca   yang   dilakukan   tidak   sia-sia.   Namun   pada dasarnya tujuan membaca adalah untuk mendapatkan informasi, menambah wawasan dari sebuah sumber bacaan.

Teknik Uji Rumpang

          Untuk      dapat     memahami         pembelajaran        dalam      keterampilan       membaca pemahaman          wacana      dibutuhkan      bimbingan       dan    latihan     yang    teratur.    Dalam pengajaran       membaca       pemahaman        wacana      bahasa      Indonesia    guru    harus    mampu memilih teknik pembelajaran   yang sesuai dengan tujuan dan tingkat perkembangan siswa.   Upaya   yang   bisa   dilakukan   guru   dalam   mengajarkan   membaca   pemahaman  wacana       bahasa      Indonesia     salah     satunya,     yaitu    dengan     menggunakan          teknik  pembelajaran membaca yang dinamakan Teknik Uji Rumpang.
   2.3.1    Pengertian Teknik Uji Rumpang
   Teknik Uji Rumpang merupakan sebuah teknik penghilangan kata-kata secara  sistematis dari sebuah wacana, dan pembaca diharapkan dapat mengisi kata-kata yang dihilangkan       tersebut    dengan     kata   yang    sesuai.   Berbagai      pengertian     Teknik     Uji Rumpang         diungkapkan        beberapa       ahli.   Mulyati      dan    Harjasujana        (1997:     3) mengungkapkan           bahwa,     Teknik     Uji   Rumpang       pertama     kali   diperkenalkan       oleh  Wilson Taylor pada tahun 1953 yang berasal dari istilah  “Closure” suatu istilah dari ilmu     jiwa   Gestalt.    Konsepnya       menjelaskan       tentang    kecenderungan        orang    untuk  menyempurnakan suatu pola yang tidak lengkap, secara mental menjadi satu kesatuan  pembaca   diminta   untuk   dapat   memahami   wacana   yang   tidak   lengkap   (karena   ada bagian-bagian   yang   dihilangkan)   dengan   pemahaman   yang   sempurna.   Bagian   kata-kata   yang   dihilangkan   itu   biasanya   kata   ke-n,   digantikan   dengan   tanda   garis   lurus panjang   atau   dengan   titik-titik.   Penghilangan   bagian-bagian   kata   dalam   Teknik   Uji  Rumpang, mungkin juga tidak berdasarkan kata ke-n secara konsisten dan sistematis.  Terkadang        pertimbangan        lain   turut   menentukan        kriteria   pengosongan         kata-kata  tertentu dalam wacana ini. Misalnya kata kerja, kata benda, kata depan atau kata-kata tertentu yang dianggap penting, bisa jadi merupakan kata yang dihilangkan.
   Penghilangan   kata-kata   dari   suatu   wacana   tulis   merupakan   ciri   khas   pokok  dari Teknik Uji Rumpang. Abidin (2010: 109) mengungkapkan bahwa   “Teknik Uji  Rumpang         diterapkan     dibidang     bahasa     sebagai     proses    pemahaman        wacana      yang  disertai   dengan   melengkapi   kekurangan-kekurangan   yang   ada”.   Kemampuan   untuk melengkapi kekurangan-kekurangan itu menunjukkan tingkat kemampuan berbahasa  seseorang.
Dari     paparan      tersebut,    dapat    diutarakan      kembali      bahwa     Teknik      Uji   Rumpang merupakan   alat   untuk   mengukur   hasil   dari   penjelasan   mengenai   pemahaman   suatu teks atau wacana. Teknik ini memperkenalkan bahan bacaan dimana setiap kata ke –n (biasanya   kata   ke-5)   digantikan   dengan   tanda   garis penghubung.   Dengan   membaca diharapkan dapat melengkapi teks atau wacana rumpang dari kata yang dihilangkan.
Dari   beberapa   definisi   di   atas,   dapat   ditarik   kesimpulan   bahwa,   Teknik   Uji  Rumpang         merupakan       teknik    pembelajaran       membaca       dengan      cara   menghilangkan sebagian   kata-kata   dari   suatu   wacana   utuh   untuk   melatih   daya   tangkap   pembaca terhadap pesan penulis dengan cara memotong pola bahasa pada bagian-bagian yang dilesapkan/dirumpangkan. Setelah itu, para pembaca dituntut   mampu   mengolahnya menjadi pola yang utuh           seperti wujudnya semula,            dengan cara mengisi bagian yang dirumpangkan. Kata-kata yang dihilangkan tersebut dapat dilakukan secara sistematis dan   konsisten,   namun   dapat   juga   tidak   dilakukan   secara   sistematis   dan   konsisten karena pertimbangan lain pun turut menentukan kriteria pengosongan, penghilangan kata, misalnya penguasaan tata bahasa, seperti kata kerja, kata benda, kata depan, dan sebagainya. Jarak penghilangan atau pengosongan kata berpengaruh terhadap tingkat kesulitan suatu wacana, karena semakin banyak kata yang dihilangkan, maka semakin sulit    bagi   pembaca      untuk    dapat    memahami         isi  atau   makna     kalimat    dari   wacana tersebut.


Fungsi Teknik Uji Rumpang
Berbicara mengenai fungsi Teknik Uji Rumpang, terdapat dua fungsi utama. Mulyati   dan   Harjasujana   (1997:   5)   mengemukakan   Teknik   Uji   Rumpang   sebagai berikut.
1)   Mengukur tingkat keterbacaan sebuah wacana, yakni untuk:
(1)  menguji tingkat kesukaran dan kemudahan bahan bacaan;
(2)  mengklasifikasikan tingkat baca siswa, seperti membaca independen, instruksional, atau frustasi; dan
(3)  mengetahui kelayakan wacana sesuai dengan kemampuan siswa.
 2)   Melatih     keterampilan      tertentu   dan   kemampuan        baca   siswa    melalui     kegiatan belajar mengajar. Keterampilan-keterampilan tersebut meliputi:
(1)  penguasaan unsur tata bahasa, misalnya: kata benda, kata kerja, kata depan,  kata sifat, dan lain-lain;
(2)  penguasaan kosa kata dan maknanya;
(3)  penguasaan struktur kalimat;
(4)  pemahaman gaya penulis dan penulisan; dan
(5)  pemahaman makna konteks.
 Lebih lanjut Abidin (2010: 110) mengungkapkan bahwa,
 “Teknik      Uji  Rumpang        berfungsi    untuk    mengetahui       tingkat    penguasaan komponen        bahasa    atau   tingkat   kemampuan         berbahasa     seseorang,     seperti penguasaan unsur tata bahasa, kosakata dan juga berfungsi untuk mengetahui  tingkat kesulitan suatu wacana”.
Beberapa   fungsi   yang   dikemukakan   kedua   ahli   di   atas   pada   dasarnya   sama. Dari semua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Teknik Uji Rumpang sebagai alat   untuk    mengetahui       tingkat   penguasaan       komponen       bahasa,    seperti   penguasaan unsur-unsur   tata   bahasa,   dan   juga   berfungsi   sebagai   alat   untuk   mengukur   tingkat kelayakan   suatu   wacana.   Dengan   kata   lain,   guru   dalam   waktu   yang   relatif   singkat akan mengetahui tingkat keterbacaan suatu wacana. Teknik ini pun dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan membaca siswa.
2.3.3         Kriteria Penggunaan Teknik Uji Rumpang
Taylor     seperti    yang     dikutip    oleh   Mulyati      dan    Harjasujana       (1997:     6) menyatakan bahwa konstruksi wacana Uji Rumpang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1)  memilih wacana yang relatif sempurna yakni wacana yang tidak                        tergantung pada informasi sebelumnya;
 2)  melakukan penghilangan kata ke-n, tanpa memperhatikan arti dan fungsi kata-kata yang dihilangkan;
3)  mengganti kata-kata yang dihilangkan tersebut dengan tanda garis lurus datar yang sama panjangnya atau titik-titik;
 4)  mengingatkan siswa untuk berusaha mengisi semua delisi (penghilangan kata) dengan pertanyaan-pertanyaan dari konteks atau kata sisanya; dan
5)  menyediakan waktu yang relatif cukup untuk memberi kesempatan kepada siswa dalam menyelesaikan tugasnya.
Untuk   dapat   melihat   perbedaan   kriteria   penggunaan  wacana   rumpang   yang berfungsi sebagai alat ukur dan alat ujar, Mulyati dan Harjasujana (1997: 7) membuat tabel kriteria pembuatan wacana rumpang.
Tabel 2.1

                             Kriteria penggunaan Teknik Uji Rumpang

        Karakteristik                      Sebagai Alat Ukur                    Sebagai Alat Ujar
Panjangnya                            Antara        250-350        kata   Wacana       yang    terdiri  atas
                                     pilihan                              maksimal 150 kata
Delisi (penghilangan kata)            Setiap kata ke-n (biasanya          Secara     selektif   tergantung
                                     terletak pada urutan ganjil,         pada   kebutuhan   siswa   dan
                                     misalnya      kata   ke-3,   5,  7,  pertimbangan guru
                                     atau 9)
Evaluasi                              Jawaban         berupa       kata   Jawaban         boleh      berupa
                                     persis    sesuai   dengan     teks   sinonim      atau   yang    secara
                                     atau wacana aslina                   struktur    dan    makna     dapat
                                                                          menggantikan         kedudukan
                                                                          kata yang dihilangkan
Tindak lanjut                         _                                    Lakukanlah      diskusi    untuk
                                                                          membahas                jawaban-
                                                                          jawaban siswa

          Selain   ditandai   dengan   penghilangan   kata   secara   sistematis   pada   setiap   kata ke-n,   format   tes   Uji   Rumpang   yang   asli   biasanya   memuat   butir-butir   soal   dalam bentuk   bagian-bagian   yang   dibiarkan   kosong.   Variasi   terhadap   format   asli   tersebut telah dikembangkan dalam beberapa bentuk lain, seperti:
1)  Tes   Uji   Rumpang   yang   dikerjakan   dengan   memilih   salah   satu   jawaban yang     telah   disediakan,     yang   merupakan       gabungan      dari  format    pilihan  ganda dan close. Ini dinamakan close pilihan ganda.
2)   Tes Uji Rumpang  yang dilakukan secara selektif, tidak mengikuti rumus
kata    ke-n.    Dengan     cara   ini   kata-kata    dihilangkan      atas   dasar   kriteria  tertentu sesuai kebutuhan, misalnya semua kata depan, semua kata kerja, dan sebagainya.
Dari    pendapat     di   atas  dapat    disimpulkan       kembali     bahwa,    hubungan       antar bagian dalam wacana merupakan unsur yang penting. Selain adanya hubungan antar bagian     wacana      dimungkinkan        pula   dipaparkannya        suatu   isi  yang    utuh   dan    tidak terpisah-pisah. Penghilangan kata tidak dilakukan pada kalimat pertama dan terakhir dari wacana yang digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lebih   utuh   tentang   latar   belakang   dan   akhir   dari   uji   wacana        yang   sebagian   besar kalimatnya telah mengalami penghilangan kata, jadi kedua kalimat tersebut dibiarkan utuh seperti adanya.
2.3.4     Penilaian Teknik Uji Rumpang
 Penilaian      terhadap     isian   rumpang       ditetapkan     dengan     kriteria    persentase. Sampai       saat   ini   para    ahli   menetapkan        dua    alternatif   kriteria    penilaian     untuk kemampuan          siswa     dalam     mengisi      bagian-bagian        kata   yang     dihilangkan       atau dikosongkan. Pertama, penilai hanya membenarkan jawaban yang sama persis dengan wacana asli. Kata atau jawaban lain yang tidak tepat, tidak dapat diterima meskipun bila   ditinjau    dari   sudut   makna     tidak   mengubah        maksud     konteks     yang    dimaksud. Kedua, penilai membenarkan jawaban atau kata yang dapat menggantikan kedudukan kata   yang  dihilangkan,   baik  secara   makna,   maupun   struktur   tidak   merusak   konteks kalimat yang bersangkutan (Mulyati dan Harjasujana, 1997:13)
Rankin dan Cushane dalam Abidin (2010: 111) menetapkan interpretasi hasil Uji Rumpang sebagai berikut.
1)  Jika rata-rata pembaca menjawab dengan benar kata yang didelisi di atas 60%, wacana tersebut tergolong wacana mudah.
2)   Jika rata-rata pembaca menjawab dengan benar kata yang didelisi berkisar
 antara 41%-60%, wacana tersebut tergolong wacana yang sedang.
 3)   Jika rata-rata pembaca menjawab dengan benar kata yang didelisi kurang  dari 40%, wacana tersebut tergolong wacana yang sulit.
Dilihat dari sudut bacaannya Teknik Uji Rumpang ini merupakan alat untuk mengukur keterbacaan wacana. Berdasarkan pengklasifikasian terhadap pembacanya, dengan       patokan     yang    sama,     dapat    diklasifikasikan       bahan    bacaaannya.       Untuk klasifikasi   skor   pertama   (di   atas   60%)   artinya   wacana   itu   tergolong   mudah,   untuk klasifikasi     skor   kedua    (antara   41-60%)   berarti      wacana     itu  tergolong   sedang,      dan untuk klasifikasi skor ketiga (kurang dari 40%) berarti wacana itu tergolong sukar.
   Lebih lanjut Mulyati dan Harjasujana (1997: 14) mengungkapkan interpretasi yang berbeda. Penetapan interpretasi hasil isian rumpang berpedoman pada ketentuan berikut.
1)  Perolehan   hasil   Uji   Rumpang  di   atas   53,5%   tergolong  ke   dalam  tingkat  independen (mandiri atau bebas).
2)   Pemerolehan hasil Uji Rumpang di antara 44,5-53,5% tergolong ke dalam   tingkat instruksional.
3)   Pemerolehan   hasil   Uji   Rumpang   kurang   dari   44%   tergolong   ke   dalam tingkat frustasi atau gagal.
Persentase   skor   tes   Uji   Rumpang   tersebut   dapat   disajikan   dalam   tabel
berikut.

                                                     Tabel 2.2

                                  Persentase skor Teknik Uji Rumpang

               Persentase Skor Tes Uji Rumpang                               Tingkat Baca

              Di atas 53,5%                                      independen (mandiri atau bebas)

              Antara 44,5-53,5%                                  instruksional

              Kurang dari 44%                                    frustasi atau gagal

          Dari    uraian    di  atas   dapat   disimpulkan       bahwa     penilaian    terhadap     tes  Uji Rumpang dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, penilaian dilakukan atas dasar kata   yang  tepat   sama.   Dalam   cara   ini   hanya   jawaban  yang  tepat   sama   dengan   kata yang dihilangkan dengan teks asli, dianggap benar. Kedua, penilaian didasarkan atas ketepatan   kontekstual.   Dalam   cara   ini   suatu   kata   dianggap   sebagai   jawaban   yang benar sepanjang kata itu mengacu pada konteks wacana secara keseluruhan.
2.3.5    Kelebihan dan Kekurangan Teknik Uji Rumpang
Disamping memiliki beberapa kelebihan, Teknik Uji Rumpang pun memiliki kekurangan.        Beberapa      hal   yang    dipandang      sebagai     kelebihan     dari   Teknik     Uji Rumpang ini menurut Abidin (2010: 112) antara lain:
1)   dalam     menentukan       keterbacaan      suatu   wacana,     prosedur   ini   mencerminkan pola interaksi antara pembaca dan penulis;
2)   pengukuran   keterbacaan   dengan   teknik   ini,   tidak   dilakukan   secara   terpisah antara    teks   dengan     pembacanya.       Dengan      demikian,     teknik    ini  bukan    saja  digunakan untuk menilai keterbacaan, melainkan juga dipakai untuk menilai pemahaman;
 3)   Teknik   Uji   Rumpang   bersifat   fleksibel.   Dalam   waktu  relatif   singkat,   guru akan segera mendapatkan informasi mengenai latar belakang kemampuan dan kebutuhan siswanya; dan
4)   dapat menjangkau sejumlah besar individu pada saat yang sama.

          Di     samping      kelebihan-kelebihan          tersebut,    Teknik      Uji    Rumpang        juga mempunyai kekurangan antara lain:
1)   validitas penggunaan teknik diragukan; dan
2)   ketepatan   pengisian   bagian-bagian   yang   dihilangkan             oleh   seseorang   belum tentu   atas   dasar   pemahaman   wacana,   melainkan   didasarkan   atas   pola-pola ungkapan yang telah dikenalnya.
Senada   dengan   pendapat   ahli   di   atas,   Mulyati   dan   Harjasujana   (1997:   25) mengungkapkan            bahwa      “kekurangan       Teknik      Uji    Rumpang       dikaitkan      dengan pemahaman tatabahasa, artinya siswa harus mengenali unsur-unsur tata bahasa yang tepat sebagai bagian dari pemahaman terhadap suatu wacana yang lengkap”.
Dengan kata lain siswa dituntut untuk dapat memahami dan mengisi wacana secara   utuh  dengan   jalan   menebak  unsur-unsur   tata   bahasa   yang  harus   ditempatkan dalam bagian-bagian kata yang dihilangkan dalam wacana rumpang tersebut. Maka, dapat   disimpulkan   bahwa   ketepatan   pengisian  bagian-bagian   yang  dihilangkan   oleh seseorang   belum   tentu   berdasarkan   atas   pemahamannya   terhadap   wacana   tersebut, melainkan didasarkan atas pola-pola ungkapan yang telah dikenalnya. Selain itu juga, semakin banyak  kata   yang dihilangkan dari suatu wacana, maka semakin sulit   pula bagi siswa dalam menjawab, dan semakin kecil kemungkinannya untuk memperoleh nilai yang baik.
2.4       Hasil Temuan Penelitian Sebelumnya
Berikut     ini   merupakan       hasil    penelitian     yang     sudah   dilakukan        peneliti sebelumnya mengenai penggunaan Teknik Uji Rumpang dalam proses pembelajaran,
yaitu:
1)    Hasil     penelitian    yang   dilakukan       oleh   seorang     mahasiswi      jurusan    pendidikan bahasa      Jerman      FPBS      UPI     dalam      skripsinya      yang    berjudul      “Efektivitas Penggunaan Teknik Uji Rumpang dalam Pengajaran Preposisi Bahasa Jerman di SMA   Kartika   Siliwangi   tahun   ajaran   2007/2008”   yang mengemukakan   bahwa melalui   pembelajaran   Teknik   Uji   Rumpang   efektif   dalam   pengajaran   preposisi bahasa Jerman, karena terdapat peningkatan hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari   rata–rata   sebelum  tindakan   adalah   62,   setelah tindakan   rata-ratanya   adalah 79. (Octaviani, 2008:86).
2)    Penelitian     selanjutnya      mengenai      Teknik      Uji   Rumpang,       dilakukan      oleh   Ai Sabanah,       dalam     skripsinya      yang    berjudul     “Analisis      Tingkat     Pemahaman  Membaca        Menggunakan         Teknik    Uji   Rumpang       Siswa     Kelas  V     SD   Cariwuh Padakembang         Tasikmalaya        Tahun     Ajaran     2003/2004”,      dalam     pembelajaran bahasa Indonesia yang mengemukakan bahwa melalui Teknik Uji Rumpang telah meningkatkan   kinerja   siswa   baik   pada   proses   maupun  produk   belajar,   suasana pembelajaran menjadi lebih komunikatif. (Sabanah, 2004:72)
2.5       Anggapan Dasar
 “Anggapan        dasar    adalah    sebuah    titik  tolak   pemikiran      yang    kebenarannya diterima     oleh   penyidik”     (Arikunto,     2002:58).     Berdasarkan       definisi   tersebut   maka anggapan dasar dari penelitian ini adalah:
1)    Teknik      pembelajaran       memiliki      peranan     penting     dalam     proses     belajar mengajar.
2)    Teknik     Uji   Rumpang        adalah    salah    satu   teknik    yang    digunakan      untuk
meningkatkan keterampilan membaca pemahaman wacana bahasa Perancis.
3)    Diperlukannya   berbagai   macam  teknik  pembelajaran  menarik   yang  variatif untuk     menarik     minat    siswa,    yang    memiliki     kemampuan       beragam      dalam pembelajaran.
2.6        Hipotesis
“Hipotesis          merupakan          jawaban        sementara         terhadap        rumusan        masalah penelitian,       di   mana      rumusan        masalah       penelitian      telah    dinyatakan        dalam      bentuk kalimat pertanyaan” (Sugiyono, 2010:96). Hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1)   Teknik   Uji   Rumpang   efektif   digunakan   dalam   meningkatkan   keterampilan  membaca pemahaman wacana bahasa Perancis siswa kelas XII Bahasa.
2)   Terdapat       perbedaan         signifikan      antara      prates     dan   pascates        menggunakan Teknik Uji Rumpang.
KETERBACAAN
PENGERTIAN KETERBACAAN


Keterbacaan adalah sesuai tidaknua suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukarannya. ( Tampubolon 1987 : 214 )

Keterbacaan : perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat.(KBBI : 1998)

Keterbacaan adalah keseluruhan unsur bacaan yang memengaruhi keberhasilan yang dicapai oleh sekelompok pembaca dengan bahan tersebut (Hafni, 2001:13).

Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, mudah dipahami, dan mudah diingat. (depdikbud : 1998)

Keterbacaan adalah perihal dapat dibacanya teks dengan cepat, mudah dipahami. ( novia, windi : 45 )

Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran / kemudahan wacananya (Harjasujana, 1996 : 106).

Keterbacaan dalam istilah bahasa Inggris disebut readability. Keterbacaan itu adalah kemampuan untuk dibaca dari seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi antar-teks) dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada kecepatan membaca yang optimal (Dale & Chall dalam Gilliland, 1972).

Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan

Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. Bentuk realidability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan  mengandung arti “hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya”. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan “keterbacaan” sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, keterbacaan ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna terutama bagi para guru yang mempunyai perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang layak dibaca.

Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu, misalnya peringkat enam, peringkat empat, peringkat sepuluh, dan sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan dengan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan.

Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963) kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan.

Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan mengitung berbagai variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjang-pendeknya kalimat dan  (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah.

Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengkukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. Panjang pendek kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor yang utama yang melandasi alat-alat pengkukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua faktor-faktor tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale dan Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.

Penggunaan Formula Keterbacaan

Membaca merupakan aktivitas yang pernah dilakukan setiap orang yang tidak buta huruf. Pembaca tidak selalu dapat mengerti apa yang dimaksudkan penulis dalam setiap kalimat atau paragrap dari suatu buku. Bahkan kadang kalimat dan paragraf tersebut tetap merupakan “buku yang tertutup” bagi pembacanya meskipun telah dibaca berulang-ulang.
Krida Laksana dalam Suladi, dkk (2000:1) menyebutkan bahwa membaca mempunyai arah bagaimana seseorang memahami informasi melalui kegiatan menggali informasi dari wacana (teks). Menurut Winarno Surakhmad (1982:85-94), informasi yang terdapat dalam bacaan tersebut dapat dengan mudah dipahami apabila pembaca memiliki apersepsi (pengetahuan awal) yang cukup terhadap bahan yang sedang dibaca. Artinya panjang pendek, sederhana atau kompleksnya kalimat, abstrak atau konkrit bahasa yang dipakai tidak akan menghambat pemahaman pembaca terhadap suatu bahan bacaan apabila pembaca mempunyai cukup informasi yang berkaitan tentang hal tersebut. Dengan demikian semakin sering seseorang melakukan aktivitas baca maka kemampuan memahami bahan bacaan semakin meningkat.

Adler dan Charles (1987:13-15) mendefinisikan peringkat baca seseorang dalam 4 tingkatan, yaitu: membaca tingkat 1 (membaca dasar), membaca tingkat 2 (inspeksional), membaca tingkat 3 (analisis), dan membaca tingkat 4 (sintopikal/perbandingan).

Membaca tingkat 1 merupakan tingkatan kemampuan membaca yang paling rendah. Tingkat baca ini didapatkan seseorang ketika mulai belajar membaca. Membaca tingkat 2 disebut juga membaca inspeksional. Pada tingkat ini pembaca mampu menemukan sifat umum buku dan mampu memahami apa yang diajarkan dalam buku tersebut. Membaca tingkat 3 adalah membaca analitis. Membaca analitis adalah tingkat membaca yang baik dan lengkap dalam waktu yang terbatas untuk mendapatkan pemahaman.

Pembaca pada tingkat ini mampu mengadakan analisis terhadap apa yang dibacanya. Sedangkan membaca tingkat 4 adalah membaca sintopikal/perbandingan. Pada tingkat ini, pembaca mampu memahami banyak buku, menyusun hubungan berdasarkan subyek tertentu sampai memahami  betul subyek itu.

Fry dalam Akhmad dan Yeti (1996:144) menggolongkan peringkat baca seseorang menjadi peringkat baca 1, 2, 3 sampai 17. Sedangkan Raygor dalam Akhmad dan Yeti (1996:127) menggolongkannya menjadi peringkat baca 3, 4, 5 sampai 12. Hanik Refiani (2005:28) mengklasifikasikan kriteria tingkat keterbacaan wacana menggunakan grafik tersebut ke dalam 4 (empat) tingkatan, yaitu sulit, sesuai, mudah, dan invalid. Wacana sulit bila memiliki tingkat keterbacaan di atas 11; sesuai bila memiliki tingkat keterbacaan 9, 10, 11; mudah bila di bawah 9; dan invalid bila berada pada garis arsir hitam.

Seseorang yang memiliki peringkat baca tinggi secara ideal mampu memahami setiap teks/buku yang dibacanya. Namun apabila buku tersebut memiliki tingkat keterbacaan yang tidak sesuai untuk dirinya, ia belum tentu dapat memahami dengan mudah.

Membaca berbeda dengan keterbacaan. Meskipun keduanya terbentuk dari kata dasar baca, namun imbuhan yang mengikutinya menyebabkan keduanya memiliki makna yang berbeda. Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Konfiks ke-an pada bentuk “keterbacaan” mengandung arti “hal yang berkenaan dengan apa yang tersebut dalam bentuk dasarnya”. Kita dapat mendefinisikan “keterbacaan” sebagai hal atau ikhwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. “Keterbacaan” ini mempersoalkan tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu, atau dengan kata lain keterbacaan (readability) adalah ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya.

Untuk mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim dipakai ialah formula keterbacaan dari spache formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang rata-rata kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula-formula itu telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaan-nya untuk memperkirakan tingkat keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya memakai banyak waktu.

Rumus-rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam adalah rumus yang dibuat oleh Dale dan Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada tahun 1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan panjang kalimat dan ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu.

Tingkat keterbacaan diukur dengan formula keterbacaan. Berbagai jenis formula keterbacaan telah diperkenalkan. Grafik Fry dan grafik Raygor merupakan dua alat keterbacaan yang dianggap praktis dan mudah penggunaannya.

Formula Keterbacaan Fry

Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading” (Akhmad dan Yeti, 1996:113). Formula keterbacaan Fry mengambil seratus kata dalam sebuah wacana sebagai sampel tanpa memperhatikan panjangnya wacana. Jadi, setebal apapun jumlah halaman suatu buku ataupun sepanjang apapun suatu bacaan pengukuran keterbacaan menggunakan formula ini hanya menggunakan seratus kata saja. Angka ini dianggap representatif menurut Fry.

Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Edward Fry ini merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading”. Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.

Formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut.
 http://daudp65.byethost4.com/college/college_files/bagan7a.jpg
Di bagian atas grafik kita dapati deretan angka-angka seperti berikut: 108,112, 116, 120, dan seterusnya. Angka-angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata perseratus perkata, yakni jumlah kata dari wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari 2 faktor utama yang menjadi landasan terbentuknya formula keterbacaan dimaksud. Di bagian samping kiri grafik kita dapati seeprti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat perseratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-pendek kalimat.

Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga universitas.

Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid, maksudnya jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat manapun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain.

Prosedur Pengukuran Keterbacaan dengan Grafik Fry

Petunjuk penggunaan Grafik Fry (Akhmad dan Yeti, 1996:116-120)
adalah sebagai berikut:

Langkah pertama: Pilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah perkataan. Yang dimaksudkan dengan kata adalah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas. Dengan demikian Budi, IKIP, 2000 masing-masing dianggap kata. Yang dimaksudkan dengan representatif dalam pemilihan wacana ialah peilihan wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan. Wacana tabel diselingi dengan gambar, kekosongan halaman, tabel, dan atau rumus-rumus yang mengandung banyak akangka-ngak diandang tidak representataif untuk dijadikanwacana sampel.

Langkah kedua: Hitung jumlah kalimat dari seratus buah perkataan hingga persepuluhan terdekat. Maksudnya, jika kata yang ke-100 (wacana sampel) tidak jatuh diujung kalimat, perhitungan kalimat tidak selalu utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang merupakan bagian dari derean kata-kata yang membentuk kalimat. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan pada ngka 100, maka sisa kata yang termsuk hitungan keseratus  itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (persepuluhan). Misalnya, jika wacana sampel itu terdiri atas 13 kalimat, dan kalimat terakhir yaitu kalimat ke-13 terdiri dari 18 kata dan kata ke-100 jatuh pada kata ke-8, kalimat itu dihitung sebagai 8/16 atau 0,5. Sehingga jumlah seluruh kalimat dari wacana sampel adalah 12 + 0,5 atau 12,5 kalimat.

Langkah ketiga: Hitung jumlah sukukata dari wacana sampel hingga kata ke-100. Misalnya, sampel wacana hingga kata keseratus terdiri atas 228 suku kata.

Langkah keempat: Untuk wacana bahasa Indonesia, Penggunaan Grafik Fry masih harus ditambah satu langkah, yakni mengalikan hasil peghitungan suku kata dengan akngkan 0,6 (Harjasujana, 1996/1997:123). Karena itu, angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata.

Langkah kelima: Plotkan angka-angka ityu ke dalam Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.

Tingkat keterbacaan ini bersfat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan qwacana hendaknya ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat.  Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus diperkirakan denga  tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 5 yakni (6 - 1), 6, dan 7 (6 + 1).

Untuk mengukur tingkat keeterbacaan sebuah buku yang biasanya relatif banyak jumlah halamannya, pengukuran keterbacaan hendaknya sekurang-kurangnya dilakukan tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda, misalnya wacana bgian awal, tengah, dan akhir buku.

Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, selanjutnya hitungkah hasil rta-ratanya. Data hasil rata-rta inilah yang kemudian akan dijadikandsar untuk menentukan tingkat kertebacaan wacana buku tersebut (Harjasujana,  1996/1997:121).

Hal penting yang harus diperhatikan ketika menggunakan formula ini adalah pengukuran keterbacaan dengan grafik Fry sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak tiga kali untuk sebuah buku atau tulisan yang relatif panjang dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Sedangkan untuk artikel, jurnal, dan surat kabar cukup dilakukan sekali saja kecuali penulisnya berbeda-beda.

Grafik Fry mengandung kelemahan yang sulit untuk diatasi, oleh karena itu muncullah grafik lain yang mempunyai prinsip-prinsip yang mirip dengan Grafik Fry. Formula keterbacaan yang dimaksud adalah Grafik Raygor yang diperkenalkan oleh Alton Raygor. Formula ini nampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf latin.

Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor

Grafik Raygor seperti tampak terbalik jika dibandingkan dengan grafik Fry. Garis-garis penyekat peringkat kelas dalam grafik Raygor tampak memancar menghadap ke atas. Posisi yang demikian itu sesuai dengan penempatan urutan data jumlah kalimat yang berlawanan pula sisi tempat jumlah suku kata digunakan untuk menunjukkan kata-kata panjang yang dinyatakan “jumlah kata sulit”, yakni kata yang dibentuk oleh enam buah huruf atau lebih.

http://daudp65.byethost4.com/college/college_files/raygor.jpg

Petunjuk Penggunaan Grafik Raygor

Langkah-langkah yang harus ditempuh meliputi:
Langkah pertama: memilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah kata daripadanya. Kata adalah sekelompok lambang yang kiri dan kanannya berpembatas. Pengggalan wacana yang representatif artinya memilih wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan, yaitu wacana tanpa gambar, grafik, tabel, rumus, maupun kekosongan halaman.

Langkah kedua: Menghitung rata jumlah kalimat sample pada per sepuluh terdekat.

Langkah ketiga: Menghitung rata-rata jumlah kata sulit per seratus buah perkataan, yaitu kata-kata yang dibentuk oleh enam huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di dasari oleh panjang pendeknya kata. Kata yang termasuk dalam kategori sulit adalah kata yang tersusun atas enam huruf atau lebih.

Langkah keempat: Mencari titik temu hasil yang diperoleh dari langkah kedua dan ketiga tersebut ke dalam grafik Raygor

Kelebihan dari penggunaan grafik Raygor, yakni dalam hal efisiensi waktu, pengukuran keterbacaan wacana dengan grafik Raygor ternyata jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan grafik Fry.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Dialog “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”

ANALISIS PUISI "GADIS PEMINTA-MINTA"

ANALISIS STRUKTURAL GENETIK PADA NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” KARYA AHMAD TOHARI